A Piece of Tale – Bagian Dua
TW // Violence
Jean lupa kapan terakhir kali dia pernah semarah ini pada orang lain. Emosinya bak kehilangan nyawa, tertinggal entah kemana sejak kejadian tiga tahun lalu. Kecelakaan yang menimpa Ibun membuat Jean kehilangan banyak hal, bahkan hampir kehilangan Ibun sendiri. Kejadian sisanya terjadi di luar dugaan, Jean bersumpah kalau dia sama sekali tidak pernah mau membuat hidupnya sendiri seberantakan ini.
Dokter bilang orangtua Karin masih bisa selamat, mereka bilang Jean masih bisa bertemu dua korban lain dalam kecelakaan itu untuk meminta maaf mewakili Ibun. Mereka bilang begitu, tapi ketika dua tubuh pucat penuh luka itu sampai di hadapannya, Jean tahu kalau sejak saat itu, hidupnya tak akan lagi sama.
Di detik saat telinganya mendengar secara langsung berita kematian dua orang itu, Jean tahu kalau esok hari dan seterusnya, hidupnya akan berjalan layaknya neraka.
Seingat Jean, hari itu ketika dia sadar kalau hidupnya tak akan bisa berjalan seperti yang dia inginkan, seluruh amarah dan kecewa yang dia punya terkumpul pada satu titik. Tubuh Ibun yang terbaring kaku di atas ranjang rumah sakit, dua orang yang meninggal, dan fakta kalau ada satu orang gadis yang hidupnya hancur karena kehilangan orangtua, Jean menyalahkan semua hal itu pada satu orang.
Ayahnya yang terduduk dalam diam di lorong rumah sakit, lelaki itu menjadi titik utama matanya yang terasa panas dan memerah karena menahan tangis tertuju. Perselingkuhan yang lelaki itu lakukan, bukan hanya menghancurkan hati Ibun tapi juga mengubah arah hidupnya menjadi sebuah musibah yang mengerikan.
Seingatnya, hari itu adalah terakhir kalinya bagi Jean mengamuk dan melampiaskan semua rasa kecewa dan amarahnya pada seseorang. Jean masih bisa memutar kejadian itu di kepalanya dengan sangat jelas, terutama bagian dimana Ayah sama sekali tidak bergerak dan memberi perlawanan ketika dia kerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam lelaki itu dengan pukulan.
Hasilnya, tulang hidung Ayah patah, wajahnya penuh memar, dan mungkin bahu kirinya juga mengalami masalah. Jean betul-betul memakai seluruh tenaganya sampai dia sendiri terkulai lemas di lantai setelah melayangkan satu pukulan terakhir ke arah pelipis kanan sang ayah. Setelahnya, Jean menangis sejadi-jadinya. Membayangkan bagaimana Ibun menemukan foto Ayah tengah bercumbu mesra dengan wanita yang umurnya bahkan di bawah Jean membuat hatinya hancur.
Tak cukup satu kali menangis, lelaki itu kembali luruh ketika kalimat perpisahan keluar dari bibirnya untuk Anin. Sebab bahkan untuk satu detik pun, meninggalkan Anin sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya. Sebab satu tempat di bawah Ibun, Anindia menjadi satu-satunya wanita yang menempati segala aspek dalam hidupnya. Anin membuatnya merasa aman. Anindia memberi sesuatu yang orang lain tidak bisa berikan, entah apa itu tapi Jean bahkan tidak pernah berhasil menemukan hal itu dalam diri Karinina. Sesuatu yang membuatnya merasa pulang, sesuatu yang membuatnya merasa berharga, sesuatu yang membuatnya merasa kalau dia tidak perlu punya segalanya untuk hidup di dunia, cukup dengan melihat Anindia ada di dekatnya dan Jean tahu kalau dia sudah punya segalanya.
Maka, meninggalkan Anindia terasa seperti kiamat bagi Jeandra.
Lelaki itu kehilangan tempatnya pulang, dia kehilangan separuh dirinya. Kalau Ibun diibaratkan dengan jantung yang menopang hidupnya, maka Anindia adalah udara buatnya. Mengganti Anindia dengan Karinina sama dengan mengganti udara yang tersedia melimpah dengan udara yang berasal dari selang oksigen yang jumlahnya terbatas, membuatnya kesulitan bernapas sampai sesak, membuat kepalanya terasa sakit tiap saat sampai kakinya kesulitan memijak.
Hari itu menjadi terakhir kalinya bagi Jeandra menampakkan emosi di hadapan orang lain. Hatinya seakan membeku, sulit menemukan senyuman terpatri di wajah tegas itu di hari-hari setelah kejadian itu terjadi.
Tapi hari ini, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun, Jean kembali menunjukkan emosi yang telah lama tenggelam dalam dirinya. Sasarannya adalah Hema, yang terlihat sama sekali tidak menyangka kalau Jean akan meledak saat itu juga.
“Gue ngga ninggalin Anin cuma biar rencana yang hancur berantakan kayak gini, Bajingan.” Suaranya terdengar mendesis, urat-urat di balik kulit bahkan tanpa ragu menampakkan diri di pergelangan tangan Jean yang mencengkram erat kerah kemeja Hema.
“Gue bahkan lebih percaya sama lo dalam hal ini, gue ceritain semua masalah dan segimana berantakannya keluarga gue ke lo karena berpikir lo orang yang tepat buat gue jadiin tempat bersandar. Bahkan Anin sendiri ngga gue kasih tau soal ini karena ngga yakin dia bisa nerima fakta kalau laki-laki yang dia banggain ternyata punya ayah yang kelakuannya lebih dari binatang, yang bikin istrinya jadi pembunuh orang lain demi kabur sama selingkuhannya. Gue bahkan ngga punya nyali buat ngasih tau Anin soal itu, tapi gue tanpa ragu ngasih lo kepercayaan buat tau itu semua.”
Satu tinju melayang ke wajah Hema, Jean tentu pelakunya.
Tak cukup dengan satu pukulan, Jean kembali mengepalkan tangan kanannya dan mendaratkan satu tinjuan lagi dan kali ini sasarannya adalah pelipis Hema, mengakibatkan lelaki di depannya itu terhuyung ke belakang dan memejamkan mata menahan rasa sakit.
Jean bisa mendengar dengan jelas suara teriakan Karin, gadis itu mungkin ketakutan setengah mati tapi Jean tidak peduli, egonya sudah kepalang memuncak dan Jean tak lagi bisa menahan diri.
Hema bangkit. Lelaki itu mulai menyadari kalau dirinya tidak memberi perlawanan, Jean mungkin bisa menghabisinya dalam waktu kurang dari lima menit. Tenaganya kalah jauh jika harus dibandingkan dengan Jean, tubuh mereka tidak terbentuk dengan porsi dan masa otot yang sama. Hema sadar kalau melawan Jean dalam urusan ini hanya akan membuang tenaganya tapi dirinya juga sadar kalau jika dia diam, maka hasilnya akan jauh lebih mengerikan.
Hema berusaha melawan, sebab masih ada satu orang yang harus dia lindungi setelah ini. Karinina yang berdiri di ujung ruangan dan menangis kencang, Hema masih harus bisa bertahan karena sosok itu masih harus dia jaga.
Jean memperhatikan bagaimana mata Hema memandang sosok Karin yang berdiri jauh dari mereka, kemudian merutuki dirinya dalam hati karena terlambat menyadari kalau tatapan itu memang selalu ada di mata Hema.
Sayangnya, hal itu membuat Jean lengah dan tidak menyadari kalau Hema sudah memantapkan pijakannya dan maju satu langkah lebih dekat, sebelum kemudian membalas Jean dengan sebuah tendangan di perut. Tendangannya tidak sekeras itu, namun cukup untuk membuat Jean kehilangan keseimbangan hingga berakhir terduduk di lantai. Melihat itu, Karin kembali memekik histeris dan berniat untuk bergerak maju untuk membantu Jean, tapi gerakannya ditahan oleh Hema yang langsung menangkap tubuh mungil itu.
“Jangan ikut campur, kamu di sana aja,” ucap Hema lembut, membuat Jean langsung terkekeh ketika nada penuh perhatian itu terlontar dari sosok Hema yang sama sekali tidak pernah Jean duga akan bersikap demikian untuk seseorang.
Jean bangkit, egonya kembali terusik. Jean kembali maju meski napasnya terengah dan bagian dalam perutnya terasa sakit. Ringisan tipis keluar dari sela bibir Jean, namun tidak mengurungkannya untuk kembali menerjang Hema dengan kepalan tangannya yang kali ini terarah pada rahang Hema, membuat pegangannya pada Karin terlepas seketika kemudian tersungkur sebab Jean langsung memberi tendangan keras di dadanya.
Jean belum berhenti, kakinya ia bawa maju dan tangannya mencengkram kemeja Hema lebih erat. Lalu tanpa aba-aba dan tanpa bisa Hema hindari, wajahnya kembali menjadi sasaran pukulan Jean berkali-kali tanpa ampun. Jean kehilangan kewarasannya. Bayangan tubuh Ibun yang terbaring kaku di ranjang operasi kembali memenuhi kepala, kemudian wajah Anindia yang menangis tempo hari menambah rasa sesak yang mengerubungi dadanya. Membuat napasnya semakin sulit untuk diatur dan tangannya perlahan kehilangan kekuatan untuk mengepal.
Satu pukulan terakhir.
Wajah Hema sudah tak lagi bisa disebut baik, darah segar mengucur dari hidung dan sudut bibirnya. Hema meringis berkali-kali, namun sama sekali tidak mengeluarkan satu patah kata pun ketika melihat Jean mundur dengan napas yang berantakan dan kedua tangan yang bergetar hebat.
Mata Jean memerah, panas dan perih memaksanya untuk menangis detik itu juga namun Jean membantah dirinya, batinnya melarang keras untuk terlihat lemah di hadapan dua orang di depannya.
Jean mengarahkan pandangan pada Hema yang terbaring lemas di lantai, matanya terpejam dan Jean yakin kalau lelaki itu butuh segera dilarikan ke rumah sakit. Hema bahkan terlihat tak lagi sanggup menarik napas dengan benar. Dalam diam, meski dengan kedua tangan bergetar dan tenaga yang hampir tak lagi tersisa, Jean mengeluarkan ponsel, mendial sebuah nomor yang biasa dia hubungi ketika punya keperluan.
“Minta satu perawat yang jaga IGD ke sini, suruh bawa perlengkapan buat luka sama memar,” ucap Jean singkat. Seseorang di seberang telepon mengiyakan permintaannya, entah paham atau tidak dengan situasi yang terjadi.
Sebelum jemarinya menekan layar untuk kembali memutus panggilan, Jean mengarahkan pada Karin. Bibirnya kembali terbuka dan mengudarakan satu lagi permintaan.
“Sama minta dokter kandungan yang biasa saya dan Karin datangi di rumah sakit buat datang ke sini,” pintanya.
Sebab mau bagaimanapun, si kecil di dalam sana sama sekali tidak bersalah. Jean tahu itu dengan pasti. Sebab semuak apapun dirinya menyaksikan bagaimana Hema masih menyempatkan diri meraih jemari Karin untuk dia genggam erat meski tenaga yang lelaki itu bahkan tidak cukup untuk membuatnya mampu membuka mata dengan benar, Jean sadar kalau si kecil di dalam sana sama sekali tidak ikut andil dalam masalahnya.
Sebab mau sebenci apapun Jeandra mengetahui kalau sahabatnya ternyata adalah ayah dari bayi yang selama ini menjadi alasannya menyakiti Anindia lebih banyak, Jean tidak dapat membantah fakta kalau si kecil di perut Karinina itu sempat memenangkan hatinya. Jean tidak dapat memungkiri kalau si kecil itu sempat membuatnya menemukan satu bahagia di tengah kelamnya luka.
Walau segala hal kembali terenggut darinya dalam sekejap hari ini, Jean masih dapat menyadari kalau si mungil yang bahkan belum bisa Jean sebut namanya itu berhak hidup dengan benar, meski dua orang yang menghancurkan dunianya berhasil membuat Jean ragu kalau yang dia lakukan bertahun-tahun sebelumnya adalah hal yang benar.
Jean menutup panggilan di detik berikutnya. Kakinya ia bawa melangkah menjauhi dua orang itu, tak peduli suara serak Karin memanggil namanya berulang kali.
Kedua kakinya bergetar, namun Jean paksa dirinya agar terus berjalan meski langkahnya terseok dan membuatnya hampir tersungkur ke lantai. Rasa panas di kedua matanya memaksa Jean untuk menerjunkan bulir bening, namun ia tahan tangisan yang semakin mendobrak netra itu dengan menggigit bibir kuat hingga rasa asin berkarat terasa di belah lidah.
Jeandra membawa tubuhnya memasuki kamar tamu, ruangan yang dua minggu lalu masih ditempati oleh Anindia. Satu langkah kakinya memasuki kamar yang luasnya sedikit lebih sempit daripada kamar utama yang dia tempati, Jean menghirup udara di sekitarnya dengan kedua mata memejam. Berharap kalau aroma vanila yang dulu sering ia temukan dari Anin masih tertinggal walau hanya sedikit.
Tapi nihil, Anindia sama sekali tidak meninggalkan jejak di sana bahkan setitik. Jean mengedarkan pandangan, memperhatikan bagaimana kosongnya seluruh sudut ruangan tanpa penghuni ini, yang kemudian mengundang ribuan jarum tak kasat mata menghujam dadanya.
Anindia sama sekali tidak meninggalkan jejak, hingga Jean hampir frustasi menarik napasnya dalam-dalam sambil masih terus berharap kalau sedikit saja aroma vanila Anindia bisa terhirup oleh penciumannya.
Sebab Jean rindu.
Anin sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menemukan sedikit saja jejak dirinya, kecuali satu hal. Kecuali satu benda berbentuk persegi panjang dan sebuah kaos kaki serta topi rajut mungil di sudut ruangan dekat dengan lemari yang Jean tangkap melalui matanya.
Itu susu khusus ibu hamil, sebuah kaos kaki amat mungil berwarna merah muda, dan topi rajut dengan tempelan karakter Grizzly milik kartun We Bare Bears kesukaan Anindia. Jean mendekat ke arah benda-benda itu, kaki dan tangannya semakin bergetar.
“There's no way...,” ucap Jean pada dirinya sendiri.
Dengan gerakan kilat, Jean membuka lemari yang beruntungnya dalam keadaan tidak terkunci. Benaknya berkali-kali menggumamkan nama Anindia, sesuatu di dalam dadanya seakan ingin meledak karena rasa sesak yang mengganggu.
Ketakutannya bercabang pada banyak hal. Jean takut kalau ternyata selama ini, dia bukan hanya menyakiti Anindia tapi juga satu lagi sosok yang kehadirannya tidak pernah dia sadari sebelumnya. Jean takut kalau dia bukan hanya menyakiti Anindia sampai wanita itu menyerah akan dirinya, tapi juga menyakiti sosok lain yang Anin coba lindungi.
Bayangan soal Anindia yang tengah membawa makhluk kecil milik kami dan saya bukan hanya menyakiti Anindia tapi juga menyakiti si kecil itu. Jean takut, hingga otaknya tak lagi bisa membayangkan hal lain selain Anindia yang ia sakiti hingga tak berbentuk.
Sampai kemudian, ketika pintu lemari terbuka lebar dan Jean menemukan sebuah amplop putih berlogo rumah sakit yang pernah ia lihat, Jean tahu kalau ketakutannya betul-betul menjadi nyata.
Surat itu menyatakan kalau Anindia positif hamil, dan di detik yang sama ketika matanya bergulir hingga menyapu seluruh isi kertas, tubuhnya terjatuh tanpa bisa ditahan. Detik itu, Jean merasa kalau kewarasannya direnggut paksa, nyawanya seakan ditarik dalam hitungan detik dari raganya. Sebaris kalimat yang menyatakan kalau Anindia tengah mengandung dengan tanggal yang tertanda hampir satu bulan yang lalu itu membuat Jean kehilangan kemampuannya untuk berdiri dengan benar.
Sesak yang datang semakin ramai, Jean sama sekali tidak bisa berpikir dengan lurus. Kepalanya terasa sakit, tapi hatinya terasa lebih sakit. Jean bangkit, ia paksakan kedua kakinya untuk berdiri kemudian berjalan keluar dari kamar. Langkahnya ia percepat, kepalanya hanya terisi oleh Anindia dan Jean tidak punya waktu untuk peduli pada Karin dan Hema yang dia tahu masih berada di ruang tamu rumahnya.
Jean bawa dirinya memasuki mobil, tujuannya adalah Anindia. Entah dimana wanita itu berada saat ini, yang jelas Jean bersumpah kalau dirinya tak akan berhenti sebelum bisa melihat Anin.
Jean tahu kalau dirinya bahkan tidak pantas diberi maaf, dia menyakiti Anin dengan kedua tangannya sendiri. Tapi dia butuh melihat Anindia sekali ini saja, hanya satu kali ini.