Butterflies

Kadang, Ageeta berpikir kalau Tama adalah manusia paling ribet yang pernah ia temui.

Lelaki itu mengaku sakit, tapi malah menghisap tiga batang rokok tanpa berpikir dua kali.

Well, Tama sebenarnya jarang merokok. Dia hanya menghisap batangan tembakau itu jika memang punya banyak beban pikiran.

Dan Ageeta hanya tahu sebatas itu. Tanpa pernah tahu beban apa yang membuat Tama sampai melampiaskan semuanya pada tembakau yang ia bakar.

“Gee.”

Suara berat itu mengudara kala Ageeta tengah sibuk berada di depan konter dapur milik Tama, gadis itu hanya berdeham untuk merespon. Sebab perhatiannya terlampau terpusat pada panci stainless yang tengah berisi bubur di atas kompor dengan api menyala, memastikan benda itu panas dengan sempurna.

“Kamu udah selesai ngerokoknya? tanya Ageeta masih dengan mata tertuju pada objek di depannya.

“Udah.”

Ageeta diam sejenak, sebelum kemudian mengalihkan perhatian ke arah lelaki di belakangnya. Kepalanya menoleh ke arah Tama yang ternyata sedang berdiri di depan sekat yang sengaja di pasang untuk memisahkan antara area dapur dan ruang makan.

“Aku tadi ketemu cewek aneh.”

Tama mengerutkan dahi, seolah meminta penjelasan lebih lanjut dari kalimat Ageeta barusan.

“Aneh banget tau, Sayang.”

“Aneh gimana?”

Ageeta bergerak mematikan kompor, kemudian memutar badannya agar menghadap Tama sepenuhnya. Kedua irisnya berapi-api kala melanjutkan cerita soal gadis lain yang ia temui di lift, tepat sebelum dirinya mencapai unit apartemen Tama.

“Cewek itu liatin aku dari ujung kepala sampe ujung kaki,” ucapnya sambil mengingat tatapan gadis itu padanya.

Well, sebetulnya Ageeta tidak menaruh rasa aneh sedikit pun kala gadis itu pertama kali berkontak mata dengan dirinya. Namun setelah hampir setengah menit berada di dalam lift yang tengah berjalan menuju lantai sepuluh dimana Tama tinggal, Ageeta mulai merasa aneh sebab tatapan itu terhunus cukup lama dan intens. Membuat dirinya cukup merasa tidak nyaman namun memilih untuk diam.

Padahal biasanya, Ageeta tak akan segan menegur dan mengajak siapa pun berbicara lebih dulu. Tapi kali ini rasanya berbeda, berkali-kali lipat lebih canggung sampai dia sendiri pun hanya bisa berdiam diri hingga pintu lift terbuka lebar.

Style kamu aneh kali di mata dia,” sahut Tama.

“Kamu mau aku siram pake bubur panas ini sekarang juga? Hah?”

Tanpa Ageeta duga, Tama malah tertawa. Tawanya tak sampai terbahak lebar, namun cukup menunjukkan gelak seakan perkataan Ageeta memanglah selucu itu.

Dan Ageeta memandang tawa itu dengan takjub.

Kedua matanya memandang hal itu dengan binar teduh, memerhatikan wajah Tama yang mulai menghentikan gelak.

“Kamu... bisa ngga sering-sering ketawa kaya tadi?”

Tama tersenyum simpul, dan kembali membuat Ageeta tertegun sampai kedua matanya terasa panas.

“Loh? Kenapa nangis?”

Ageeta menggeleng kuat, sebab sebetulnya merasa sama bingungnya dengan Tama. Ia tak paham kenapa dirinya malah merasa ingin menangis waktu melihat tawa dan senyum Tama, rasanya ada sebuah tekanan besar yang diangkat dari kepala dan bahunya saat melihat wajah di depannya tersenyum sumringah.

“Aku... Aku juga ngga tau kenapa malah nangis.”

Parah, karena yang terjadi malah isakan kencang ikut keluar saat kalimatnya tersampaikan.

Tama menatap jeli wajah milik gadis itu, memerhatikan bagaimana air mata membasahi kedua kelopak mata milik gadisnya.

Cantik.

Ageeta-nya selalu cantik.

“Kenapa malah nangis, Gee?”

Ageeta menggeleng lagi, kali ini kedua tangannya mengangkup wajah. Isakannya makin kencang dan sulit is kontrol.

Lalu, sebuah rengkuhan Ageeta rasakan di kedua bahunya.

Tama merangkum tubuh kecilnya dengan kedua tangan, menyalurkan rasa aman yang seketika menyergap di seluruh tubuhnya. Tangan lebar lelaki itu mengusap punggung kecilnya, sembari mengarahkan kepala Ageeta di dadanya.

Sontak, kedua tangan Ageeta melingkar di pinggang kekasihnya, mencari kehangatan dan rasa aman dari tubuh tinggi itu dengan dekapan yang ia dapatkan.

Detak jantung Tama terasa berdenyut normal. Debarnya terasa di telinga Ageeta dan membuatnya tak ingin melepaskan pelukan.

Perlahan, gadis itu mencoba membuka mulutnya untuk berbicara. Napasnya masih tersendat isakan namun ia paksakan.

Kepalanya mendongak dan menatap Tama yang juga menatapnya dengan menunduk, menyelami iris sehitam jelaga milik lelaki itu dengan seksama.

“Kamu sadar ngga sih?”

Tama masih memaku tatap pada wajah Ageeta.

Jemarinya kemudian bergerak ke arah wajah di depannya, satu-persatu merapikan surai yang menghalangi wajah cantik di hadapannya agar dirinya bisa melihat wajah itu tanpa gangguan.

“Sadar apa?” tanya Tama dengan untai jemari yang masih bergerak menepikan surai milik Ageeta.

“Kamu sadar ngga kalau kamu sejarang itu ketawa di depan aku?”

Ah, ternyata perkara itu.

Tama diam, tak menunjukkan reaksi apa pun.

Kedua telapak tangannya lalu merangkum wajah mungil gadisnya, tak lupa menghapus jejak air mata yang tersisa di kedua pipi tirus itu.

“Tau ngga?”

Ageeta mengerjap.

“Apa?”

Tama mengelus kedua pipi itu berhati-hati.

“Aku selalu ketawa kalau kamu ngga ada.”

Gadis di hadapannya sontak merengut sebal.

Melihat itu, Tama terdorong untuk memajukan wajahnya dan dalam detik selanjutnya, bibirnya menjumput ujung hidung milik Ageeta.

Tama mengecup kecil ujung hidung itu.

Tentu, gerakan tiba-tiba itu membuat Ageeta memerah dan beralih kembali memeluk tubuh Tama.

Tama tertawa pelan sekali lagi.

You're the reason. Aku kadang mirip orang gila karna ketawa sendiri pas kepikiran kamu.”

Ah, Ageeta baru tahu kalau kekasihnya ini pandai juga membuat kupu-kupu dengan jumlah jutaan beterbangan di seluruh tubuhnya.

-