A Clue
“Mau makan dulu atau langsung pulang?”
Suara Aksara menginterupsi lamunan Anin, membuat kepalanya terangkat dan matanya mengalihkan padangan dari sesuatu di depan sana. Anin berpikir sejenak sebelum menjawab. “Makan dulu aja, tapi kalau kamu buru-buru mending langsung pulang,” jawabnya.
“Makan dulu, oke? Mau makan apa?” Aksa bertanya sembari mengarahkan tangannya pada tas yang dibawa Anin, kemudian mengambil alih benda itu dari tangan Anin.
“Saya aja yang bawa,” katanya. Anin tidak melawan, sebab paham kalau mendebat Aksara perkara hal-hal seperti ini akan berbuah sia-sia.
“Pengen nasi goreng seafood.” Anin mencetuskan ide itu, kepalanya tiba-tiba membayangkan makanan yang tadi dia sebut. Aksa mengangguk, lalu tanpa sadar menggenggam tangan kanan Anin dan menuntun tubuh mungil itu untuk duduk di sebuah kursi kosong yang letaknya di ujung ruangan.
Ngomong-ngomong soal dirinya, Anin baru saja menyelesaikan jadwal check up pertamanya selama masa kehamilan. Dokter kandungan yang juga merupakan teman baik Aksara itu mengatakan kalau Anin butuh lebih banyak istirahat walau tidak ditemukan masalah pada bayinya. Setelah keluar dari ruangan, Aksa membawanya ke sebuah tempat makan yang berada di seberang rumah sakit, maka di sinilah Anin berada.
“Tunggu di sini, saya pesan dulu makanannya.” Aksa kembali bersuara dan Anin hadiahi anggukan patuh.
Anin menunggu dengan sabar, kepalanya menoleh ke segala arah. Memperhatikan interior bangunan bergaya modern ini dengan seksama, melihat dengan detail bagaimana cat berwarna putih bersih yang menjadi warna dasar dinding dihiasi oleh berbagai jenis ornamen menarik nan memanjakan mata.
Matanya mengarah ke sisi kiri ruangan, sebelum kemudian berhenti pada satu titik.
Di sana, di sebuah meja di dekat jendela, Anin melihat sosok yang cukup dia kenal tengah duduk dan menyesap secangkir minuman. Anin yakin kalau minuman itu adalah kopi hitam favorit sosok itu, yang Anin ingat akan selalu menjadi minuman wajib bagi sosok itu. Kontan, Anin bangkit dari tempat duduknya, kemudian berjalan ke arah sosok yang tadi menarik perhatiannya itu.
“Ayah?” panggilnya berhati-hati.
Dan benar saja, sosok yang dia panggil Ayah itu menoleh. Anin tahu kalau saat mata mereka bertemu, ada keterkejutan yang mengalir jelas di dalam iris kelam lelaki itu. Iris kelam yang mengingatkan Anin pada sosok lain yang memeluknya erat tadi malam. Dua orang itu terlalu mirip, bahkan untuk ukuran orang asing, kedua orang itu akan langsung dianggap sebagai keluarga saking miripnya.
“Ayah, ini Anin.”
Sosok itu masih terdiam kaku, namun Anin menangkap melalui matanya kalau kedua tangan yang dulu selalu tampak gagah itu bergetar samar. Anin maju satu langkah lebih dekat, sebelum kemudian menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan lurus.
Tiga tahun.
Anin tidak pernah melihat sosok itu lagi setelah tiga tahun yang lalu dia berpisah dari Jeandra. Maka ketika sekarang sosok itu berada di hadapannya, Anin merasa kalau banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan pada lelaki tinggi itu. Amat banyak, sampai dadanya langsung sesak ketika sekali lagi menatap binar kelam dari iris segelap malam yang menyorot sayu di depannya.
Oh, tidak.
Mereka berdua terlalu mirip. Ayah dan anak itu terlalu mirip sampai rasanya, Anin seperti tengah berhadapan langsung dengan Jeandra. Rasanya terlalu menyesakkan, terutama ketika Anin sadar kalau baik Jeandra maupun sosok di depannya ini, sama-sama punya tatapan sayu dan menyedihkan yang persis.
“Ada banyak hal yang aku mau tanyain ke Ayah soal Jeandra, tapi aku lagi buru-buru.” Anin mencoba membersihkan tenggorokannya dengan sedikit berdehem. Tangannya sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam dompet kecil yang dia bawa dari dalam tas.
“Ini kontakku, Ayah bisa hubungi aku kapan aja.” Anin menyerahkan sebuah kartu nama yang selalu dia simpan, sebelum melangkah mundur dan kembali memaku tatap pada sosok di hadapannya.
“Aku ngga tau apa yang terjadi sama kalian tiga tahun lalu, tapi yang jelas apapun yang terjadi, itu mengubah hidup Jean dan berakhir bikin dia hancur. Masalahnya di sini, bukan cuma Jeandra yang hancur. Tapi aku juga hancur.”
Anin berusaha sekuat tenaga menahan sesak yang mengerubungi dadanya, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung.
“Kalau semua masalah yang Jean timbulkan itu ada hubungannya sama Ayah, aku mohon bantu aku supaya bisa ngerti. Di kartu nama itu ada kontakku, Ayah bisa hubungi aku kapan aja Ayah siap.”
Itu kalimat terakhirnya sebelum beranjak dari sana. Anin bahkan melupakan Aksara yang kini sibuk mencari keadaannya. Pertemuannya dengan sosok yang dulu selalu Jeandra elu-elukan sebagai panutan itu terlalu mengejutkan.
Walau sebetulnya, dia sudah bisa menebak kalau ada yang tidak beres di antara Jeandra dan ayahnya, tapi Anin memilih untuk memberanikan diri. Dia butuh jawaban, segera.
Anin kembali menoleh ke arah restoran yang dia tinggalkan. Matanya mengarah pada sosok yang tadi dia temui, memperhatikan bagaimana raut wajah lelaki itu berubah penuh bimbang sebelum akhirnya mengacak rambut frustasi.
Di detik dia memperhatikan setiap gerakan kecil yang lelaki itu lakukan, Anin lagi-lagi tersadar. Kalau Jeandra dan ayahnya memang semirip itu, terlampau terlalu mirip. Hingga saat matanya mengarah pada ayah Jean yang tengah dilanda resah, Anin seperti bisa melihat bagaimana Jean akan melakukan hal yang sama ketika berada di situasi yang sama.
-