A Blue-Dressed Knife Woman

Trigger Warning : Mention of blood

Saat ujung matanya menangkap siluet tubuh lain di belakangnya meski dengan jarak yang cukup jauh, Ageeta paham kalau ada yang tengah tidak beres mengejarnya.

Gadis itu dengan terburu melangkah menuju ruang kelas tempatnya meninggalkan buku tebalnya tadi siang, secara terburu-buru mencari benda itu di tempat terakhir dia meletakkannya. Untungnya, buku itu tergeletak dalam jangkauan mata, tepat di atas bangku di deretan paling depan sehingga dirinya dapat dengan mudah menemukannya.

Maka ketika buku sudah di tangan, Ageeta bergegas keluar dari ruang kelas itu dan melangkah cepat menuju koridor.

Kampus sepi, dan Ageeta merutuki kebodohannya karena ke sini sendirian. Dengan tergesa, kedua kakinya ia ayunkan agar dapat dengan segera menuju gerbang utama fakultas, karena sejujurnya, Ageeta sudah mulai merasa tidak nyaman dengan kesunyian yang melingkupinya.

Harusnya begitu. Harusnya, Ageeta sudah sampai di depan gerbang keluar fakultasnya dalam hitungan menit. Namun keadaan berbalik kala suara langkah lain menggema di belakangnya. Suaranya terdengar keras, sampai membuat seisi koridor hanya diwarnai oleh langkah itu. Ia sadar kalau sosok yang mengikutinya adalah seorang wanita, terlihat jelas kala matanya tanpa sengaja melirik sekilas pada kaca jendela kelas yang memantulkan bayangan wanita bergaun selutut yang berada cukup jauh di belakangnya.

Ketakutan merayap dengan cepat. Demi Tuhan, Ageeta yakin kalau langkah kakinya mulai tak beraturan. Arahnya memutar ke koridor kiri tanpa berpikir dua kali bahwa ia mengambil arah yang salah. Dia berusaha mempercepat langkah, hingga tanpa sadar setengah berlari menuju sebuah pintu besar di sayap kiri fakultas yang biasanya digunakan anak-anak lain sebagai jalan pintas menuju Fakultas Kedokteran yang berada tepat di sebelah.

Langkahnya ia percepat sampai betul-betul berlari. Ia sadar bahwa dirinya tengah diikuti seseorang, dan yang ia yakin, sosok itu tidak hadir dengan tangan kosong. Melainkan dengan sebilah benda tajam di tangan kanan, entah itu pisau atau benda lain.

Dan seumur hidupnya, Ageeta tidak pernah merasa setakut ini.

Berbagai macam pikiran negatif memenuhi kepalanya. Mulai dari kemungkinan ia akan menjadi korban mutilasi sampai memikirkan bagaimana nanti orang-orang akan menemukan mayatnya tergeletak penuh darah di ujung tempat ini.

“Bunda, ini kalo Geeta nyusul Bunda malem ini, si Ekal gimana...”

“Bunda, ini kalo Geeta beneran mati, nanti yang nyiram Janda Bolong di rumah siapa... Yaallah gue belom mau mati.”

Saat kedua kakinya menapaki area Fakultas Kedokteran, Ageeta tanpa sadar memacu langkah lebih cepat. Instingnya membawa dirinya berjalan menuju sebuah ruang kelas di urutan paling ujung koridor yang kebetulan terbuka. Kala ia membawa masuk tubuhnya ke dalam ruang kelas itu, Ageeta berharap sepenuh hati bahwa sosok yang tadi mengikutinya tidak dapat menemukan jejaknya.

Napas Ageeta berantakan, keringat bercucuran membasahi seluruh wajahnya. Bibirnya kemungkinan besar pucat, dan kedua tangannya gemetar.

Di tengah kepanikan, dirinya membuka ponsel. Mencari nama Tama di tengah kekalutan demi menghilangkan rasa panik. Pikirnya, Tama harus tahu mengenai kondisinya saat ini. Meski lelaki itu tidak berada dekat, namun Ageeta memilih untuk mengetikkan pesan berisi pemberitahuan bahwa ia tengah dilanda ketakutan hebat.

Yudhistira tidak dapat dihubungi kala Ageeta juga mengetikkan pesan ke kolom percakapan lelaki itu. Ageeta yakin, Yudhis tengah kalut mencari dirinya setelah Ageeta memberitahu perkara dia yang diikuti seseorang dari belakang setengah jam yang lalu.

Memberitahu Haikal juga merupakan ide buruk. Adiknya itu hanya akan panik tanpa bisa berpikir jernih.

Maka di tengah gemetar tangannya, Ageeta memutuskan untuk tetap mengirimkan pesan pada Tama. Berharap lelaki itu membaca pesannya dan menyarankan sesuatu.

Karena demi Tuhan, pikirannya sangat buntu kali ini.

Di saat yang bersamaan, suara langkah yang terdengar lebih menggema menggaung di telinganya.

Terdengar lebih dekat dan lebih lebar.

Ageeta mematung, bibirnya tergigit dan matanya mulai terasa panas. Kepanikan dan ketakutan mulai merambat naik bahkan lebih hebat dari sebelumnya.

Langkah itu terdengar semakin dekat, dan Ageeta mulai terisak ketakutan.

Dan sayangnya, Tama tidak memberikan respon apa pun yang bisa membuatnya sedikit tenang.

Bibirnya ia gigit sekuat tenaga, mencegah suara isakan keluar dan malah memperparah keadaan. Kedua tangannya tergenggam erat dengan telapak yang basah oleh keringat. Matanya terpejam kuat, enggan menoleh barang sekilas.

Ageeta takut, sangat takut.

Lalu, saat ketakutan dan kepanikannya berada di puncak ubun-ubun, sebuah suara memanggil namanya menggema memasuki ruang kelas. Suaranya berat namun terasa cukup familiar.

Dan Ageeta dapat merasakan seluruh tulangnya melemas kala melihat tubuh jangkung yang ia kenal berdiri di ambang pintu kelas, tangannya menaikkan sakelar lampu sehingga seluruhnya terang benderang.

Di sana, Johnny berdiri menjulang dengan wajah penuh tatapan khawatir.

Come here, girlie. You're safe, I'm here.

-