Catatan Dua – Dari Jeandra

Kalau bisa diibaratkan, saya akan menyebut bayangan yang terpantul di kaca saat ini adalah mayat hidup.

Tangan saya menggenggam botol kaca bening, botol kedua yang saya tenggak isinya hingga tak bersisa. Rasanya kosong, saya kebingungan. Saya kira satu-satunya cara agar kekosongan yang menguasai dada adalah dengan membuat diri saya kehilangan kesadaran.

Saya kira kalau saya berada di ambang kesadaran yang mulai menipis, wajah Anindia bisa lenyap dan berhenti membuat saya harus memukul dada berkali-kali karena sesak yang tak kunjung pergi.

Tapi ternyata saya salah. Anindia masih di sana, di kepala saya. Anindia ada dimana-mana. Di sudut ruangan sambil tersenyum ke arah saya dengan kedua tangan membawa sepiring makanan, di depan saya sambil mengomel karena dasi saya yang berantakan, di sofa ruangan saya sambil membaca jurnal kedokteran yang selalu dia bawa.

Dia ada dimana-mana, terutama di setiap sudut sel otak saya yang bertugas memunculkan khayalan.

Saya terlalu sibuk dengan usaha melupakan Anin, sampai-sampai saat saya sadar kalau ada Karinina yang tengah menunggu di rumah, saya hanya memejamkan mata dan berlalu tidak peduli.

Anindia menyita seluruh perhatian saya, seluruhnya tanpa sisa. Dan kali ini, saya kembali tidak dapat menemukan kalimat yang tepat untuk menyimpul tulisan ini.

Yang saya pahami hanya satu, yaitu saya yang mulai kehilangan diri sendiri sejak kehilangan Anindia. Bahwa saya ternyata selemah ini kalau urusannya adalah Anindia. Kalau ternyata, Anindia yang pergi betul-betul berhasil membuat saya kehilangan arah.