Are We Really Meant To Be?
Warning : Harsh words, mature content.
“Sakit, Tama. Udahan, ya?”
Ageeta menunduk, kedua tangannya ia sandarkan pada dada lebar Tama yang masih diam di tempat. Gadis itu pun meletakkan kepalanya di dada Tama, seperti mengadukan rasa sakit yang lelaki itu berikan padanya.
“Ayo pulang dulu, kita bicara di rumah kamu.”
Geeta menggeleng kuat, badannya bahkan sampai hampir limbung jika Tama tidak menahan pinggang rampingnya.
“Di rumah ngga ada orang. Aku ngga mau sendirian.”
Tama mengerutkan dahi. “Haikal mana?”
“Ngga pulang udah tiga hari.”
Tama mengangguk dan mengeratkan rangkulannya di pinggang Ageeta. Entah gadis itu menyadari atau tidak, bahwa sejak ia meletakkan kepala di dada Tama, lelaki itu melingkarkan pergelangan tangannya untuk menahan tubuh gadis di dekapannya.
Dan entah gadis itu menyadarinya atau tidak, Tama sudah mengubur kepalanya di ceruk leher Ageeta. Menghirup dengan rakus aroma shampo yang tertinggal di sana, wangi lemon dan gula menguasai hidungnya, lembut namun memikat, membuat Tama enggan melepaskan diri dari sana.
“Dengerin aku dulu, mau?”
Tama menghela napas kala isakan menjadi jawaban dari pertanyaan yang ia tawarkan.
“Aku ngga selingkuh.”
“Kamu udah bilang itu lima kali hari ini.”
“Dan kamu ngga percaya?”
“Ya lo mikir aja, bangsat!”
“Language, Ageeta.”
Teguran itu membuat Geeta memandang Tama dengan sengit.
“Kalo selingkuh tinggal bilang iya aja kali, ribet amat.”
Tama memejamkan mata frustasi. “For the hell shake, aku ngga selingkuh. Kamu mikir kejauhan.”
Kali ini, Geeta menghapus air matanya dengan gerakan kasar. Gadis itu kemudian mundur selangkah dan memerhatikan Tama dari atas hingga ujung kaki, memindai lelaki di hadapannya dengan sumpah serapah di dalam hati.
“Kamu tau anjing?”
Tama mengangguk malas. Sudah paham bahwa gadis di hadapannya akan mengeluarkan serapahan pada dirinya.
“Cewek itu kaya anjing.”
Tama mengernyit, tidak menduga kalimat itu akan keluar.
“Yang anjing bukan kamu, tapi dia. Pacar aku ngga boleh disebut anjing.”
“Gee.”
“Apa? Kamu mau marah aku bilang dia anjing? Mau bela dia?”
“Ngga gitu.”
Geeta merengut, kemudian melepaskan diri dari dekapan kekasihnya. “Goblok banget aku nangisin kamu. Untung maskara aku water proof.”
“Terserah, Ageeta. Terserah kamu.”
“Jadi... Adara, ya? Anak hukum, angkatan 2019.”
Tama mengangguk. “Kenapa?”
Ageeta mengangkat bahu cuek, lalu menggeleng singkat dan menunjukkan cengiran polos.
“Aku tau kamu ngga bakal jelasin dia siapa dan kenapa kamu meluk dia. Jadi yaudah,” ucapnya.
“Yaudah apa?” tanya Tama.
“Silakan pelukan sama dia. Terserah, kamu mau make out sama dia sekalipun terserah, tapi persilakan aku juga buat kasih tau dia kamu milik siapa.”
“Jangan macem-macem.”
Geeta tertawa sarkas, matanya memaku tatap pada Tama yang malam ini menggunakan kaos polos berwarna hitam dan ripped jeans biru tua.
“Kamu kenapa ganteng banget sih?”
Tama memutar bola mata. Tipikal Ageeta sekali, pikirnya.
“Aku kan jadi ngga tega mau nendang sama nampar kamu kalo liat ganteng begini.”
Sebelum Tama sempat menjawab, kalimat lain terudara dari bibirnya. “Tenang, Sayang. Aku ngga bakal macem-macem. Selingkuhan kamu aman, cuma bakal aku traktir makan sama ngobrol doang.”
“Aku ngga selingkuh, Ageeta.”
“Selingkuh, simpanan, mainan, backstreet. Terserah, you name it yourself.“
Tama jelas menunjukkan wajah lelah dan frustasi, rahangnya mengeras.
“Aku ngga bakal minta putus lagi. Kecuali kamu yang minta. Jadi... Kalo sekarang kamu mau pisah-”
Kalimat itu meluncur namun tidak terselesaikan, sebab berbarengan dengan kedua tangan milik Tama yang menarik leher Ageeta, membawanya mendekat agar ranumnya dapat merangkum milik gadis itu hingga senyap.
Ageeta sontak diam, seluruh tubuhnya seakan dipaksa berhenti bekerja dan hanya fokus pada yang Tama lakukan.
Tama menghapus jarak di antara mereka.
Lelaki itu mempertemukan belah bibir mereka dalam jarak yang nihil.
“Jangan pernah sebut kata itu, Gee. Aku mohon.”
Tama berbisik di tengah tautan mereka, membuat Ageeta dapat merasakan getar suaranya lewat ranum mereka yang tertempel.
“Tama ini...”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya yang menggantung di udara, Tama secara impulsif menggerakkan tautan itu. Menyesap belah bawah milik gadisnya dengan hati-hati, berusaha setenang mungkin menyampaikan kerisauannya lewat kecupan-kecupan kecil yang ia berikan.
“*No break up, okay. Let's stop talking about this.”
-