Catatan Tiga – Dari Jeandra
CW // Mature content , Harsh words
Dua jam.
Saya menghabiskan waktu dua jam untuk mencari keberadaan Anin. Bertanya baik pada Aksara atau Papa Anin sama sekali tidak membantu. Jadi saya putuskan untuk mencari Anindia di beberapa tempat yang menurut saya sering wanita itu datangi.
Saya datang ke rumah sakit, tapi baru sampai di halaman parkir, saya sadar kalau Anin tidak mungkin lagi menginjakkan kaki di sana sejak saya sendiri yang menyatakan pencopotan jabatannya sebagai dokter di rumah sakit saya. Saya menyempatkan diri untuk datang ke tempat makan yang dulu sering kami kunjungi, berharap kalau Anin masih punya kebiasaan datang ke sana tiap kali punya masalah.
Tapi yang saya dapat adalah kerutan dahi bingung dari si pemilik warung. “Bu Anin terakhir datang ke sini udah lama banget, Pak. Ada kali dua atau tiga tahun yang lalu, saya ngga pernah liat beliau ke sini lagi,” katanya. Yang kemudian membuat saya merutuki diri sendiri karena sama sekali tidak tahu apa-apa soal Anindia.
Saya mencari ke banyak tempat, tapi hasilnya tetap nihil. Anindia tidak dapat saya temukan dimanapun, sampai akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke rumah dan menyelesaikan satu hal dulu.
Hema dan Karin, saya bahkan masih berusaha mencerna kenyataan kalau yang ada di perut Karin ternyata bukan milik saya. Maksudnya, bagaimana bisa? Sejak kapan? Kenapa saya sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu?
Amarah memuncak hingga ke ubun-ubun ketika saya menggenggam kemudi dan memutar arah mobil. Kaki kanan saya menginjak pedal gas tanpa pikir panjang, terlalu banyak yang ingin saya tanyakan baik pada Hema atau Karin. Kepala saya terasa sakit, jantung saya bergema gila-gilaan. Perjalanan menuju rumah terasa bertahun-tahun, saya bahkan tidak sempat mencabut kunci mobil dari tempatnya ketika sampai di halaman rumah.
Saya berlari untuk dapat masuk ke dalam, benar-benar sudah kehilangan akal atas apa yang sebetulnya terjadi. Kepala saya seakan siap untuk meledak, namun urusan Karin dan Hema membuat saya menahan diri untuk tidak buru-buru mendahulukan emosi, saya butuh mendengar ceritanya lebih jelas.
Ketika saya menapakkan kaki di dalam rumah, saya menemukan Karin yang tengah menangis dan Hema yang merengkuh erat tubuh mungil itu.
Saya kehilangan kemampuan untuk mengolah kata, lidah saya terasa kelu dan tidak dapat mengudarakan satu kalimat pun. Sadar kalau saya hadir di tengah pelukan mereka, Hema melepas rengkuhannya dari tubuh Karin dan mengarahkan pandangan pada saya.
Saya tahu tatapan itu, tatapan penuh rasa bersalah dan penuh penyesalan. Saya pernah memberikan tatapan itu pada Anin dulu setiap kali saya melihat sosoknya diam-diam di tiap kesempatan. Namun melihat tatapan itu diberikan pada saya dan berasal dari orang yang saya beri kepercayaan paling besar bahkan melebihi Anindia sendiri, saya membencinya.
“Let's talk,” kata Hema masih dengan tatapan yang sama.
Saya meluruskan bibir menjadi satu garis, sama sekali tidak menyangka kalau lelaki di depan saya ini masih bisa setenang ini. Saya berjalan mendekat ke arah mereka, pandangan saya terarah pada sebelah tangan Hema yang menggenggam Karin, menahan gadis itu agar tidak berlari ke arah saya.
Saya duduk di single sofa yang terletak di tengah ruangan. Suasana rumah besar ini mendadak jadi asing untuk saya, rasanya rumah sebesar ini tidak lagi terlihat seperti tempat pulang bagi saya. Anindia tidak lagi di sini, ditambah dua orang di depan saya membuat rumah yang dulu saya bangun dengan harapan bisa ditempati bersama Anindia sekarang terasa kosong dan memuakkan.
Hema tampak berpikir sejenak, mungkin mencoba menyusun kata-kata di dalam benaknya sendiri. Saya memandang Karin yang masih berdiri di sisi Hema, dua matanya memandang saya dengan raut takut, satu hal yang sama sekali tidak pernah saya temukan ada pada gadis itu. Melihat bagaimana takut dan cemasnya cara Karin menatap saya, saya menyimpulkan satu hal.
Bahwa yang Hema katakan lewat percakapan kami dua jam yang lalu memang benar adanya. Bahwa Karinina memang sudah tahu soal cerita masa lalu yang saya tutup rapat-rapat. Bahwa gadis yang membuat saya mempertaruhkan hidup sendiri demi memberi dirinya kehidupan itu memang benar-benar sudah bertindak di luar batas.
“Gue ada affair sama Karin sejak satu tahun belakangan.” Hema membuka percakapan tanpa melepaskan genggamannya pada Karin. Saya diam, masih ingin mendengar Hema tanpa ingin memotong kalimatnya.
“Lo ngga pernah ada buat dia, Je. Yang lo lakuin cuma manjain Karin pakai materi dan nyerahin sisanya ke gue. Gue ngaku salah, Je. Lo boleh lakuin apapun ke gue, gue ngga akan membela diri.”
Saya masih diam, mempersilakan Hema mengakui segalanya dan mendengar dengan seksama walau telinga saya terasa panas dan mungkin memerah. Hema terlihat masih memiliki banyak hal yang ingin dia katakan, lelaki itu tampak punya banyak cerita yang ingin dia sampaikan.
“We had our first sex was in January, waktu lo dinas ke luar kota dan Karin lagi high. Oke gue tau gue salah karena ngelakuin itu dengan posisi Karin yang ngga sadar, tapi sisanya kami lakuin dalam keadaan sama-sama sadar tanpa dipengaruhi alkohol.”
“Hema stop....” Suara Karin menginterupsi namun terhenti ketika saya menatap tajam ke arahnya. Saya belum mau mendengar gadis itu bersuara, nanti setelah Hema selesai dengan semua pembelaannya, baru akan saya beri kesempatan pada Karin untuk bicara.
Karin sontak diam, dan Hema langsung memberikan tatapan seolah meminta Karin untuk mengerti. Tatapan penuh puja seperti yang selalu saya berikan diam-diam buat Anindia, dan bagaimana bisa saya baru melihat tatapan itu di mata Hema? Ah, bukan. Pertanyaannya salah, harusnya begini; Bagaiamana bisa saya baru menyadari kalau Hema juga punya tatapan sejenis itu pada Karin?
“Sama kayak lo yang jatuh buat Anin, gue juga jatuh buat Karin, Je. Gue manusia, lo juga manusia. Gue ngga bisa menentukan buat jatuh cinta ke siapa, gue cuma manusia biasa.”
“Lo bisa, Hema.”
Nyatanya, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawab Hema.
“Rasa ke seseorang itu bisa lo kendaliin karena lo yang punya. Lo mungkin ngga punya rencana buat jatuh ke seseorang, tapi lo bisa ngendaliin diri. Lo bisa sadar sejak awal kalau orang ini ngga boleh jadi tempat lo berharap, lo bisa berhenti sejak awal kalau lo mau.”
Napas saya memburu, tenggorokan saya terasa amat kering. Mendapati diri saya berada dalam keadaan ini dengan lawan bicara yang merupakan sahabat sendiri adalah situasi paling tidak pernah saya duga kehadirannya. Masalahnya di sini, Hema mengetahui segala hal yang terjadi sejak awal, Hema menjadi satu-satunya orang yang tak pernah lupa saya bagi soal banyak hal yang saya alami.
“Lo sendiri ngga bisa ngendaliin perasaan yang lo punya buat Anin.”
Saya mengepalkan tangan, rahang saya mengetat sampai saya sendiri dapat mendengar suara gigi atas dan bawah saya bertabrakan. “Lo kira gue ngga pernah nyoba buat menghindar, Bajingan?!”
Saya melanjutkan, “Lo kira gue ngga pernah berusaha buat berhenti mikirin Anin dan nyoba buat sepenuhnya ada buat Karin?”
Detik ini, saya yakin kalau suara saya bergetar dan melemah di ujung kalimat. Sesak membuat saya tak mampu menyuarakan pembelaan dengan lantang, mengingat Anindia membuat saya kembali menjadi laki-laki lemah dan menyedihkan.
“Lo manusia dan gue juga, tapi seenggaknya lo bisa usaha dan menghindar dari perasaan lo itu, Hema.”
“Gue udah berusaha, Je. Gue udah—”
“Waktu kedua kali lo lakuin itu sama dia, apa ada lo mikir kalau yang lo lakuin bakal ngehancurin gue?”
Hema diam, kalimatnya menggantung di udara.
“Gue...,”
“Kalau lo sama sekali ngga punya rencana buat nerusin hubungan lo sama Karin, dari awal sebelum kalian having sex pun, lo ngga akan lakuin itu terutama ketika lo sendiri tau Karin lagi ngga sadar dan kemungkinan besar yang dia pikirin saat itu adalah gue. Kecuali lo memang udah udah rencana buat mengikat dia ke dalam hubungan yang lebih lanjut jauh sebelum itu terjadi.”
“At least gue berani ambil tindakan buat merjuangin orang yang gue mau, Jeandra, gue ngga sepengecut lo yang butuh waktu tiga tahun lari dari masalah.”
Dalam sekejap setelah Hema mengatakan hal demikian, pandangan saya menggelap dan amarah saya betul-betul tidak lagi dapat dibendung. Saya tarik kerah kemeja Hema dan mencengkram lelaki itu dengan sepenuh tenaga, menyebabkan Hema kesulitan menarik napas dengan benar dan berusaha melepaskan cengkraman saya dari dirinya.
Pandangan saya menggelap, tak ada lagi sosok Hema si sahabatnya Jean atau Hema si teman bertahun-tahunnya Jean yang saya kenal. Entah mana yang membuat saya lebih tersinggung. Kalimat Hema yang bernada mengejek dan meremehkan atau fakta kalau kalimat itu benar adanya.
Entah mana yang membuat darah saya lebih mendidih. Hema yang menghancurkan kepercayaan saya hingga tak berbentuk, atau fakta kalau saya kalah telak baik untuk urusan Anindia atau Karinina. Yang jelas, ketika saya melayangkan satu pukulan keras ke wajah Hema, saya tahu kalau lelaki itu sama sekali tidak memberikan perlawanan dan membuat saya mengambil kesempatan untuk melampiaskan semua beban yang selama ini terkurung hanya di dalam kepala.
Entah mana yang membuat saya merasa lebih hancur. Fakta kalau rencana yang selama ini saya susun serapi mungkin nyatanya gagal total atau Anindia yang saya sadari tak akan bisa kembali walau pada saya walau hanya sejengkal.
-