Aksara

Bertahun-tahun lalu ketika beliau kehilangan seseorang yang tidak dia sadari hadir di dalam tubuhnya, Ibun yakin kalau hari itu adalah hari yang bisa dia kenang sebagai kiamat dalam sejarah hidupnya sendiri. Kiamat bagi Ibun tidak jatuh di hari dia menemukan suaminya ternyata menjalin ikatan dengan wanita lain. Tidak, Ibun masih bisa bernapas di hari itu. Dia masih bisa bersyukur karena meskipun menyakitkan, dia akhirnya tahu kalau lelaki yang selama ini dia anggap segalanya adalah yang paling banyak memberi luka.

Kiamat bagi Ibun adalah hari itu, dimana dia mendengar sendiri kalimat dari dokter soal sosok mungil di dalam dirinya sudah tiada. Itu adalah kiamat bagi Ibun, hari itu terasa seperti kehancuran baginya. Kejadian itu terjadi jauh sebelum mereka memutuskan untuk bercerai. Mungkin melewati hari itu membuat Ibun tidak merasa terlalu terpuruk di waktu perceraiannya. Mungkin otak Ibun sudah menghafal rasa sakit yang dia dapatkan dulu, makanya sewaktu sidang perceraian, tidak ada air mata yang tumpah karena sudah terbiasa.

Ibun hanya diam mendengar keputusan hakim. Tidak ada yang wanita itu lakukan selain berkali-kali menarik napas lelah dan pada akhirnya memutuskan untuk pulang. Berbeda dengan sewaktu dulu dia mendengar kalau janinnya gugur. Reaksi pertama yang Ibun perlihatkan hari itu adalah mengerjap bingung sebelum mulai terisak dan berteriak pilu.

Ibun ingat dengan jelas ketika Jean langsung berlari ke dalam ruangan dan menariknya ke dalam sebuah rengkuhan. Jean melingkarkan kedua tangan ke tubuhnya, tanpa kata apapun yang terudara sebab Jean sendiri tidak sanggup mengatakan apapun lagi. Jean hanya mengeratkan pelukannya seiring tangisan Ibun yang semakin keras. Wanita itu ingat dengan jelas bagaimana Jean menjaga tubuhnya yang bergetar dengan kedua tangan, tanpa kata apapun yang terudara sebab Jean sendiri tidak sanggup mengatakan apapun lagi. Jean hanya mengeratkan pelukannya seiring tangisan Ibun yang semakin keras.

Yang terjadi hari ini adalah sebaliknya.

Ibun menarik Jean ke dalam pelukannya. Hari ini, bukan Ibun yang menerima elusan halus di punggung, melainkan Jeandra. Laksamana Jeandra Galuhpati-nya yang sejak dulu selalu siap menawarkan pelukan untuk Ibun di setiap fase terendah kehidupan yang beliau jalani, hari ini untuk pertama kalinya sosok itu menjadi pihak yang menerima pelukan.

Jean menenggelamkan kepalanya di dada Ibun, mengadu di sana kalau hidupnya tidak baik-baik saja, berusaha menyampaikan pada Ibun kalau dirinya ternyata tidak sekuat yang dia kira. Isaknya semakin keras kala Ibun berkali-kali mengucap maaf tepat di depan telinganya. Suara lembut Ibun terdengar parau, wanita itu terdengar sama putus asanya dengan Jean, dan hal itu membuat rasa sakit yang dia tanggung terasa lebih parah, lebih tajam, dan lebih sulit untuk dihilangkan.

Kepala Jean terasa pening luar biasa, tapi tangisannya belum menunjukkan tanda akan berhenti. Kedua tangan dan kaki Jean bergetar, Jean bahkan tidak sanggup membentuk satu tangannya menjadi sebuah kepalan. Yang dia lakukan hanyalah menautkan jari jemarinya ke baju yang Ibun pakai, bergantung di sana seolah seluruh hidupnya bersumber dari sana. Kepalanya berulang kali memutar ingatan soal teriakan Anin yang dia dengar di dalam sana, membuat dadanya semakin sesak sampai rasanya Jean bisa meledak dan hancur berkeping-keping.

Di tengah tangisannya yang menggaung di seluruh balkon, suara lain menginterupsi. Suara langkah kaki mendekat ke arah mereka dan membuat Jean mengangkat kepalanya. Matanya menangkap sosok lelaki berjas putih dengan kedua tangan berada di dalam saku jas yang memeluk tubuhnya.

Itu Aksara.

Lelaki itu berdiri di pintu masuk yang menghubungkan antara ruangan bagian dalam dengan balkon, mengarahkan pandangan seolah dua orang di depannya tidak tengah saling menggenggam tangan masing-masing dengan tangis yang tersendat, seolah yang terjadi di depannya bukanlah hal yang mengusik pandangan dan Aksa hanya bertugas menyampaikan satu kalimat.

“Anin mau ketemu lo,” kata Aksa, yang tentu dia tujukan pada Jean.

Jean sontak menghapus air mata yang mengalir di pipinya menggunakan punggung tangan dengan kasar, kemudian bangkit dan berlari keluar tanpa sempat berpikir lebih panjang. Meninggalkan Aksa dan Ibun yang mematung di tempat masing-masing.

Aksa maju, mendekat ke arah Ibun lalu berlutut di depan wanita itu. Tangannya terulur ke depan, meminta Ibun untuk menyambut dan mengajaknya berdiri dari lantai dingin yang menjadi tempatnya terduduk sendiri.

A queen should never sit on the floor, Ma'am.” Aksa masih menunggu uluran tangannya disambut oleh wanita di depannya. Merasa kalau Ibun masih menatapnya dengan bingung, Aksa berinisiatif untuk menggenggam tangan Ibun lebih dulu dan membantunya bangkit dengan teramat berhati-hati.

Have you got your lunch?” tanya Aksa.

Dia tidak buta. Aksa bisa melihat dengan jelas kalau mata Ibun masih memerah dan berair, Ibun bahkan terlihat siap meluncurkan air matanya lagi. Tapi daripada membahas alasan di balik tangisan itu, Aksa lebih memilih untuk membahas hal lain. Dari banyak hal yang paling Aksa benci, dia paling tidak bisa melihat tangis terpatri di wajah seorang ibu.

Ibun menggeleng pelan, membuat Aksa tersenyum simpul. “Let's grab some food for you, then.” Aksa tersenyum simpul sebelum membawa tangan Ibun ke dalam genggaman yang lebih erat dan menuntun Ibun untuk pergi ke depan toilet yang letaknya di ujung lorong. Ibun menatap Aksa kebingungan, namun Aksa langsung mengatakan tujuannya membawa wanita itu ke sana.

In case, Tante mau cuci muka dulu. Abis ini baru kita ke bawah buat makan,” katanya sebelum melepaskan genggamannya dari tangan Ibun dan membiarkan wanita itu masuk ke dalam. Aksa menunggu dalam diam meski sejujurnya, kepalanya amat berisik dan memaksanya memikirkan banyak hal.

Air mata tak lagi bersisa di pipi tirusnya, Aksa sudah menghapus tangisannya bermenit-menit lalu dan berusaha menormalkan ritme napasnya agar bisa kembali beraktivitas dengan benar. Jadi, yang terlihat di wajahnya saat ini hanyalah raut tenang seperti yang biasa dia tampilkan. Seolah tak pernah ada Aksara yang tertunduk sambil mencengkram kedua lututnya sendiri dengan erat agar tubuhnya tidak tumbang dan menubruk lantai. Seolah tak pernah ada Aksara yang menggigit bibirnya terlampau kuat agar suara tangisannya tidak terdengar oleh orang lain bermenit-menit yang lalu. Seolah yang ada hanyalah Aksara yang minim ekspresi seperti yang selalu dia tampilkan di depan banyak orang.

Sampai dua menit kemudian, Ibun sudah berdiri di hadapannya dengan keadaan yang sedikit lebih baik. Matanya terlihat bengkak, namun Ibun berhasil membuat tangisannya berhenti. Aksa bersyukur melihat hal itu. Kedua sudut bibirnya terangkat tipis, lalu tangannya kembali terangkat untuk menawarkan gandengan pada Ibun.

Alright, let's grab our lunch.

Sebab meski benaknya tengah kalut dan ribut perkara Anindia, Aksa sadar kalau dirinya harus bisa berdiri tegap seakan tanpa gangguan. Meski dadanya terasa sesak bukan main tiap kali mengingat bagaimana Anindia tengah hancur di dalam ruangan, Aksa tahu kalau dirinya tidak punya hak apapun untuk jadi sosok yang terang-terangan ikut menangis bersama wanita itu. Sebab meski dia juga ikut lebur bersama luka yang Anin punya, Aksa tahu kalau dia bukan Jeandra yang bisa terang-terangan ikut merasa terluka. Dia hanya orang lain, orang yang kebetulan mengenal Anin melalui kebetulan semata.

Maka, yang dia bisa lakukan untuk Anindia hanyalah mencoba menangani kekacauan yang ada. Menenangkan Papa yang tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri, mengajak Ibun keluar dan makan, berkomunikasi dengan para dokter yang menangani Anin dan memastikan kalau Anindia berada di tangan yang tepat, dan membiarkan Jean mengambil porsinya sebagai seorang suami yang walaupun sudah terlambat, Aksa sadar kalau Jean punya hak akan hal itu secara mutlak.

Sebab dia paham kalau di saat seperti ini, kehadirannya tidak akan berarti apa-apa. Sebab Aksa mengerti dengan jelas kalau dirinya hanya Aksara, bukannya Jeandra.

-