Catatan Empat – Dari Jeandra
“When your body hurts, you will cry. When your heart hurts, you will whine like a puppy in your sleep.” Moon Sang Tae, from It's Okay to Not be Okay
Waktu berumur delapan tahun, Ibun pernah memberi saya seekor anak anjing. Seekor Pomeranian berwarna putih bersih dan berbulu halus. Pluto, saya ingat kalau di hari Ibun memberi si kecil itu sebagai hadiah ulang tahun, saya memberi dia nama itu. Sampai saya berumur sepuluh tahun, Pluto menjadi teman bermain kesayangan saya. Mulai dari bermain lempar-tangkap, berjalan-jalan di sekitar perumahan tempat saya tinggal, menemani saya mengerjakan tugas dari guru, bahkan kadang tidur pun saya lakukan berdua dengan anjing kecil itu. Sayangnya, Pluto meninggal ketika suatu hari ketika saya duduk di kelas lima di Sekolah Dasar.
Ibun bilang, Pluto meninggal karena ingin bertemu ibunya di surga milik Tuhan. Kata Ibun, Pluto merindukan ibunya dan berlibur ke surga untuk mengunjungi sang ibu. Saya percaya hal itu selama bertahun-tahun meski harus berusaha menahan tangis tiap kali mendapati kalau setelah anjing kecil itu tiada, saya bermain seorang diri. Ibun bahkan sampai berkali-kali harus menegur saya yang melamun dengan sebuah bola di tangan, hanya karena saya yang diam-diam berharap kalau saat saya menendang bola itu, suara gonggongan kecil yang biasanya saya anggap berisik akan kembali terdengar.
Saya percaya pada Ibun sampai saya menginjak usia remaja. Di mana waktu itu, saya mulai paham kalau Pluto meninggal karena anjing kecil itu tidak makan apapun selama satu minggu. Tubuh kecilnya yang lemah membuat daya tahannya menurun dan terserang penyakit yang membuatnya meregang nyawa.
Saya masih berumur 10 tahun ketika hal itu terjadi, terlalu belia untuk mengerti hal itu dan Ibun mungkin kebingungan mencari alasan yang tepat untuk dijelaskan kepada saya. Ketika mengetahui yang sebenarnya terjadi, saya mulai bisa mengingat alasan-alasan yang membuat Pluto sakit.
Ada seekor anak anjing lain milik tetangga kami, saya lupa namanya. Anjing berjenis Pomeranian berwarna cokelat gelap, ukuran tubuhnya sedikit lebih besar daripada Pluto. Pluto sering saya ajak bermain dengan anjing itu, mereka teman yang akrab. Saya sebetulnya tidak mengetahui ukuran pertemanan untuk anjing, tapi melihat bagaimana Pluto selalu melompat-lompat girang dan menggonggong antusias setiap saya mengarahkan tali di lehernya ke rumah tempat tetangga di seberang rumah, saya menganggap kalau mereka berteman cukup dekat.
Masalahnya dimulai ketika tetangga saya itu pindah ke tempat lain. Entah untuk alasan apa, yang jelas tetangga yang pindah rumah sama saja dengan kenyataan kalau anjing yang menjadi teman Pluto itu juga harus pindah. Yang artinya, Pluto harus kehilangan teman bermainnya selain saya. Mungkin bagi Pluto, berteman dengan saya terasa berbeda karena saya manusia. Saat itu, saya paham kalau Pluto sakit karena merasa kehilangan.
Pluto tampak tidak punya semangat untuk menjalani hidup. Terdengar berlebihan memang, tapi saya memahami itu dengan baik ketika menginjak usia remaja. Dia menolak makan, sama sekali tidak bergerak tiap saya menunjukkan mainan, dan hanya berada di kandang tempatnya tinggal tanpa melakukan apapun. Jeandra kecil tidak bisa memahami hal itu, tapi Jeandra remaja bisa memahami hal itu dengan benar kalau sebetulnya, Pluto kehilangan sesuatu yang berharga.
Satu malam, ketika tak sengaja melewati kandang Pluto saat hendak mengambil segelas air putih di dapur, saya mendengar suara lirihan kecil dari anjing kecil itu. Entah itu suara napasnya yang terdengar hingga ke telinga, atau memang Pluto benar-benar mengeluarkan lirihan dan rintihan di dalam tidurnya. Saya memperhatikan itu dalam diam, berjaga-jaga karena takut kalau anjing kecil tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Diam-diam kala itu, saya takut kalau dalam pandangan mata saya, dada Pluto berhenti bergerak dan napasnya juga ikut berhenti. Tapi segalanya tampak baik-baik saja sampai satu jam kemudian dan saya memutuskan untuk membawa anjing itu ke atas tempat tidur saya.
Itu adalah hari terakhir sebelum di esok hari, Pluto meninggal. Napasnya benar-benar berhenti dan saya tidak ada di sana untuk menyaksikan dadanya berhenti bergerak dan hidung lucu miliknya berhenti mengendus udara. Saya tidak di sana, dan hari itu adalah patah hati pertama yang saya punya.
Saya tengah mendudukkan diri di kursi di samping ranjang rumah sakit tempat Anindia berbaring ketika ingatan soal Pluto muncul di kepala.
Anin tengah berbaring meringkuk layaknya janin di dalam kandungan ketika kaki saya melangkah masuk ke dalam ruangan tempatnya dirawat. Kedua mata bulatnya terpejam, napasnya teratur. Anin tertidur, mungkin kelelahan menunggu saya yang datang terlalu lama karena sibuk menenangkan diri sebelum masuk ke dalam sini. Saya memang butuh waktu setidaknya sepuluh menit sebelum benar-benar memutar gagang pintu dan melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan. Saya berlari saat Aksa datang dan memberitahu soal Anin, tapi nyali saya tiba-tiba ciut tepat di hadapan pintu. Saya takut pada banyak hal, terutama pada kemungkinan akan menemukan tatapan kosong tanpa arti milik Anin, atau tangisan histerisnya yang mungkin akan membuat saya semakin membenci diri sendiri.
Jadi sebelum benar-benar masuk ke dalam, saya menyempatkan diri untuk menarik napas pelan dan mengeringkan air mata yang sialnya masih tak kunjung berhenti. Sampai saya harus mendudukkan diri di lantai dan bersandar di dinding, berupaya sekuat tenaga agar tangisan yang mata saya buat berhenti dan siap menghadapi Anin. Saya butuh setidaknya lima menit untuk dapat mengatur napas dan akhirnya berdiri tegak di depan pintu dengan satu tangan memutar gagang pintu.
Anindia ada di sana, di atas tempat tidur khusus pasien dengan gaun khas rumah sakit berwarna biru muda membalut tubuh kecilnya. Posisi tubuhnya menghadap tepat ke arah pintu masuk, yang membuat saya dapat langsung menangkap wajah sembab milik Anin meskipun kedua matanya tampak terpejam erat. Saya berjalan pelan, berhati-hati agar sepatu yang saya gunakan tidak menimbulkan satu suara pun yang dapat mengganggu tidurnya. Saat pada akhirnya saya berhasil duduk di kursi di samping tempat Anin berbaring, saya hanya dapat memandang wajah kelelahannya tanpa berniat membangunkan si pemilik wajah cantik ini. Yang membuat saya langsung mengingat anak anjing peliharaan saya ketika masuk ke dalam sini adalah suara lirih yang keluar dari bibir Anindia. Lirihan dan rintihan halus yang hampir tidak terdengar, namun saya bisa menangkap suara itu walau sebentar. Dahi sempit Anin mengerut, yang kemudian langsung saya coba kembalikan ke keadaan semua dengan mengelus bagian itu dengan ibu jari saya yang mengelus pelan di sana.
Ada yang pernah bilang, ketika tubuh yang sakit, maka tangisan yang menjadi reaksi. Namun ketika yang terasa sakit adalah hati, lirihan dan rengekan akan keluar tanpa sadar dari bibir saat tidur.
Hari ini, Anin menangis, fisiknya kelelahan dan kesakitan. Menjalani segala prosedur medis karena pendarahan yang dia dapatkan pasti membuat sosok di depan saya ini harus menanggung banyak rasa sakit. Rasanya mungkin memang sesakit itu sampai Anin berteriak dan menangis. Teriakannya sampai terdengar hingga ke luar ruangan, dan saya tidak bersumpah kala mendengar itu, saya betul-betul berharap kalau kesakitan dan semua emosi itu adalah milik saya dan bukannya Anindia. Tapi lebih dari itu, lirihan halus dan kerutan samar di dahi sempitnya membuat saya merasa kalau sesuatu di dalam dada saya diremas lebih kencang.
Sebab artinya, selain tubuhnya yang sakit, hatinya mungkin merasa jauh lebih sakit. Anindia mungkin jauh lebih menderita di dalam sana, lirihan dan rengekannya di dalam lelap membuat saya mengingat bagaimana anjing kecil milik saya dulu mengeluarkan suara yang sama tepat setelah kehilangan teman bermainnya.
Anindia juga tengah kehilangan. Satu janin di dalam sana tidak dapat bertahan hidup dan fakta itu pasti membuatnya hancur dari luar dan dalam. Sama seperti yang Pluto alami dulu, Anindia kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya. Bedanya, kehilangan yang Pluto alami dulu tidak membuat saya menyalahkan siapapun. Tapi kali ini, kehilangan yang Anindia rasakan membuat saya menyalahkan diri sendiri meskipun Aksara sudah menjelaskan kalau penyebab keguguran itu adalah adanya kelainan kromosom.
Jika saja saya begini, atau jika saja saya begitu. Banyak kata “jika” yang saya sadari sama sekali tidak berarti sebab Anindia sudah terlanjur kehilangan dan yang bisa saya lakukan saat ini hanyalah menyalahkan diri sendiri. Yang bisa saya lakukan hanyalah duduk di samping Anindia dan menahan diri sekuat tenaga agar tidak kembali lemah. Saya berusaha keras agar pikiran soal bagaimana kacaunya hati Anin tidak membuat saya tumbang saat ini. Sebab saya tidak boleh menangis di saat seperti ini, tidak lagi. Tidak di saat yang paling menderita saat ini adalah Anin, saya tidak boleh menangis karena yang paling berhak menangis dan merasa sakit di saat seperti ini adalah Anindia.
“You’ve suffered too much,” ucap saya sambil mengarahkan satu tangan ke helai rambut hitam milik Anin dan mengelus bagian itu dengan hati-hati. Saya menggerakkan tangan naik dan turun teramat pelan, saya terlalu takut kalau gerakan sekecil apapun dapat membuat sosok di depan saya itu rapuh menjadi kepingan debu.
Namun ternyata, gerakan yang saya lakukan membuat tidur Anin terganggu. Kedua mata bulat yang biasanya selalu memandang saya dengan teduh itu perlahan terbuka, menampakkan iris cokelat gelap yang sejak dulu selalu saya puja sampai lupa dunia. Bagian bawah mata Anin terlihat menggelap, entah berapa hari si cantik ini tidak tidur dengan benar. Pipi yang biasanya berwarna merah muda bak kelopak mawar itu terlihat pucat, entah kemana perginya rona cantik itu sekarang. Yang jelas, tiap kali mata saya menangkap tanda kelelahan di wajah Anin, sesuatu di dalam dada kiri saya terasa ditikam oleh sebuah belati, membuat saya kembali kehilangan kemampuan untuk bernapas dengan benar.
“I’m sorry.” Kalimat itu spontan keluar dari bibir saya ketika mata kami bertemu. Anin mengerjap pelan, mungkin masih bingung dengan kehadiran saya di hadapannya saat ini. Namun ketika menemukan kesadarannya, kedua netra bulat itu langsung terlihat berkaca-kaca. Bibir pucat miliknya bergetar pelan, seiring dengan satu bulir air mata perlahan menuruni pipi dan membuat hati saya semakin terasa sakit.
“We lost the baby,” ucap Anin dengan suara yang terdengar serak.
Detik itu, saya hancur. Hancur sehancur-hancurnya sampai tak bersisa, sampai air mata yang saya tahan sejak masuk kemari merebak seketika tanpa bisa saya hentikan. Mata saya panas, perih dan bulir bening mulai berjatuhan tanpa batas di pipi.
Saya menangis, saya sudah tidak lagi sanggup menahan isak dengan menggigit bibir sendiri. Anindia yang memandang saya dengan mata bulatnya yang terlihat lelah membuat saya runtuh. Saya luruh, bersamaan dengan isak lain yang saya dengar yang datangnya dari bibir Anin. Mata cokelat yang biasanya berbinar menghadapi dunia itu kini memaku tatap pada saya, seolah mengadu tentang betapa sakitnya kehilangan, tentang betapa hancur si pemilik mata cantik itu karena yang sudah saya lakukan.
“Jangan nangis, Sayang. Jangan nangis.” Kalimat itulah yang sebetulnya ingin saya ucapkan lewat lidah. Namun yang berhasil keluar hanyalah kata maaf dengan suara saya yang tercekat. Seakan ada sebuah batu besar yang menghalangi pita suara saya untuk mengudarakan kalimat, seakan yang bisa saya ucapkan hanyalah kata maaf dan kata lain tidaklah pantas saya beri untuk Anindia.
“We lost the baby, Je. I couldn’t keep one of them alive.”
Saya sontak menggeleng kuat. Bukan, Anin. Bukan kamu yang gagal, tapi saya yang kurang pandai menggunakan akal. Bukan kamu yang kalah, tapi saya yang salah.
Begitu banyak yang ingin saya sampaikan untuk Anindia, namun yang berhasil lolos dari bibir saya hanyalah isakan. Saya tenggelam dalam luka yang Anindia punya dan kalau ada satu kali kesempatan untuk bertukar tempat, saya rela.
Saya bangkit dari kursi yang saya duduki sejak tadi, kemudian bergerak merangkum tubuh mungil Anin ke dalam sebuah pelukan. Satu tangan saya berada pinggang ramping Anin, sedangkan satu lagi saya gunakan untuk mengelus rambutnya yang saat ini diikat ke dalam sebuah sanggul sederhana. Saya dekatkan tubuh saya ke arah Anin, membuat jarak kami hanya berupa dua jari yang terpisah. Saya raih Anindia dengan hati-hati, yang kemudian disambut oleh tangisan yang lebih keras dari sosok di dekapan saya ini. Saya lalu kembali bangkit, tak lama kemudian langsung meraih tubuh mungil itu untuk saya genggam dengan hati-hati.
Perlahan, saya membantu Anin untuk bangkit dari baringnya dan dengan gerakan pelan, tubuh Anin sudah berada dalam posisi duduk. Saya lalu naik ke atas ranjang rumah sakit dan menempatkan tubuh saya di satu ranjang dengan Anindia, sebelum kemudian membawa Anin ke dalam pangkuan paha saya yang kosong. Setelah memastikan kalau tubuh mungil itu berada dalam posisi yang aman dan tidak akan membuatnya kesakitan, saya kembali merangkum Anin ke dalam pelukan erat. Kedua tangan yang melingkar di pinggang dan wajah yang saya kubur di ceruk leher hangatnya, saya bersumpah kalau saya merindukan wanita ini sebanyak saya menyesal telah menyakitinya.
Memeluk Anin dalam keadaan ini membuat tubuh saya bergetar, terutama ketika tangisan Anin semakin vokal terdengar dan saya dapat merasakan tautan jari-jemarinya semakin erat mencengkram baju yang saya pakai. Seolah kehidupan yang dia punya hanya bergantung pada saya, seolah jika melepas saya sebentar saja dapat membuatnya hancur tanpa sisa.
“Maaf, Sayang….” Suara serak saya kembali terdengar. Dengan itu, tangisan Anin semakin kencang dan cengkramannya di baju saya semakin erat. Tangisan dan erangannya membuat saya merasa seperti dihantam sekeras mungkin, rasa sakitnya lebih dari yang saya dapatkan dari pukulan yang diberikan mertua saya satu jam yang lalu, lebih parah dan berhasil membuat saya semakin kehilangan arah.
“Bayiku, Je. Bayiku hilang, bayiku udah gak ada….”
Telak.
Saya runtuh sepenuhnya.
Saya menangis semakin keras, beriringan dengan suara Anin yang bergetar hebat sampai napasnya tersendat dan mulai sedikit batuk karena udara di tenggorokannya sendiri tidak mendapat sirkulasi yang benar. Saya bergerak mengelus pelan punggung sempit di dekapan saya ini dengan tangan yang tak kalah bergetar. Saya mengangguk pelan, berusaha menyampaikan pada Anin kalau saya juga merasa kehilangan.
“Maaf…,” ucap saya untuk yang ke sekian kalinya.
Yang bisa saya lakukan saat ini hanya memastikan kalau kedua tangan saya cukup untuk melingkupi Anindia dalam pelukan, berharap kalau saya dapat membantunya mengurangi rasa sakit yang dia punya meski hanya secuil. Tangan kanan saya terangkat, kemudian saya gunakan untuk merapikan sisa helai rambut Anin yang tertinggal dari ikatan. Tangan lainnya saya gunakan untuk tetap mengelus punggung rapuh sosok ini dengan gerakan naik dan turun perlahan, saya biarkan bagian depan kemeja yang saya pakai basah karena air mata yang Anin tumpahkan.
“I just thought that I would be fine without your presence, kupikir aku bakal baik-baik aja walaupun kamu ngga ada di hidupku karena aku punya mereka. Aku barudua hari lalu periksa ke dokter dan dia bilang kalau bayiku bukan cuma satu tapi aku punya dua. Aku baru dua hari lalu beli baby cribs buat mereka buat kutaruh di kamarku, aku baru dua hari lalu bikin rencana kalau aku bakal panggil mereka Baby A sama Baby B karena aku masih ngga tau jenis kelamin mereka. Aku baru kemarin beli alat rajut karena pengen bikin baju buat mereka. But I lost one of them, Je….”
“It’s not your fault.” Saya sepenuhnya yakin kalau suara saya tidak dapat terdengar oleh Anin wajah saya yang masih terkubur di ceruk lehernya, namun ternyata Anin masih dapat mendengar saya dengan baik. Anin menggeleng berulang-ulang.
“Dia ngga akan kemana-mana kalau aku sedikit lebih kuat, dia ngga akan hilang kalau aku bisa jadi ibu yang lebih hebat.” Anindia kembali menyalahkan diri sendiri. Kali ini giliran saya yang menggeleng keras, sebab yang baru saja Anin ucapkan sama sekali tidak dapat dibenarkan ketika faktanya, sayalah yang menjadi alasan utama dirinya menangis sekeras ini.
Tapi yang dapat saya lakukan hanya menggeleng. Kalimat yang saya susun sedemikian rupa di dalam kepala sama sekali tidak dapat terudara menjadi kata yang nyata. Suara saya tercekat, semua yang ingin saya sampaikan hanya bisa berakhir menjadi kalimat dalam angan. Padahal ada banyak yang ingin saya ucapkan. Padahal ada banyak yang ingin saya katakan pada Anindia, terutama soal saya yang berlapang dada jika Anin ingin melimpahkan semua kesalahan pada saya. Soal saya yang ikut hancur melihat Anindia yang hancur. Soal saya yang ingin dia tahu kalau sepanjang hidup yang saya jalani, melihatnya berada dalam keterpurukan seperti ini adalah patah hati terbesar bagi saya. Bukan yang pertama, sebab yang pertama sudah lama terjadi ketika anjing kecil saya dikubur beberapa kaki di bawah tanah.
Ini bukan patah hati pertama saya, tapi rasa sakit dan sesaknya jauh lebih parah.
Dan Anindia akan selalu jadi satu-satunya yang mampu membuat saya sepatah ini, sehancur ini, dan sekacau ini. Hanya dengan melihat mata sembab dan air mata yang tidak berhenti menuruni pipinya yang pucat, hanya dengan mendengar suara serak penuh isak miliknya yang mengadu soal luka yang dia punya. Anindia adalah satu-satunya, baik dulu maupun sekarang, Anindia adalah satu-satunya.
Kemudian yang terjadi setelahnya adalah Anin yang terdiam di pangkuan saya. Setelah hampir 10 menit menangis, saya pada akhirnya tidak lagi dapat mendengar suara apapun dari dirinya yang tengah saya dekap. Saya menunduk dan menemukan wajahnya yang berada tepat di dada saya. Satu tangan bergerak merapikan helai surainya yang sedikit berantakan dan lepek karena keringat dan air mata, satu tangan lain saya gunakan untuk menahan pinggang Anin agar tetap berada di pangkuan.
“Mau tidur lagi?” tanya saya saat mendapati napas pelan milik Anin yang tersisa setelah tangisnya usai. Anin menggeleng, tenaganya mungkin sudah terkuras habis akibat menangis dan hanya mampu menggerakkan kepala.
Saya hendak bergerak perlahan untuk membaringkan tubuh mungil itu, berusaha berhati-hati agar tidak membuat gerakan yang dapat menyakiti Anin sebelum turun dari tempat tidur. “Aku bakal minta tolong Ibun buat jagain kamu, tunggu sebentar.”
“Stay.“
Tapi gerakan saya tertahan kala Anin meraih tangan saya dan meminta saya untuk tidak melangkah pergi. Saya pada akhirnya hanya mengangguk dan kembali mendudukkan diri di sisi Anin, walau sebetulnya di dalam hati, ada secuil dari bagian diri saya yang meminta untuk sedikit lebih tahu diri dan membawa kaki saya pergi dari hadapan Anin. Namun sebagian lainnya meminta untuk tetap di sini dan mengikuti apa yang barusan Anindia pinta. Hingga kemudian, yang menjadi pemenang adalah diri saya yang tetap duduk diam dengan Anindia di sisi, dan isi kepala yang tidak berhenti ribut memikirkan banyak hal.
“Ada yang sakit?” tanya saya di sela keheningan.
“Semuanya,” jawab Anin. Saya diam, sebelum kemudian Anin kembali bersuara dan jawabannya membuat napas saya lagi-lagi tercekat.
“Kepalaku, tanganku, kakiku, semuanya sakit. Dadaku rasanya kayak mau meledak, kayak ada yang nusuk bagian itu dan ngga biarin aku napas dengan benar. Kayak ada lubang besar di diriku yang aku gak tau itu apa, kayak ada sesuatu yang diambil dari aku yang aku sendiri gak pernah tau itu apa dan gimana bentuknya. Badanku sakit dan kepalaku berisik.”
Saya menunduk, total kehilangan keberanian untuk menatap mata bulat milik Anin. Saya merasa seperti seluruh dunia tengah memandang ke arah saya dengan tatapan marah karena sudah menjadi alasan bagi semua sakit yang Anin bilang barusan. Seolah ada yang dengan sengaja menghantamkan sebuah batu sebesar gunung ke arah saya untuk membalas semua yang saya lakukan untuk wanita di depan saya ini. Saya sampai harus merenyam ujung kemeja yang saya gunakan, berharap kalau sesak yang menikam dada dapat berkurang dan saya dapat menatap Anin dengan benar. Dengan kepala yang masih tertunduk dalam dan tangan yang mencengkram baju erat, saya menahan diri agar tidak kembali lemah.
“Can you do me a favor?”
Saya mengangkat kepala dan menatap Anin, menunggu kalimatnya terselesaikan walau dengan tangan yang masih merenyam ujung pakaian. Anin menarik napas sejenak, lalu mengambil satu tangan saya dan membawa saya menyentuh bagian perutnya yang mulai menunjukkan perbedaan ukuran dengan yang dulu pernah saya lihat. Detik itu, saya menahan napas. Jari jemari saya bergetar, namun Anin tanpa ragu tetap membawa tangan saya menyentuh perutnya, membiarkan saya merasakan kehadiran sosok mungil di dalam sana meski yang dapat saya lihat hanyalah kain dari pakaian rumah sakit yang Anin gunakan membatasi pandangan.
“Jadi punyaku lagi,” ucap Anin.
Saya mengerjap beberapa kali, belum bisa menangkap maksud kalimat yang barusan saya dengar langsung dari bibir pucat Anindia. Saya menatap Anin bingung, sebelum kembali menatap bagaimana jemari saya perlahan bergerak dengan mandiri membentuk sebuah elusan pelan di bagian perut Anin.
“What do you mean?”
“Selama kita nikah, kamu ngga pernah sepenuhnya jadi punyaku. Aku mau kamu jadi punyaku lagi kayak dulu, kayak tiga tahun yang lalu. Can you be mine at least for once?”
Anin melanjutkan, “Jadi punyaku lagi, jadi ayah buat anakku. Aku mungkin udah hancur sampai ngga berbentuk, Je. Tapi anakku ngga boleh punya pengalaman yang sama. Aku mungkin udah ngga bisa diperbaiki, tapi anakku masih punya kesempatan buat punya kehidupan yang lebih baik dari ibunya. Can you do that?”
Jantung saya sontak bergema gila-gilaan di dalam sana. Permintaan Anin membuat saya seolah menemukan sebuah permata di tengah hamparan kotoran, seolah menemukan air di tengah kekeringan. Saya tidak akan berbohong, mendengar Anin memberi saya satu kali lagi kesempatan untuk tetap berada di sampingnya membuat saya menaruh sebuah harapan yang amat tinggi. Namun di tengah euforia harapan dan gema jantung yang menggebu, saya kembali dibayangi ketakutan.
Saya takut akan menghancurkan Anin lebih dari yang sudah saya lakukan. Saya takut kalau apapun yang nantinya saya berikan, luka yang Anin punya nyatanya tidak dapat pulih dan yang saya lakukan hanyalah menambah luka baru. Saya ketakutan, teramat takut kalau bukannya mengembalikan kebahagiaan yang sudah saya renggut, tapi yang akan terjadi malah Anindia yang semakin kacau karena saya. Saya ketakutan, tapi genggaman tangan Anin di tangan saya membuat kesadaran saya kembali terkumpul. Akal saya yang awalnya berserakan langsung terhimpun menjadi satu ketika saya rasakan elusan pelan dari ibu jari Anin di permukaan kulit.
Saya arahkan pandangan pada wajah cantik yang selama bertahun-tahun tidak pernah meninggalkan ingatan di depan saya. Kedua mata sembab itu memandang saya dengan tatapan memohon, seolah yang akan dia katakan selanjutnya adalah permintaan terakhir yang dia punya dan saya benci itu. Saya benci melihat gurat terluka di mata Anin, saya benci melihat pandangan penuh permohonan itu sebab rasanya seperti hari ini adalah hari terakhir saya dapat memandang mata itu.
“Tinggal, Jeandra. Aku mau kamu tetap tinggal,” ucap Anin lagi.
Kali ini, saya punya cukup keberanian untuk membalas tatapan yang Anin berikan. “Kata tinggal bisa berarti dua hal, Anin. Menetap atau pergi meninggalkan. Tinggal might be stay and it might be leave, which one do you want me to do?”
“The first one.”
Napas saya tertahan. Anindia benar-benar memberi saya harapan dan saya masih ketakutan. Sebab nada bicara yang Anin gunakan tidak terdengar seperti sedang menyampaikan kabar beraroma suka. Sebab ekspresi yang Anin tunjukkan sama sekali tidak menggambarkan kegembiraan.
“Aku mau kamu tetap tinggal, ayo mulai dari awal dan jadi punyaku lagi. Kamu benar, kata tinggal bisa berarti dua hal; menetap atau meninggalkan. Aku mau kamu tetap tinggal dalam arti yang pertama, tetap sama aku dan jadi Jeandra yang aku kenal lagi.”
Entah apa alasannya, kalimat itu membuat saya semakin ketakutan.
“Setelah enam bulan nanti waktu dia lahir, silakan gunain kata itu untuk definisi yang kedua. Setelah aku bisa mastiin kalau aku bakal punya cukup cerita untuk dibagi ke anakku soal ayahnya, silakan tinggalin aku lagi kayak yang kamu pernah lakuin.”
Ternyata, saya bukannya takut akan kembali membuat Anindia hancur. Ketakutan saya bukan bersumber dari rasa khawatir bahwa Anin akan merasakan sakit yang jauh lebih besar jika kami mencoba dari awal. Yang ternyata saya takutkan adalah fakta kalau setelah kembali hidup dengan Anindia dan diberi kesempatan untuk mencintai wanita itu dengan benar sekali lagi, saya harus kembali kehilangan dia. Saya takut kehilangan Anin lagi setelah berhasil memperbaiki yang sudah saya buat hancur. Yang saya takutkan sejak tadi adalah fakta kalau harapan yang Anindia berikan adalah sebuah hukuman yang berselimutkan anugerah.
Hari ini, Anin benar-benar memberikan saya kesempatan sekaligus hukuman.
-