Dad, Her Dearest Dad
“Kenapa masih bangun?”
Suara Papa membuat Anin menoleh, pandangannya langsung mengarah pada presensi lelaki yang memiliki tinggi badan jauh darinya itu dengan senyuman tipis terpatri di wajah. Papa berjalan mendekat, tak lupa menutup pintu di belakangnya dengan pelan karena takut akan membuat Anin merasa tidak nyaman dengan suara decit kecil yang akan ditimbulkan.
“Aku baru bangun. Papa kenapa masih di sini? Bukannya besok masih harus masuk kantor?” tanya Anin. Tangan kiri Anin terangkat, menyambut kehadiran Papa yang langsung membawa tangannya ke dalam sebuah genggaman hangat.
“Papa ambil cuti tiga hari, kalau masuk kantor nanti siapa yang nemenin kamu?” jawab Papa sembari terkekeh pelan. Papa kemudian menarik kursi di sisi ranjang tempat Anin berbaring dan mendudukkan diri di sana. Pandangannya menyapu sosok Anin yang masih terlihat pucat meski Papa tahu, Anin berusaha menyembunyikan hal itu dengan tersenyum dan memaksakan diri untuk berbicara.
“Ada yang sakit, Nak?” tanya Papa.
Anin mengangguk. “Semuanya,” jawabnya.
“Mau cerita?”
Anin kembali mengangguk. Genggamannya di tangan Papa perlahan semakin erat, seiring dengan sesak yang kembali mengerubungi dada dan panas yang kembali menyerbu kelopak mata.
“I think I've lost myself.” Anin membuka cerita dengan kalimat pertamanya. Pandangannya menyapu langit-langit ruangan yang berwarna putih bersih, pikirannya melayang jauh entah kemana arahnya.
“I lost some parts of me, no, I mean the whole of me. I have been destroyed into pieces. Aku bahkan ngga tau apa aku punya alasan buat bangun lagi, aku ngga tau apa aku masih bisa hidup tenang sampai besok pagi tiap kali ingat kalau ada satu bagian dari diriku yang udah ngga bernapas. Rasanya sakit, kepalaku ngga bisa berhenti ribut, dadaku sakit, bahkan buat bernapas pun rasanya aku ngga bisa.”
Papa diam, telinganya masih terpasang lebar untuk mendengarkan semua yang Anin keluhkan. Genggamannya di tangan Anin masih tertaut, ibu jarinya bergerak mengelus permukaan kulit Anin perlahan, berusaha memastikan kalau puteri semata wayangnya itu dapat mendapat cukup kasih sayang walau dunianya hampir runtuh.
“Aku baru kemarin ngerasa kalau meski ngga punya Jeandra, aku bakal baik-baik aja. Kukira duniaku ngga akan hancur satu kali lagi karena aku punya mereka, kukira aku ngga akan sekacau ini lagi tapi ternyata yang terjadi bahkan jauh lebih kacau dari yang pernah kurasain.”
Napas Anin berantakan, tarikan dan hembusan udaranya terasa memberat dan membuat satu tangannya terangkat untuk merenyam bagian dada kirinya yang terasa semakin sesak. “Aku bukan ibu yang baik, Papa, aku gagal jadi ibu yang baik.”
Papa sontak menggeleng. “Jangan pernah nyalahin diri kamu sendiri karena kehilangan. Manusia ngga bisa mengendalikan takdir, kamu pun begitu. Kamu cuma manusia biasa, kamu ngga bisa mengendalikan semua hal, Nak. Berhenti nyalahin diri sendiri.”
Anin menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha sekuat tenaga menahan tangisan yang sebentar lagi pecah. Genggamannya di tangan Papa semakin erat, seolah dia gantungkan hidup dan matinya hanya di sana. Namun nyatanya, tangisan yang Anin larang untuk menganaksungai tidak dapat dia bendung terlalu lama sebab Papa membawanya ke dalam sebuah pelukan. Ditambah, Papa membisikkan kata maaf yang membuat Anin semakin tenggelam dalam sesak yang dia punya.
“Maaf karena jadi anak Papa bikin kamu harus terluka sebanyak ini. Maaf karena jadi anak Papa bikin kamu ngga bisa ngerasain gimana rasanya punya orangtua yang lengkap,” ucap Papa serupa lantunan elegi yang mengantarkan Anin terisak semakin keras.
“Maaf karena ngga memaksa kamu sedikit lebih keras sebelum menikah sama Jeandra, maaf karena Papa gagal melindungi kamu dari kekacauan. Maafin Papa karena dengan jadi anak Papa, kamu jadi harus menanggung sakit sebanyak ini.”
Maka detik itu, Anin tidak lagi dapat menahan diri. Lirihan dan rengekannya terdengar, seperti yang dulu dia lakukan tiap kali menangis, saat usianya masih bisa dihitung dengan jari. Tangisannya bukan lagi berupa lelehan air mata dan isak kecil dari bibir, tangisannya kali ini berupa suara isakan keras layaknya gadis kecil berusia lima tahun yang kehilangan mainan. Tautannya pada permukaan baju Papa terlampau erat, napasnya semakin berantakan.
Tangisannya berbeda dari yang tadi dia adukan pada Jeandra. Di depan Jean, Anin menangisi dirinya yang kehilangan. Tapi di depan Papa, Anin betul-betul mengadukan segalanya. Kehilangannya, rasa sakitnya, kegagalannya, kekacauannya, sampai kebingungan yang dia punya tersampai dalam satu bentuk tangisan dan cengkraman pada baju yang Papa gunakan. Tangisannya kali ini bukan hanya berasal dari seorang wanita yang baru saja kehilangan satu janin dari dalam dirinya, tapi juga dari seorang anak yang mengadu pada sang ayah soal betapa hancurnya dunia yang dia punya, soal betapa berantakannya hidup dan betapa dirinya kehilangan arah.
“Maaf karena kamu harus jadi anak Papa, ya. Maaf karena terlahir jadi anak Papa bikin kamu harus nangis sebanyak ini. Tapi kalau ada kesempatan buat kamu terlahir lagi di kehidupan selanjutnya, tolong tetap jadi anak Papa, ya? I'll do better than I have ever done.“
***
Satu jam.
Papa masih berada di sisi Anin sejak pertama kali dirinya masuk ke dalam ruangan. Anin sudah bisa menarik napas dengan normal, dadanya tak lagi sesesak tadi. Menangis sedikit membantunya mengurangi sakit yang bersarang di dada, setidaknya dadanya tak lagi sepenuh barusan. Kehadiran Papa membuatnya menemukan sedikit ketenangan, rasa takutnya tak lagi sebesar sebelumnya.
“Kamu ngobrolin apa sama Jeandra tadi?” Papa kembali membuka suara, jemarinya masih setia mengelus pelan permukaan kulit Anin yang berada di genggamannya.
“Banyak, dan aku yakin Papa ngga pengen tau.”
Papa tersenyum simpul. Kepalanya kembali memutar ingatan soal isi pesan Jeandra padanya satu setengah jam lalu, tepat sebelum Papa melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan.
“Papa ngga pengen tau, tapi sayangnya Papa udah tau.”
Anin memandang Papa bingung, matanya mengerjap beberapa kali.
“Jangan nyakitin diri kamu dalam bentuk apapun lagi, Sayang.”
Suara Papa terdengar pelan, namun Anin dapat mendengar kalimat itu dengan jelas. Dia mengerti maksud Papa dengan baik, namun Anin memilih untuk diam dan mendengarkan.
“Jangan melakukan apapun lagi yang berpotensi bikin kamu sakit lagi. Jangan cutting lagi, jangan kerja terlalu keras lagi, jangan terlalu banyak pikiran lagi, jangan telat makan lagi...dan jangan berurusan sama Jeandra lagi.”
“Papa—”
“Sejauh ini yang Papa lihat, alasan kamu cutting, alasan kamu banyak pikiran sampai telat makan, alasan kamu kerja terlalu keras biar ngga harus pulang terlalu cepat ke rumah dan liat suami kamu sama wanita lain itu cuma Jeandra. Dia sumber rasa sakit kamu, Nak. Jadi Papa mohon untuk menjauh dari apapun yang bisa bikin kamu sakit, terutama Jeandra.”
Anin diam, kontan kehilangan kemampuannya untuk mengolah kata. Dia menarik napas sepelan mungkin sebelum kembali dia buang dengan mata tertutup. Anin memaku tatap pada presensi Papa yang sejujurnya terlihat berantakan. Rambutnya tak serapi biasanya, kemejanya tak terkancing hingga bagian paling atas, lingkaran hitam menghiasi sekitar matanya, serta bibir pucat yang menandakan kalau Papa kemungkinan besar belum sempat memakan apapun sejak pagi.
“Do you trust me?” tanya Anin.
“I did.“
“And now you don't trust me anymore, do you?“
Papa mengangguk pelan. “Papa pernah menaruh kepercayaan besar ke kamu waktu kamu menikah. Kamu janji bakal selalu bahagia, but you end up being here in this hospital. Papa ngga bisa percaya kamu lagi.”
Anin menggigit bibir, merasa terhenyak saat mendengar bagaimana Papa kehilangan kepercayaan padanya karena janji yang tidak dapat dia pegang. Namun mengingat kalau dia punya satu orang lagi yang harus dia beri janji untuk bahagia, Anin belum mau menyerah.
“Aku mau Jean tetap sama aku selama enam bulan ke depan, setelahnya baru aku ajuin cerai.”
Papa terlihat enggan mendengarkan, namun Anin tidak ingin menyerah. “Papa, anak ini ada karena kami aku pernah percaya kalau jean bisa jadi ayah yang baik buat dia—”
“Dan kenyataannya dia ngga bisa jadi ayah dan suami yang baik.”
“I know. Tapi merenggut kesempatan anakku buat punya cerita yang baik soal ayahnya juga bakal bikin aku jadi ibu yang lebih buruk dari ini. Jadi biarin aku ambil kesempatan itu biar nanti aku bisa menikmati satu sore sama anakku, waktu dimana kami duduk dan usia dia udah cukup untuk paham ceritaku soal ayahnya yang siap siaga jagain dia pas dia masih di dalam kandungan. Let me do that with him, biar nantinya aku bisa cerita sama anakku kalau dia selalu disayang sama semua orang termasuk ayahnya.”
Suara Anin terdengar serak di ujung kalimatnya. Hal itu membuat Papa menahan napas, dadanya terasa seperti diremat kuat ketika mendapati kedua tangan Anin sampai bergetar saat kalimat itu tersampaikan.
“Cuma enam bulan, Pa. Tolong percaya sama aku lagi, satu kali ini aja.”
Lalu pada akhirnya, yang bisa Papa lakukan hanyalah mengangguk memberi persetujuan. Pada akhirnya, yang bisa Papa berikan hanya sebuah rasa percaya. Meski tetap terselip keraguan sebesar sebongkah batu, tapi Papa memilih untuk mempercayai Anin sekali lagi. Hanya satu kali ini.
-