Anak Paling Hina, Kata Papi

TW // Mention of violence , Abusive behaviour

Romeo sedang duduk di kursi meja belajarnya ketika suara pintu kamarnya yang terbuka membuat perhatiannya teralih. Seseorang masuk, suara langkahnya terdengar jelas dari tempatnya duduk.

“Stop doing something useless, can’t you?”

Kedua tangan Romeo mengepal ketika mendengar pertanyaan yang dilemparkan dengan nada sinis itu. Romeo tahu dari siapa datangnya pertanyaan itu, sosoknya adalah yang paling Romeo hindari tiap kali berada di tempat ini, rumahnya sendiri. Perlahan, laki-laki itu memutar tubuh dan melihat sendiri sosok itu sambil berdoa di dalam hati agar tidak harus ada keributan yang terjadi kali ini.

Papi berdiri dengan jarak sepuluh kaki darinya, wajah laki-laki itu tidak terlihat senang. Diam-diam, Romeo mencoba menebak kesalahan apa lagi yang kali ini diperbuatnya sampai membuat ayahnya itu memasang ekspresi demikian. Apa karena ketahuan berkelahi demi membela Sabrina kemarin? Romeo tidak yakin kalau itu alasannya. Semua video yang berisi dirinya sedang menghajar Rangga seperti orang kesetanan kemarin sudah ia pastikan dihapus dari dunia maya, Romeo yakin tidak ada yang lolos dari perburuannya dan teman-temannya semalam.

Romeo baru hendak bertanya pada Papi tentang maksud dari kalimat laki-laki dengan rambut yang sudah putih sebagian itu, tapi niatnya langsung terhenti ketika sebuah kotak kado berwarna merah gelap dilemparkan ke arahnya dengan gerakan yang teramat kasar. Romeo mengenal kotak yang barusan Papi lemparkan itu, bibirnya langsung digigit keras demi menahan denyut nyeri yang secara brutal menyerang bagian dada.

Ah, ternyata karena kado yang ia beli kemarin. Papi marah karena Romeo meletakkan kado yang ia beli setelah meminta saran dari Sabrina itu di kamar Papi, Romeo sempat lupa kalau Papi benar-benar tidak menyukai apapun yang berasal dari dirinya, Romeo harusnya sadar.

“Mas Naka ngasih kado berupa gelar dokter spesialisnya hari ini ke Papi, sedangkan Mas Jo ngasih kado berupa grafik penjualan produk baru di perusahaan yang naik drastis dan kamu? Kamu kira ngasih Papi dasi murahan kayak gini bisa bikin Papi senang, begitu?” ucap Papi dengan nada ketus yang amat Romeo benci. “Papi bilang berkali-kali sama kamu, selama masih belum bisa jadi anak yang membanggakan, jangan pernah ngasih apa-apa tiap hari ulang tahun Papi karena apapun yang kamu kasih itu nggak akan pernah ada artinya, kapan kamu bisa paham?”

Tanpa mengatakan apapun, Romeo langsung memungut kotak berwarna merah gelap yang tadi dilemparkan ke arahnya, kemudian membawa benda itu ke arah tempat sampah di sudut ruangan kamarnya untuk dibuang. Suara yang ditimbulkan dari permukaan keras kotak yang bertemu dengan dasar kotak sampah pun menggema di seluruh penjuru.

“Kalau nggak suka kadonya, tinggal dibuang, nggak perlu pakai hina aku juga. Tinggal buang kadonya, nggak ribet. Hidup ini bisa dibikin mudah, tapi Papi malah milih buat hidup dengan ribet,” ucap Romeo tanpa sedikit pun menoleh ke arah ayahnya. “Tahun depan aku nggak akan kasih apa-apa ke Papi, tenang aja.”

Papi menatap Romeo tajam, tidak suka dengan nada cuek yang Romeo berikan padanya. “Jangan kurang ajar sama Papi, Romeo. Kamu tahu konsekuensinya kalau kamu bikin Papi marah.”

Romeo berdecak cukup keras, suaranya mungkin sampai ke telinga Papi karena suasana kamar yang sepi. “Apa? Mau mukulin aku lagi? Pukul aja, udah lama juga aku nggak dipukul sama Papi. Terakhir kapan, tuh? Waktu aku nggak lulus kedokteran, kan? Waktu itu tanganku sampai patah,” ucap Romeo sambil menampilkan sebuah senyum polos seolah kalimatnya barusan bukanlah sesuatu yang mengerikan.

“Kali ini mau apa lagi? Kaki? Eh, jangan. Kalau Papi patahin kakiku, aku nggak bisa main futsal lagi nanti, aku ada taruhan futsal sama anak komplek sebelah besok, jadi tolong kali ini jangan bikin kakiku patah, ya. Kalau mau, tangan lagi aja. Kemarin yang Papi patahin itu tangan kanan, yang kali ini tangan kiri aja,” ucapnya dengan santai.

“Anak kurang ajar—”

“Papi?”

Ah, suara lain muncul dan membuat Papi yang tadinya sudah bersiap untuk maju dan mengangkat tangan untuk menerjang Romeo langsung menghentikan niatnya. Itu suara Kanaka, laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu muncul dari balik pintu kamar Romeo dan menatap dua orang di dalam sana seolah tidak mengetahui apa yang tengah terjadi.

“Ada telepon dari pegawai Bank BSA, katanya mereka mau ngasih karangan bunga buat ulang tahun Papi dan kepala cabangnya mau ngomong langsung sama Papi sekarang,” ucap Kanaka sambil menyodorkan ponsel milik Papi yang menampilkan nomor tidak tersimpan yang tengah berada di dalam mode panggilan di layarnya.

Papi berdehem singkat, sebelum kemudian memutar tubuhnya dan mengambil alih ponselnya dari tangan Kanaka dan keluar dari kamar Romeo, meninggalkan anak sulung dan anak bungsunya di sana. Romeo menghela napas panjang, kemudian menatap kakak sulungnya dengan tatapan yang maknanya hanya bisa diartikan oleh mereka sendiri.

“Berhenti mancing emosinya Papi dan bikin dia mukulin kamu, bisa?” ucap Kanaka dengan nada kesal yang bercampur dengan khawatir di ujung kalimatnya. “Kalau kamu tantang begitu, Papi nggak akan segan mukulin kamu beneran, Romeo.”

Romeo berjalan ke arah kasurnya dan terkekeh pelan. “Terus kalau Papi beneran mukulin aku, kenapa? Nggak ada urusannya sama Mas Naka juga, aku udah biasa digituin sama Papi dari kecil.”

“Romeo—”

“Mas, kalau omongan Mas Naka bisa bikin Papi berhenti benci sama aku, aku bakal dengerin, oke? Masalahnya, nasihatnya Mas Naka nggak berarti apa-apa buat aku. Jadi, tolong berhenti sok peduli sama aku kecuali kamu itu Mami. Di rumah ini, nggak ada yang benar-benar peduli sama aku kecuali Mami,” balas Romeo sambil menatap Kanaka dengan ekspresi datar. “Urusin aja urusan Mas Naka, anggap aku nggak ada.”

Setelah mengatakan hal itu, Romeo kemudian merebahkan dirinya di atas kasur dan memejamkan matanya. Gerakan itu menjadi tanda bagi Kanaka untuk tidak mengatakan apapun lagi dan langsung keluar dari ruangan milik si bungsu, meski sebenarnya ada banyak yang ingin laki-laki itu katakan pada Romeo.