Call
“Hehe.”
Itu kata pertama yang menyambut Sabrina saat panggilan dimulai. Kening gadis itu mengerut, namun langsung kembali normal saat sadar kalau yang tengah bicara dengannya ini adalah Romeo. Jadi wajar kalau baru mulai pun lelaki itu sudah kelewat aneh.
“Apaan lo baru mulai udah haha-hehe?”
Romeo terdengar menghela napas di seberang sana. Ada kesan lelah yang Sabrina bisa tangkap dari hela napasnya, namun Sabrina mencoba untuk tidak peduli.
“Kangen, Babe,” jawab Romeo.
“Cepetan lo mau cerita apa?”
“Oh, ngga ada sih sebenernya. Kan, gue udah bilang tadi gue kangen dan pengen denger suara lo doang, nah ini udah mendingan kangennya.” Romeo terkekeh pelan, lalu detik berikutnya yang dapat Sabrina dengar hanya hening.
“Gue matiin aja kalau gitu ya?”
“LOH KOK BEGITU?!” Romeo langsung menyangga.
Sabrina berdecak sebal, gadis itu kemudian memiringkan posisi tubuhnya dan mencari kenyamanan sejenak dengan mendekap bantal di kedua tangan. “Kan, kata lo cuma kangen suara gue. Ini gue udah ngomong, jadi udah dong kangennya?”
“Gue mau denger suara lo lama-lama. Jangan dimatiin dulu, serius lo mau jawab iya-iya doang juga gak apa-apa, asal jangan dimatiin dulu.”
Suara Romeo terdengar serak. Sejenak, Sabrina dilanda hening dan pada akhirnya, gadis itu tetap membiarkan Romeo meneruskan panggilan mereka. Cukup lama saling diam, Romeo akhirnya menjadi yang pertama bersuara.
“Gue serius waktu gue bilang gue kangen sama lo.” Romeo membuka percakapan mereka, kali ini suaranya terdengar lebih serius. Tidak ada tawa jahil atau candaan yang dilemparkan setelahnya. Yang bisa Sabrina dengar hanya suara tarikan napas teratur milik Romeo di seberang sana sebelum lelaki itu kembali bersuara.
“Gue udah nyoba hangout sama anak-anak teknik tapi ternyata gak mempan. Asli, gue selalu ngecek notif dengan harapan lo bakal ngabarin sesuatu, tapi ternyata gak ada. Lo gak pernah ngabarin apa-apa, lo bahkan gak bikin story apapun di Instagram atau Whatsapp. Bikin khawatir, tau gak?”
Sabrina bisa membayangkan bagaimana bibir Romeo mengerucut seraya kalimatnya terucap, dan entah bagaimana bayangan itu berhasil membuat Sabrina tersenyum samar. Namun tak sampai lima detik, Sabrina kembali ditarik oleh kenyataan. Kepalanya menggeleng, berusaha menyadarkan diri akan realita.
“Lo begitu karena Clara lagi sibuk juga kali, makanya ngerasa sepi banget. Kan, biasanya lo baru ke gue kalau Clara lagi banyak kerjaan.” Sabrina mencoba sekuat tenaga agar suaranya tidak terdengar goyah.
Romeo tertawa pelan. Sewaktu gelaknya usai, Sabrina menggigit bibir bawahnya. Diam-diam menunggu jawaban dari lelaki itu dan berharap kalau Romeo akan menjawab “tidak”.
“Iya kali ya?” katanya.
Ada yang cerai berai di dalam dada Sabrina ketika jawaban itu terdengar. Tawa sumbangnya mengudara, sesak tak bisa dilawan hingga datang menghantam semaunya. Sabrina baru menghentikan tawanya ketika dadanya sudah sedikit terbiasa dengan sesak yang datang.
“Tuh, kan,” ucap Sabrina. Gadis itu kemudian menyambung, “Lo bukannya kangen sama gue, tapi kesepian karena Clara lagi gak ada. Bedain kangen sama nyari pelampiasan, Romeo.”
Sabrina menekan dadanya kuat-kuat, dadanya bergemuruh namun yang bisa dia lakukan hanya menggenggam tangannya kelewat erat. “Gue ngantuk deh, gue matiin ya?” tanya Sabrina.
“Tidur aja, hp lo taro di samping bantal.”
Sabrina mengernyit heran, tidak biasanya Romeo akan sebegininya di kala lelaki itu tengah merasa kesepian. Namun tanpa basa-basi, Sabrina langsung meletakkan ponselnya di samping bantal seperti yang Romeo titahkan.
“Lo udah mau tidur?” tanya Romeo.
“Iya,” jawab Sabrina pelan.
“Good night, Sab. Sleep tight.“
Sabrina tak lagi menjawab kalimat itu. Gadis itu memejamkan mata dan benar-benar pergi ke alam mimpi lima menit kemudian. Meninggalkan Romeo yang masih menghubungkan panggilan mereka seraya menatap layar ponselnya lamat-lamat. Matanya tertuju pada nama Sabrina yang tampil di layar, sebelum kemudian kembali menghela napas dan mencoba untuk ikut memejamkan mata.
-