Between Them
Content Warning // Kissing scene
Anindia tidak pernah tahu kenapa dia tidak menolak saat Jean menarik paksa tangannya sejak keluar dari kamar. Anin bisa saja melawan, mengatakan tidak lalu pergi dan mengurus pertemuannya pagi ini, tapi segala tentang Jeandra membuatnya tidak punya kuasa untuk menggeleng.
Lelaki itu selalu punya satu hal yang membuat Anin tidak bisa menolak, bahkan setelah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka berbincang mengenai suatu hal di tempat yang Jean sebutkan, lelaki itu masih saja berhasil membuat Anin mengangguk setuju. Bahkan hari ini, saat sebetulnya Anin enggan mengingat apapun soal tempat itu.
Tempat yang dulu sering mereka datangi hanya untuk melepas lelah, atau hanya untuk saling menatap dalam diam tanpa sepatah kata. Satu tempat di sana yang menjadi area favorit mereka, entah untuk saling berbagi cerita atau sekedar untuk saling bertanya kabar lalu tenggelam dalam lamunan.
Anin enggan mengingat satupun hal soal tempat itu. Kepalanya berteriak mengatakan tidak, secara gamblang meminta kakinya melangkah mundur, dengan keras berkata kalau mengunjungi tempat yang sama dengan orang yang sama hanya akan membuatnya lebih hancur dari yang ada.
Tapi hatinya berkata silakan.
Maka saat satu kalimat utuh milik Jean menjadi satu-satunya pembuka di antara keheningan yang melanda, Anindia tahu pasti kalau semua isi kepalanya akan terbukti benar. Sebab saat Jean mengudarakan kalimatnya, ada rasa sesak yang perlahan membuat Anin menggenggam jemarinya sendiri dengan erat, berusaha bertahan agar kedua kakinya tidak terjatuh di tengah jalan mereka menuju mobil.
“Warunk Upnormal, sounds familiar, doesn't it?. Gue yakin lo paham kenapa gue bawa lo ke sana.”
Telak, tanpa ampun, tanpa bisa dia lawan.
Sebab sebetulnya Jeandra benar, Anin paham kenapa Jean membawanya ke sana. Sebab Jeandra menebak dengan tepat, kalau Anin tidak akan pernah lupa dan tidak akan pernah bisa, apapun soal tempat itu akan selalu membawa ingatan soal mereka berdua bahkan ketika dia sendiri tidak ingin.
Getar di kedua tangannya yang tadi dia anggap hanya sebuah kebetulan sebab Anin sama sekali belum menelan sesuap makanan pun, kini nyata dan tak terelakkan hadir sebagai bukti kalau Anin ketakutan. Sebagian besar dari dirinya menyatakan enggan dan meminta otaknya untuk menolak ajakan Jean. Tapi bagian paling kecil di dalam sana mengatakan iya, mengizinkan Anin untuk berjalan patuh mengikuti arah langkah Jean yang gegabah.
“Setelah ini pilihan ada di tangan lo, mau mundur atau tetap lanjut. Gue bakal sangat bersyukur kalo lo milih buat mundur dengan sendirinya.”
Suasana yang canggung membuat Anin kesulitan mengatur napasnya, bahkan untuk sekedar membuka mulut dan bersuara pun rasanya amat sulit. Nama tempat itu terbayang di benaknya, terngiang-ngiang berkali-kali bagai potongan klip rusak yang di tempatkan di otaknya tanpa mau keluar.
Tenggorokannya terasa sedikit kering, lalu tanpa sadar kedua tangannya saling menggenggam erat. Menunggu kalimat lain dari Jean mengenai alasannya menarik Anin pergi ke tempat itu membuat gadis ini kehilangan percaya diri. Rasanya, Anin bisa saja melarikan diri dari tarikan paksa Jean yang perlahan membuat sedikit rasa kebas mulai merambati pergelangan tangan kanannya. Tapi Anin yakin kalaupun dia memutuskan untuk menarik paksa tangannya agar Jean berhenti memaksa, lelaki itu tak akan membiarkannya melangkah menjauh bahkan untuk satu jengkal.
“Biar semuanya jelas, lo sama gue, apapun soal kita harus jelas hari ini tanpa ada yang ketinggalan lagi.”
Detik itu, Anindia menegang. Bahkan tanpa dia sadari, tubuhnya sudah berada di dalam mobil, bersisian dengan Jean yang mulai mengemudi. Entah mana yang memenuhi kepalanya, rasa takut atau panik yang membuncah hingga ke ubun-ubun. Takut akan hal yang tidak dia harapkan terjadi jikalau mereka sampai di tempat itu. Lalu panik entah karena apa, yang jelas Anin bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri menggema gila-gilaan di dalam sana.
Bagaimana kalau Jean mengucapkan perpisahan? Bagaimana kalau tujuan mereka ke sana adalah untuk mengakhiri semuanya? Bagaimana kalau yang terjadi kali ini bukan seperti yang dulu-dulu? Dimana tempat itu akan selalu jadi persinggahan di kala mereka melepas penat, dan bagaimana kalau kali ini yang akan dia lepas bukannya penat melainkan ikatan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, enggan meninggalkan celah otaknya barang sedetik.
Karena jauh di dalam otaknya, Anin rasa dia akan makin hancur kalau kata itu betul-betul terucap di antara mereka.
Lalu matanya memandang raut wajah Jean yang tampak menahan banyak hal, rahang lelaki itu mengeras hingga urat-urat lehernya tampak ke permukaan. Permukaan bawah telapak tangannya tampak memerah, kemungkinan besar karena menekan kemudi terlalu erat. Kedua tangannya menggenggam kemudi dengan sepenuh tenaga, dalam sekejap Anin paham kalau Jean tengah dikuasai kemarahan.
Lalu entah dengan keberanian dari mana, Anin mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh tangan Jean yang menggenggam roda kemudi dengan erat. Ibu jarinya bergerak mengelus permukaan kulit Jean dengan pelan dan penuh kelembutan, berusaha berhati-hati agar gerakan yang dia buat tidak menyakiti lelaki di sampingnya itu.
Anin sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Dia sudah siap jika Jean merenggut tangannya dengan penuh tenaga. Dia meyakinkan diri sendiri kalau tidak masalah jika setelah ini Jean akan menghempaskan tangannya karena risih dengan gerakan yang dia buat secara tiba-tiba. Anin meyakinkan dirinya kalau setelah ini kemarahan Jean semakin memuncak, dia siap untuk menahan rasa sakit yang kemungkinan timbul. Anindia—
“Kamu lagi-lagi bikin aku makin benci sama diri sendiri, Anin…”
Anin tertegun.
Aku.
Kamu.
Yang lebih mengejutkan, suara Jeandra terdengar bergetar.
Lelaki itu… terdengar menyedihkan.
Anin masih mempertahankan tangannya yang mengelus permukaan tangan Jean, kemudian berhenti kala menyadari kalau genggaman Jean perlahan melemah di sana. Kepala gadis ini terangkat, mengarah pada Jean yang ternyata tengah menggigit bibir bawahnya. Ketat dan tampak menyakitkan, hingga membuatnya kembali melakukan sesuatu yang di luar kendalinya.
“Jangan digigit, kamu pernah ngga bisa makan berhari-hari karena kebiasaan gigit bibir sampai berdarah,” katanya pelan. Sampai kemudian dia tersadar akan kata-katanya sendiri, bahwa hal semacam itu pernah dia katakan dulu, sebelum semua hal antara dia dan Jean berubah drastis.
“Kita bisa berenti dulu ngga? Tenangin dulu diri kamu, nanti baru jalan lagi.” Suara gadis ini ikut bergetar, terdengar tengah menahan agar tangisnya tidak merebak keluar sekuat tenaga. Netranya sibuk mencari-cari tempat yang pas untuk mereka berhenti sejenak, kepalanya ia tolehkan ke samping. Sengaja agar Jean tidak menyadari kalau wajahnya kentara menahan tangis, hingga tanpa dia sadari, Jeandra sejak tadi memberi atensi padanya. Menatapnya dalam hening dengan kedua tangan yang masih mengemudi.
“Jeandra, berenti dulu.”
Detik berikutnya tanpa Anin duga, Jean menekan pedal rem secara tiba-tiba dan membuatnya terguncang. Mobil berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi, dengan napas Anin yang masih tersengal dan sisa keterkejutannya yang masih ada. Lalu dalam satu gerakan, Anin merasakan kepalanya ditarik dengan cepat, dan yang terjadi selanjutnya membuat Anindia kehilangan kalimatnya.
He kissed her passionately, with all emotions he drops between their lips.
Saat Jeandra mulai menggerakkan belah bibirnya dan menyambut Anin ke dalam kecupan dalam, Anin mengosongkan kepalanya dan memejamkan mata. Saat Jeandra mulai menghisap ranum bawahnya dengan perlahan dan hati-hati, Anin tidak bisa berbohong kalau dia merindukan lelaki ini.
Gerakan bibir mereka pelan dan terkesan hati-hati. Tanpa melibatkan nafsu, sebab Anin tahu lelaki di hadapannya ini betul-betul meraih bibirnya dengan segenap emosi.
Ada rasa sedih yang terselip di tiap hisapan dan lumatan yang Jeandra berikan di bibirnya, dan Anin sadar akan itu. Sebab setelah bertahun-tahun mengenal lelaki ini, Anin kelewat paham kalau kecupan yang dia terima adalah salah satu bentuk cerita dari Jean di kala kata tak lagi dapat dia ucapkan. Karena setelah dulu menghabiskan waktu cukup lama berada di samping lelaki ini, Anin kelewat hafal kalau Jean berusaha menyampaikan sesuatu padanya lewat sapuan lidahnya di permukaan bibir Anin.
Jarak di antara mereka terhitung nihil, hanya dipisahkan oleh sekat di antara kursi dan selebihnya, tangan Jean berada di helai surai milik Anin, menggenggamnya lembut dan membuat gerakan halus di sana. Sedangkan tangan satunya ia daratkan di pipi Anin, menyeka bulir bening hangat yang entah sejak kapan runtuh dari ujung mata cantik itu.
“Jangan nangis,” kata Jean. Tapi sayang, bulir hangat itu runtuh makin banyak dan membuat Jean memundurkan kepalanya. Pandangan Anin terasa kabur saat dia membuka mata dan menemukan Jean yang menatapnya sendu.
Dahi mereka kemudian menyatu, beradu dalam satu jarak tipis dengan napas yang bersahutan. Tangan Jean masih setia berada di wajah Anin, mengelus lembut permukaan pipinya seperti meminta Anin berhenti menangis melalui gerakan pelan itu.
“Tiga tahun lalu waktu kita putus, apa pernah sekali aja kamu lupa soal kita?”
Pertanyaan itu datang dari bibir Jean, membuat Anin memantapkan pandangan pada wajah di depannya sebelum menggeleng pelan.
“Harusnya kamu lupa, harusnya waktu kuminta buat lupa soal kita, kamu lupain apapun soal kita tanpa ragu.”
Sekali lagi, Anindia menggeleng pelan.
“Harusnya setelah tiga tahun ngga ketemu, kamu benci dan anggap aku orang jahat, Anin. Harusnya begitu, harusnya kamu hidup bahagia dan pergi sejauh yang kamu bisa. Bukannya malah datang lagi dan bikin perjodohan kita terjadi.”
“Kalau kaya gini, aku bisa nyakitin kamu lebih dari yang pernah kulakuin. And I hate myself for hurting you so bad.“
“Bahkan setelah yang kulakuin sama kamu, you still hold my hands, tell me to be calm and make me feel even worse.“
Saat itu, setelah mengutarakan kalimatnya, Jeandra memutar kemudi dan mengarahkan mobilnya kembali ke rumah. Tanpa kata, tanpa kalimat apapun. Saat itu, Anin bahkan tidak dapat menjelaskan bagaimana sesak memenuhi dadanya hingga kepulangan mereka.
-