Catatan Dua – Dari Anindia
TW // Mention of sexual harassment , Harsh words , Traumatic event , Violence
Dahulu waktu saya masih menjadi bagian penting dalam hidup Jeandra, ada satu kejadian yang tak akan pernah bisa saya lupakan walau sekejap. Hari itu ketika semua kegiatan sebagai seorang intern di rumah sakit, saya hampir menjadi korban perampokan dan pelecehan. Jean bilang dia punya urusan lebih lama di kantor, yang kemudian menyebabkan saya harus pulang sendiri dan berakhir menumpang sebuah taksi.
Saya tidak pernah bisa menyetir mobil sendiri karena pernah hampir menabrak orang sewaktu pertama kali belajar, kejadian itu sudah cukup lama dan membuat saya lebih banyak bergantung pada supir pribadi yang Papa sediakan atau pada Jean yang selalu siap membawa saya kemanapun. Maka ketika hari itu Jeandra tidak dapat hadir, saya memaklumi hal itu.
“Aku minta tolong supirnya Ibun buat jemput kamu, jangan pulang sendiri.” Begitu katanya sebelum saya tolak mentah-mentah karena tidak ingin terlalu merepotkan lelaki itu. Saya ingat dengan jelas bagaimana Jeandra pada akhirnya mengomel karena bosan mendengar saya yang selalu merasa merepotkan banyak orang.
“Kan, udah pernah kubilang kalau hal-hal kecil kayak gini, tuh, udah jadi kewajiban aku buat kamu. Jangan ngga enakan terus. Kalau sama aku aja kamu kayak gini, gimana sama orang lain coba, Sayang?” omel Jean waktu itu. Saya cuma bisa tertawa sembari memasukkan diri sendiri ke dalam taksi yang saya pesan.
“Yaudah, terserah. Tapi nanti kalau udah di rumah kabarin ya,” ucap Jean sebagai penutup panggilan.
Ah, dada saya terasa sesak ketika mengingat bagaimana lembutnya tutur si Laksamana itu dulu sebelum takdir mempermainkan kami. Kalimat itu menjadi pengantar terakhir sebelum saya menutup panggilan telepon dan memandang keluar jendela, tanpa rasa curiga sedikit pun.
Tak ada percakapan yang terudara sejak saya menyebutkan alamat pada lelaki berusia sekitar 40 tahunan di depan saya. Saya sudah pernah bilang, saya ini kaku. Saya sulit berbaur dengan orang baru atau sekedar berbasa-basi agar suasana di sekitar tidak terasa terlalu canggung. Saya hendak memeriksa ponsel sekali lagi ketika suara supir di depan saya menginterupsi, berbasa-basi mengajak saya mengobrol dan mengundang mata saya mengerjap beberapa kali.
“Mbak kerja di rumah sakit tadi ya?” tanyanya.
Saya mengangguk patah-patah, bingung harus menanggapi dengan reaksi macam apa. Percakapan mengalir sampai akhirnya lelaki paruh baya itu mulai menanyakan beberapa hal pribadi yang mengarah pada beberapa bagian tubuh saya.
“Kakinya mulus, Mbak. Pasti rajin perawatan ya?” Mata lelaki itu melirih ke arah kaki saya yang terbuka hingga sebatas lutut melalui rear-view mirror. “Kalau kakinya mulus, biasanya yang lain-lain juga mulus, loh, Mbak.”
Pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya ranahnya terlalu privasi itu beberapa kali ditanyakan, yang tentunya tidak saya tanggapi. Hawa tidak nyaman mulai menguar, sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Jean melalui pesan. Jean panik, tentu saja. Kemudian berkata kalau beberapa orang suruhannya sudah berusaha mengejar taksi yang saya tumpangi. Dia juga menunda rapat dan berusaha menyusul, tak lupa meminta saya untuk mencari sesuatu di dalam mobil yang bisa saya jadikan senjata kalau saja ada gerakan yang membahayakan dari si supir taksi. “Minta dia buat berhenti sekarang,” kata Jean lewat pesan.
Jean juga sempat meminta saya membagikan live location saya dan menanyakan nomor kendaraan, yang langsung saya beri tanpa basa-basi. Mata saya melirik ke depan dengan takut, lalu mulai panik ketika sadar kalau jalur yang saya lalui bukanlah jalan yang biasa saya lewati untuk pulang.
“Pak, saya turun di sini aja. Saya mau ketemu orang dulu di dekat sini,” ucap saya. Namun seakan paham gerak-gerik saya yang sudah curiga, mobil masih terus melaju bahkan lebih kencang. Saya mulai panik, namun berusaha tetap terlihat tenang. Saya ulangi kalimat saya sekali lagi, hingga berkali-kali sampai suara saya terdengar sedikit lebih melengking. Yang kemudian membuat lelaki di depan saya itu kalap dan menodongkan sebuah pisau ke arah saya. Saya ketakutan, demi Tuhan saya ketakutan. Lelaki itu kemudian mengancam akan melukai saya kalau tidak segera duduk diam dan menurut. Seluruh tubuh bergetar, saya tidak ingat kapan pernah merasa setakut itu. Lima menit berlalu masih dengan pisau di tangan kirinya, mobil kemudian diberhentikan di pinggir jalan yang sama sekali tidak saya kenali. Bukan jalan raya, namun lebih terlihat seperti sebuah jalan pintas yang sudah tak lagi terpakai. Tak ada kendaraan yang melintas, beberapa bagian jalan juga tampak rusak dan berlubang.
Begitu kami sudah sepenuhnya berhenti di tepi jalan, pisau yang tadi digunakan untuk mengancam kembali dilayangkan di depan wajah saya. Saya hampir menangis, namun tertahan karena masih percaya kalau Jean atau orang lain akan datang untuk menolong. Lelaki paruh baya dengan pisau di tangan itu kemudian meminta saya menyerahkan barang berharga yang saya punya, termasuk kalung yang pemberian Jeandra yang saya pakai di leher. Dua menit terasa seperti seumur hidup bagi saya, ketakutan menyelimuti seluruh tubuh. Saya berkali-kali menyebut nama Tuhan dalam hati, merapalkan doa supaya diberi kesempatan untuk melihat matahari di esok hari.
Semuanya terjadi begitu saja, sampai pada akhirnya saya mendengar suara mobil lain yang datang dari arah belakang. Begitu seterusnya sampai saya melihat Jean yang datang dan si supir taksi sudah ditahan oleh beberapa orang dengan seragam kepolisian. Terakhir yang saya ingat soal kejadian itu adalah tubuh Jean yang merengkuh saya dengan erat sebelum kegelapan menyelubungi. Saya pingsan membuat Jean panik setengah mati.
Kejadian itu membuat saya takut untuk keluar rumah, butuh setidaknya dua minggu bagi saya untuk memberanikan diri untuk kembali berbaur dengan dunia luar. Efeknya terasa hingga satu tahun berikutnya, saya belum punya nyali untuk menaiki taksi, sedikit mengalami trauma dan mengharuskan saya mengandalkan orang-orang terdekat untuk bepergian, terutama Jean.
Kenapa saya menceritakan pengalaman satu itu? Entah, kepala saya tiba-tiba mengingat kejadian itu ketika tengah menyetir mobil sendiri menuju rumah milik Jean. Rasanya seperti saat pertama kali saya belajar untuk lepas dari Jean dalam urusan berkendara. Dulu, sejak kejadian itu, saya seoenuhnya bergantung pada Jean. Lelaki itu betul-betul memastikan dirinya berada di samping saya kemanapun saya pergi. Papa bahkan sampai keheranan soal bagaimana Jean mengatur waktu antara urusan kantor dan saya, sebab posisinya waktu itu masih menjadi bawahan di kantor. Perusahaan itu memang punya Ibun, tapi Jean memulai karirnya dari bawah, hal itu yang membuat Anin menolak semua bantuan Jean untuk hal-hal kecil yang bisa membuat Jean membuang waktu.
Tapi kejadian itu malah membuat Jean semakin ketat terhadap Anin, matanya benar-benar tidak pernah lepas dari Anin. Katanya, perampokan itu terjadi karena salahnya yang tidak mengantar Anin untuk pulang. Padahal Anin sendiri berkali-kali menjelaskan kalau dirinyalah yang harus disalahkan karena tidak teliti dalam memilih taksi.
Selama sisa waktu yang kami punya, saya tidak melewatkan satupun hari tanpa sosok Jean di dekat saya. Lelaki itu menjadi bagian penting dalam hidup setelah kehadiran Papa, yang tentu tidak pernah saya kira kalau bagian itu harus direnggut paksa dan pergi tanpa aba-aba.
Sepeninggal Jean, saya belajar menyetir mobil sendiri dan rasanya persis seperti yang saat ini saya hadapi. Kedua tangan bergetar dan berkeringat dingin, kaki saya menginjak pedal gas dengan ragu, mata saya menatap cemas pada jalanan di depan. Waktu pertama kali mengendarai mobil sendiri tanpa Jean di samping saya, saya ketakutan setengah mati. Bulir keringat membahasi dahi, padahal penyejuk udara sudah saya atur hingga ke suhu terendah. Terasa sama persis seperti yang saat ini saya rasakan. Sama parahnya, sama menakutkannya.
Setelah menghubungi Karin untuk membicarakan semua yang sudah saya susun di kepala, yang entah bagaimana malah dibalas oleh Hema, saya memutuskan untuk langsung melesat ke rumah Jean tanpa sempat berpikir dua kali. Dengan tangan yang berkeringat dingin dan mual yang saya tahan agar tidak meledak sekarang juga, saya membawa mobil milik saya menuju kediaman Jean yang dulu juga pernah menjadi rumah bagi saya.
Mengingat kembali bahwa suatu hari tiga tahun yang lalu saya pernah berada di situasi yang sama, menyetir seorang diri dengan nama Jeandra memenuhi kepala, semakin membuat sesak mengerubungi dada. Jean lagi-lagi menjadi alasan saya membawa diri dalam sendiri berada di dalam mobil, menginjak pedal gas dengan berbagai jenis emosi yang berebut mendominasi rasa.
Saya coba untuk melupakan sejenak sakit dan sesak yang mengganggu, saya menahan diri agar tubuh dan pikiran saya tidak menyerah terlalu cepat dan membuat semua yang sudah saya rencanakan dalam benak hancur berantakan. Saya berhasil, ketika pada akhirnya empat roda bulat ini menapaki halaman besar rumah milik Jean.
Melangkah masuk ke dalam rumah merupakan sebuah keputusan yang sulit untuk diambil, sebab saya paham kalau satu langkah saja saya menginjakkan kaki di dalam sana, ingatan soal Jean tidak akan bisa saya tolak kehadirannya. Saat sudah memasuki ruang paling depan yang biasanya digunakan Jean untuk meletakkan koleksi lukisan sekaligus menjadi ruang tamu, suara ribut dari arah ruang tengah membuat saya mengerutkan dahi.
Saya bisa memastikan kalau suara teriakan melengking yang terdengar dari sana adalah milik Karin, entah apa yang terjadi. Yang jelas, saya langsung melangkahkan kaki lebih cepat agar bisa melihat ke sumber suara. Teriakan kencang itu kemudian disusul oleh bentakan yang saya yakin adalah milik Hema.
Benar saja, ketika memasuki ruang tengah, saya menyaksikan langsung bagaimana Hema tengah berusaha merengkuh tubuh kecil Karin, sedangkan gadis di pelukannya berkali-kali berteriak meminta dilepaskan. Saya terperangah, dalam sekejap otak saya berusaha menerima pemandangan yang tengah saya lihat secara langsung. Kebingungan melanda, sampai akhirnya perhatian dua orang itu teralih pada saya yang berdiri mematung di ujung ruangan.
Karin tampak terkejut, kedua netranya membulat sebelum kembali berusaha melepaskan diri dari rengkuhan erat yang Hema berikan. Kepanikan tergambar jelas di kedua iris gadis itu, membuat saya bertanya-tanya mengenai masalah yang terjadi sampai Hema harus memegang Karin seerat itu. Lain halnya dengan Karin yang panik, Hema malah terlihat santai dan tenang. Saya belum pernah melihat Hema berada dalam mode itu, Hema yang saya kenal biasanya selalu menampilkan senyum jahil dan canda, namun Hema yang Anin lihat kali ini tampak jauh berbeda.
“Lepasin!” bentak Karin sambil berusaha membebaskan tubuhnya dari Hema.
Namun Hema menolak permintaan itu dan malah menarik tangan Karin hingga berdiri tepat di hadapan saya. Saya yang masih belum punya petunjuk apa-apa soal situasi yang terjadi mengerjap pelan, kemudian memandang dua orang di hadapan saya bergantian. Mulai dari Hema yang tampak siap mengucapkan serentetan kalimat pada saya, kemudian pada Karin yang terlihat jengkel namun tidak dapat menyembunyikan kepanikan di matanya.
“Minta maaf sama Anin sekarang,” ucap Hema.
Saya tidak tahu permintaan maaf jenis apa yang dimaksud Hema, tapi yang jelas saya paham kalau hal itu kemungkinan besar berhubungan dengan Jeandra dan tujuan saya datang ke sini. Hema juga terlibat menjadi saksi hari itu, kan? Saya pikir wajar kalau lelaki itu memaksa Karin untuk mengucap maaf. Hema juga ada di tempat kejadian, Hema menemani Jean selama proses operasi dan segala perawatan Ibun, Hema bekerja menjadi manajer Karin, Hema juga sudah bertahun-tahun menjadi sahabat baik Jean. Wajar kalau lelaki itu tahu lebih banyak hal dari pada saya, mungkin kali ini ada fakta lain yang belum saya ketahui soal Karin dan Hema mengetahui hal itu lebih dulu.
Hema mungkin ingin memberitahu satu hal lagi yang saya lewatkan soal saya dan Jeandra hingga harus memaksa Karin—
“Minta maaf sama Anin soal bayi kita, Karin.”
Mulut saya yang pada awalnya hendak terbuka untuk meminta Hema berhenti memaksa Karin dan membiarkan gadis itu bicara sendiri sontak tertutup rapat. Kalimat Hema terlalu mengejutkan dan membawa terlalu banyak suara gemuruh di otak saya.
Bayi kita.
Saya berharap kalau dua kata itu tidak punya hubungan apa-apa dengan yang tengah saya pikirkan saat ini. Saya berharap kalau Hema hanya salah dalam menyebut pemilik kata bayi itu dan akan segera mengoreksi kalimatnya. Entah apa yang sebetulnya membuat saya berharap demikian, namun mengingat bagaimana Jeandra betul-betul menganggap kalau bayi di dalam sana adalah miliknya membuat saya hancur.
“What the hell is happening here?” Saya akhirnya memberanikan diri membuka suara. Karin berdecak tidak suka, namun Hema dengan mantap memandang ke arah saya dan terlihat bersiap mengucapkan sesuatu, membuat saya menahan napas dan memasang telinga lebar-lebar.
“Don't fucking dare to tell her, Hema,” sela Karin.
Namun Hema tampak tidak peduli, lelaki itu masih menggenggam tangan Karin erat, memastikan kalau Karin tidak berusaha kabur dari sana. “Bayinya Karin, bayi yang ada di dalam sini adalah anak gue dan bukan anaknya Jean.”
Detik itu, tubuh saya membeku.
“Jean sama sekali ngga pernah nyentuh Karin lebih dari pelukan, malam itu Jean high dan nyamperin Karin di kamar. But they never did that, Karin sengaja manfaatin mabuknya Jean dengan bikin situasi seolah mereka naked sampai Jean percaya kalau mereka beneran ngelakuin itu.”
Hema menjeda kalimatnya, mungkin karena melihat bagaimana pucatnya wajah saya setelah kalimat itu tersampaikan dan membuat seluruh tubuh seolah mati rasa.
“That's my baby,” lanjut Hema.
“Don't talk bullshit to her, lo ngga boleh dengerin Hema. Ini anaknya Jean dan lo sendiri yang periksa gue hari itu.” Karin kembali menyela, suaranya melengking.
Kepala saya semakin terasa berat, rasa sakit yang tadi sempat saya lupakan sekarang kembali mengerubungi kepala dan membuat saya harus mencengkram helai surai saya sendiri.
“Sejak kapan....” Suara saya bergetar, saya bahkan tidak yakin kalau Hema atau Karin dapat mendengar pertanyaan saya dengan jelas.
“Satu tahun yang lalu waktu gue sadar kalau dibanding Jean, Karin lebih butuh gue.” Hema sedikit melonggarkan genggamannya pada pergelangan tangan Karin, membiarkan gadis itu bergerak memukul dada Hema dengan brutal tanpa melakukan perlawanan.
Hema mengalihkan pandangan dari saya menuju Karin, tangannya ia tempatkan di kedua bahu Karin agar gerakan Karin berhenti. Dengan lembut, Hema berusaha menenangkan Karin yang masih berusaha memberi pukulan pada tubuhnya. “Jangan gitu, ada makhluk lain yang hidup di perut kamu. Jangan sampai bahayain dia,” kata Hema.
Kamu.
Demi Tuhan, saya sama sekali tidak pernah menduga kata itu akan keluar dari bibir Hema dan yang menerima kata itu adalah Karin. Karin mulai melemah, napasnya memburu. Hal itu membuat Hema kembali mengalihkan perhatian pada saya, menjawab pertanyaan yang tadi saya sematkan dan seolah tahu kalau saya masih belum bisa memahami situasi sepenuhnya.
“Gue tau gue salah, tapi gue berusaha memperbaiki semua kesalahan gue, Anin. Termasuk dengan mengakui kalau anak ini sebenernya bukan anak Jean tapi anak gue. Gue tau kalau rencana yang Jean susun bertahun-tahun jadi hancur karena gue yang malah suka sama Karin, tapi soal rasa, manusia bisa apa?”
Hema melanjutkan, “Dan gue manusia biasa, Anin. Gue ngga bisa mengatur diri gue buat jatuh buat siapa, sama kayak lo yang jatuh buat Jean atau Jean yang selalu jatuh buat lo, gue juga jatuh buat Karin.”
Hema melanjutkan penjelasannya, bercerita soal bagaimana dia dan Karin mulai hadir menjadi bagian dari diri masing-masing. Sampai cerita soal pertengkaran yang mereka punya karena Hema yang ingin Karin sepenuhnya, tapi Karin yang hanya menganggap kalau Hema adalah selingan di kala dirinya jenuh dengan Jeandra.
Tanpa saya sadari, kaki saya maju satu langkah lebih dekat ke arah Hema. Sampai ujung sepatu yang kami gunakan bersentuhan dan saya harus mendongak agar bisa melihat bagaimana raut wajah Hema yang berubah kebingungan karena gerakan saya yang tiba-tiba.
PLAKK.
Dalam satu tarikan napas, satu tamparan berhasil saya layangkan ke wajah Hema.
Saya sendiri tersentak ketika suara kulit saya yang memukul kencang permukaan pipi Hema menggaung di seluruh ruangan, Karinina bahkan terlihat lebih terkejut dengan yang saya lakukan. Hema membuang muka, masih berusaha memproses apa yang barusan terjadi.
Telapak tangan saya bahkan terasa panas, bukti kalau tamparan yang baru saja saya layangkan pada Hema bukan hanya sekedar tamparan kecil. Hema diam, dan saya gunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan semua beban yang saya simpan sejak lama.
“Both of you...are so disgusting.” Kalimat itu menjadi pembuka bagi semua amarah yang tak lagi saya tahan. Karin masih menatap saya dengan pandangan tidak percaya sedangkan Hema menunduk dalam, tapi saya sama sekali tidak peduli.
Saya menunjuk Hema dengan jari telunjuk, saya tempatkan jari saya tepat di dada lelaki itu. “Kamu itu sahabatnya Jean, kamu yang paling tau soal gimana Jeandra mati-matian menebus rasa bersalahnya sama Karin. Kamu yang paling dekat sama dia dan tau semua keluh kesah dia, kamu juga tau gimana sakitnya saya tiap kali harus melihat Jean sama Karin. Kamu tau banyak hal soal itu tapi kamu diam dan berlindung atas nama cinta, bajingan kayak kamu ini bikin saya jijik Hema.”
Jari telunjuk saya kemudian teralih pada Karin.
“Dan kamu....”
Saya bahkan tidak sanggup memikirkan bagaimana gadis cantik satu ini dengan tidak tahu diri memanfaatkan rasa bersalah yang Jean miliki untuknya. “Kamu tau seberapa tersiksanya Jean karena rasa bersalah dan berdosa ke kamu?”
“Laki-laki itu bahkan mau ninggalin banyak hal termasuk saya cuma demi bikin kamu bahagia, dia ngorbanin hidupnya demi ngasih kehidupan baru buat kamu. Saya ngga akan semarah ini kalau dari awal kamu memang betul-betul ngga tau penyebabnya, Karin. Tapi masalahnya, dari awal pernikahan kami, kamu tau dan kamu dengan sengaja berpura-pura ngga tau demi bisa terus terikat sama Jean.”
Kepala saya semakin terasa berat, ditambah rasa kram yang berasal dari area perut bagian bawah. Namun saya berusaha menahan diri karena belum selesai dengan dua orang ini.
“Kamu tau kalau Jean menghancurkan diri sendiri demi kamu tapi bukannya mundur dan membebaskan dia dari semua rasa sakit, kamu malah memanfaatkan rasa bersalah Jean demi diri kamu sendiri.”
“Gue cuma berusaha mempertahankan apa yang udah jadi punya gue, Kak Anin.” Karin memotong ucapan saya.
“Sama kayak yang lo lakuin sekarang, gue cuma berusaha mempertahankan apa yang selama ini gue punya. Jean punya gue, dan selamanya bakal begitu.”
Saya tertawa, sebelum menjawab dengan kedua tangan terkepal. “Yang saya lakuin sekarang itu bukan mempertahankan Jeandra, Karin. Yang saya lakuin sekarang adalah mempertahankan harga diri saya sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita. Karinina, dari awal Jean itu milik saya. Kamu sendiri tau kalau bahkan sebelum ketemu kamu, Jean itu punya saya. Bahkan sekarang pun, Jean masih punya saya dan masih terikat sama saya. Yang saya lakukan di sini cuma mau mengingatkan kamu soal status itu, saya cuma mau mengingatkan lagi kalau posisi kamu dalam hidupnya Jean itu ngga akan bisa menggantikan saya.”
“Mau kamu jungkir balik pun, Jeandra itu milik saya.”
Dalam hitungan dua detik, tangan kanan Karin terangkat dan saya tahu kalau sebuah tamparan mungkinakan mendarat di wajah saya. Namun dengan gerakan kilat, saya mengangkat tangan lebih cepat dan menahan gerakan Karin hingga tangan mungil itu terangkat di udara. Kemudian tanpa aba-aba, saya hempaskan tangan milik Karin ke bawah dan beralih mengangkat tangan kanan saya.
PLAKK.
Satu tamparan keras mendarat di pipi Karin. Tangan saya sampai bergetar ketika kulit kami tak lagi bersentuhan. “Ini untuk menghancurkan kepercayaan yang Jean kasih buat kamu.”
PLAKK.
“Ini untuk membuat saya kehilangan pekerjaan sebagai dokter.”
PLAKKKK.
“Ini untuk semua rasa sakit dan kehancuran atas pernikahan saya.”
Tiga tamparan sebelum saya merasa tidak lagi sanggup menopang tubuh sendiri agar tetap berdiri. Saya memundurkan tubuh dan memaksa kaki saya untuk keluar dari area rumah Jean. Saya masih bisa mendengar sayup-sayup suara tangisan keras dari Karin entah karena apa. Saya tidak peduli. Saya tidak lagi peduli soal apa yang terjadi pada Karin seusai tiga tamparan keras yang saya berikan. Rasa sakit di perut saya semakin menjadi, sampai membuat langkah saya terseok.
Berhasil sampai di tempat dimana saya memarkirkan mobil adalah hal yang paling saya syukuri saat ini. Rasa sakit yang menyerang membuat saya kehilangan tumpuan pada kedua kaki dan berakhir tumbang tepat di samping pintu mobil. Hal terakhir yang saya ingat sebelum melihat aliran darah segar di betis dan kegelapan mengelilingi adalah suara Papa yang berteriak dan suara Aksara yang berusaha membangunkan saya.
Habis, semuanya gelap dan saya kehilangan semua ingatan soal cerita hari ini. Ingat di awal ketika saya bilang kalau seumur hidup, kejadian perampokan hari itu adalah pertama kalinya saya setakut itu akan kematian. Hari ini hal yang sama berlaku.
Saya amat takut dengan kematian, terutama ketika mendadak, saya merasa kalau saya kehilangan kontak dengan sosok di dalam perut saya. Saya ketakutan setengah mati. Dalam kegelapan di kepala saya sendiri, saya meringkuk ketakutan sambil memegang erat perut saya sendiri, berharap kalau saya masih dapat merasakan dia yang di sana bernapas dengan benar di dalam sana.
Saya takut, saya tidak pernah merasa setakut ini.