Dari Anindia; Bagian Satu

Saya kira, waktu rasa sesak menyerbu dada saya, memukul bagian itu adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Ketika saya larikan kepalan tangan kanan menuju dada sebelah kiri tempat jantung berada, pukulan pelan mulai saya layangkan di sana.

Pelan, yang kemudian berubah jadi brutal seiring rasa sesak yang tak kunjung hilang.

Rasanya, semua beban dan rasa sakit yang saya coba sembunyikan seharian ini dalam sekejap berebut untuk keluar, seperti menyerobot tanpa ampun untuk memberi diri ini pelajaran bertubi-tubi.

Erangan bahkan keluar dari bibir saya, kedua mata saya terpejam menahan sakit. Terakhir kali saya seperti ini, itu adalah tiga tahun lalu saat mama dan papa berpisah. Rasa sakitnya sama, terlalu nyata dan persis seperti yang tiga tahun lalu saya rasakan.

“Mama dan Papa ngga bisa sama-sama lagi.”

Hari itu rasanya dunia saya runtuh.

Itu hari pertama saya menerima gelar sebagai dokter spesialis, dan semua bangga yang menumpuk dan saya tahan sepanjang siang hanya agar bisa saya pamerkan di depan mama dan papa, seketika layu dan gugur, berganti dengan linglung dan bingung yang menguasai.

Seingat saya, di hari yang sama juga, ada sosok lain yang menyumbang rasa sakit pada saya. Dalam ingatan, laki-laki itu berdiri di hadapan saya, tingginya menjulang sampai saya harus menaikkan kepala agar bisa bertatapan langsung.

Hari itu, saat jantung saya sudah serasa diremas akibat kabar berpisahnya mama dan papa, lelaki itu ikut menyumbang rasa sakit lain dengan sebuah kalimat.

“Setelah hari ini, lupain semua rencana yang kita pernah punya. Setelah hari ini, lupain semua rasa yang pernah kamu tumpuk buat aku. Setelah hari ini, kata kita ngga akan berlaku lagi. Setelah hari ini, besok, atau kapanpun, tolong jangan ingat kalau kita pernah punya janji buat selalu sama-sama, Anindia. Jangan pernah ingat.”

Benar saja, setelah hari itu bahkan sampai hari ini, saya berusaha lupa soal apa yang kami punya tiga tahun lalu.

Walaupun saya ingat, saya pura-pura lupa, saya bersikap seakan tiga tahun lalu, saya dan dia tidak pernah sekalipun terlibat satu hal.

Hari itu, bahkan sampai hari ini, ternyata sosok itu tetap menjadi penyumbang rasa sakit paling besar yang pernah saya punya.

-