A Piece Of Tale

Tangan kanan milik Anindia mengepal sebuah gelas kristal berisi cairan merah. Tak ada alasan pasti, Anin hanya secara tiba-tiba menginginkan cairan itu membasahi kerongkongannya. Mungkin ingin melepas rindu pada bourbone itu, atau malah ingin mencari pengalihan dari tatapan Jeandra yang seakan-akan bisa menusuknya.

“Lo mau ngomong apa?”

Suara Jeandra terdengar serak, seperti menunjukkan betapa lelah lelaki itu hari ini. Seketika terbersit keinginan di benak Anin untuk menyuruh Jean undur diri, segera beristirahat dan meninggalkannya sendiri.

Tapi saat satu kalimat dari Jean meluncur, Anin mengurungkan niatnya.

“Karin biasanya suka bangun kalo ngga ada yang meluk, cepet ngomong.”

Detik itu, senyum Anindia mengembang. Menghiasi ranumnya yang terangkat tanpa kentara. Matanya menerawang, memperhatikan Jeandra yang mengenakan baju tidur satin berwarna hitam. Membalut gagah kedua bahu lebarnya yang tampak kokoh. Kedua tangannya berada di saku, terlihat menggenggam jemari-jemari panjang miliknya yang Anin yakin, tidak satupun jemari itu tersemat cincin pernikahan mereka.

Miris. Kenapa harus saya yang jatuh buat kamu, Jeandra?

Kemudian, saat Jean berdecak dan mulai memutar tubuhnya, Anin mulai bersuara. Suaranya kelewat tenang, namun mampu membuat Jeandra menghentikan langkah. Kakinya terpaku di lantai tempatnya berpijak, kedua tangannya mengepal erat.

“Yang butuh pelukan itu sebenarnya kamu atau Karin, Jeandra?”

Pertanyaan itu seakan terlempar telak mengenai ulu hati, Jean bahkan hampir kehilangan suaranya.

Lelaki itu memutar kembali tubuhnya hingga menghadap Anin. Matanya menyala tajam memerhatikan raut setenang danau milik Anindia.

“Karin. Karin yang butuh pelukan setiap sebelum tidur,” jawabnya berusaha setenang mungkin.

Tapi Anindia masih punya kalimat lain yang dia siapkan.

“Kamu mau tau apa yang Ibun bilang ke aku waktu pemberkatan kita?”

Senyap, tak ada jawaban.

“Jeandra itu lemah, Anindia. Jeandra selalu butuh pelukan setiap malam, setiap dia pulang kerja, setiap dia merasa lelah, atau setiap dia punya gundah.”

Anindia melanjutkan. “Jadi, kesimpulannya cukup sederhana. Kamu, Laksamana, kamu cuma menjadikan Karin tempat singgah. Kamu cuma menjadikan dia tempat berlabuh saat kamu lelah. Kamu boleh bersikap seakan dia adalah tempat kamu pulang di depan banyak orang. Tapi ini Anindia, kamu ngga bisa bohong di depan Anindia. Aku dokter, Jeandra. Banyak yang udah kuliat dan kulewatin selama bertahun-tahun.”

“Kamu itu pengecut, Jeandra.”

Selanjutnya tanpa menunggu lama, Jeandra kembali memutar tubuh. Melangkahkan kaki meninggalkan Anindia yang masih duduk di salah satu kursi dapur. Tangannya menggenggam erat sisi gelas makin erat, berusaha menyamarkan getaran yang sedari tadi dia rasakan.

Kalau bisa, Jeandra. Kalau bisa bukan kamu orangnya, saya juga maunya begitu. Tapi harus kamu, dari awal memang harus kamu.