Day 40 of 180 days

CW // Kiss

“Udah selesai?”

Anin menoleh saat pertanyaan itu terlempar kepadanya. Di sana, Jeandra berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang bersandar dan kedua tangan saling menyilang di depan dada. Sejenak memperhatikan Jean yang terlihat santai mengenakan kaos berlengan panjang berwarna coklat dan celana bahan berwarna hitam, Anin kembali memusatkan perhatiannya pada cermin di depan. Matanya mengamati warna merah muda yang baru saja terpoles di bibir tipisnya, memastikan riasan yang dia gunakan tidak berantakan dan gaun yang membalut tubuhnya telah terpasang dengan benar.

How do I look, Je?” tanya Anin sembari merapikan ujung gaunnya yang sedikit terlipat. Wanita itu kemudian berdiri dan sedikit berputar, bermaksud menunjukkan penampilannya pada Jean dan mengharapkan komentar.

You look absolutely stunning, trust me.” Jean berkomentar dengan tulus. Senyum simpul terpatri di bibirnya, matanya memperhatikan Anin dari kepala hingga kaki dan memuji sosok mungil di depannya itu habis-habisan dalam hati.

“Beneran? Bibirku kemerahan ngga? Terus rambutku bagusnya disanggul begini atau harusnya diurai aja?”

Jean menggeleng. “Kamu udah cantik, serius. Kamu mau diapain juga masih cantik, Anin.”

Anin tertawa karena pujian itu. Terutama ketika mendapati kepalanya langsung memutar pujian-pujian yang dulu sering Jean lemparkan untuknya. Kalimat-kalimat itu terdengar sama, Jeandra selalu terdengar tulus saat memujinya. Baik dulu maupun sekarang, lelaki itu masih selalu terdengar tulus dan kelewat mengaguminya tiap kali Anin bertanya soal penampilan.

You sound exactly like my boyfriend three years ago,” ucap Anin masih dengan tawa yang terberai.

Jean mengerutkan dahi, namun sedetik kemudian tawa lepas keluar dari lelaki itu ketika menyadari maksud dari kalimat yang Anin ucapkan.

Really? He sounds like a good man, isn't he?

Anin menghentikan gelaknya. Kepalanya tertunduk, kemudian seutas senyum kecil muncul di wajah sebelum kemudian dia putuskan untuk mengangguk. “He's indeed a good man. Dari dulu sampai sekarang, dia masih orang baik. He just lost his self for a while that we had to break up, but he's indeed a good man.

Gelak tawa betul-betul hilang dari wajah Jean ketika kalimat itu terlantun. Telinganya memerah, mungkin merasa malu dan merasa dirinya tak pantas menerima kenyataan kalau Anindia menyebutnya sebagai orang yang baik. Ada sesak yang menghujam bagian dadanya ketika mendapati senyum simpul yang Anin berikan seiring dengan kalimatnya yang telah usai.

He's indeed a good man, begitu kata Anindia.

Ada retak yang terdengar jelas datang dari dalam dirinya ketika sepenuhnya sadar kalau yang menjadi topik pembahasan adalah dirinya sendiri. Bagi Anindia, Jeandra ini ternyata masih orang baik, dadanya seakan ditikam oleh benda runcing ketika sadar kalau masih ada bagian dari dirinya yang bisa dianggap baik oleh orang lain, dan orang itu adalah Anin.

“Ayo berangkat, takut nanti di jalan macet dan dokternya lama nunggu.”

Lamunan Jean buyar ketika Anin berjalan mendahuluinya keluar kamar. Jean tersentak, namun dengan cepat dapat menguasai diri agar bisa segera menyusul Anin menuju mobil miliknya.

Hingga hampir setengah jam kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah terparkir rapi di depan gedung rumah sakit yang selama tiga bulan ini selalu menjadi tempat Anin memeriksa kondisi janinnya. Jean turun terlebih dahulu, lelaki itu kemudian berlari kecil memutari mobil dan membantu Anin turun.

Saat kemudian tangan keduanya tertaut tanpa satu pun dari mereka sadari, Jean mendapati kalau telapak tangan Anin basah oleh keringat.

“Gugup?” tanya Jean seiring langkah mereka menuju bagian dalam bangunan.

Anin mengangguk, sama sekali tidak berusaha menyembunyikan ketakutan yang membayanginya sejak tadi malam. Pemeriksaan kali ini memang bukan yang pertama kali bagi Anin. Tiga bulan sebelumnya, Anin sudah rutin pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatan kandungannya dengan ditemani oleh sang Papa. Namun yang kali ini adalah pertama setelah insiden satu bayinya meninggal dan fakta itu membuat Anin ketakutan.

Saat ingatannya kembali memutar kejadian berminggu-minggu lalu itu, Anin sontak berhenti berjalan.

What if we lost another baby?” tanyanya dengan nada bergetar.

Genggaman Jean di tangan Anin secara otomatis semakin erat. Dia biarkan Anin menjadikan tangannya sebagai pelampiasan atas rasa takut dan resah yang wanita itu rasakan. Jean bisa memahami yang Anin takutkan, mereka sama-sama kehilangan.

“Itu sebabnya kita check up hari ini, biar kita tau keadaan dia di dalam sana. Kalau pun ada yang salah, kita bisa mencegah dari sekarang. Jangan terlalu khawatir. Kalau kamu stres, dia juga ikut stres. Everything's gonna be alright, trust me.

Kalimat Jean sedikit bisa membantu Anin mengurangi rasa tegang. Debar jantungnya tak lagi menggila, meski rematan Anin di tangan Jean masih berlangsung sampai saat kaki mereka sudah menapak bagian depan ruangan dokter yang biasa dia kunjungi.

Jean melirik sosok di sampingnya sekilas. Kemudian tanpa kata, dia menarik Anin ke dalam rengkuhan. Satu tangannya tenggelam di helai rambut Anin, satu lagi Jean tempatkan di punggung kecil istrinya dan dia gerakkan tangannya naik-turun perlahan. Jean harap, gerakan yang dia lakukan dapat membantu Anin membagi ketakutannya.

It's okay, we're gonna be okay.” Kalimat itu Jean ucapkan berkali-kali. Tangan kirinya terus mengusap rambut Anin, dagunya dia tumpukan di atas puncak kepala Anin.

Di tengah rengkuhan yang mereka bagi, Anin menghela napas berulang-ulang. Kakinya masih bergetar, namun Jean berhasil membantunya tetap berdiri tegap dan membuat tubuhnya tidak tumbang ke lantai. Kedua tangannya terasa dingin, namun pelukan yang Jean beri secara sukarela itu membuatnya bisa mengendalikan diri. Setidaknya, Anin tidak harus menghadapi ketakutannya sendiri. Jeandra ada di sana, di sisinya.

“Kalau kamu belum siap, aku bisa minta maaf ke dokternya dan atur ulang jadwal buat besok. Don't rush yourself, Boo, take your time.

Pelukan antara dua anak manusia itu semakin erat. Jean bahkan tanpa sadar menyematkan panggilan lama yang dulu selalu dia pakai untuk Anin. Kedua mata Anindia terpejam, sebelum kemudian dia lepaskan rengkuhan Jean dari tubuhnya.

“Ayo masuk,” putus Anin akhirnya.

Jean memandangnya ragu.

“Hari ini jenis kelaminnya bakal bisa dilihat, aku mau lihat bayiku.” Anin berusaha meyakinkan lelaki di depannya kalau rasa takutnya sudah separuh menghilang. Jean menghela napas pelan, sebelum kemudian dia mengambil langkah mendahului Anin memasuki ruangan. Di dalam sana, seorang dokter berusia sekitar 40 tahunan menyambut mereka dengan senyum sumringah.

Let's do this together, you and me.

Kalimat itu menjadi penutup sebelum sesi pemeriksaan dimulai. Jean mendengarkan dengan seksama, telinganya terpasang lebar tanpa sedikit pun melewatkan penjelasan dari sang dokter mengenai kondisi anin dan calon bayinya.

“Beruntungnya, Bu Anin punya daya tahan tubuh yang bagus dan hal ini mendukung proses pemulihan untuk ibu dan bayi yang satunya. Keguguran salah satu janin kembar di usia kandungan 12 minggu seperti yang dialami Bu Anin ini membuat tindakan yang bisa diambil hanya beberapa terapi, perbaikan nutrisi sang ibu dan cek kesehatan rutin, jadi sekarang ngga ada yang perlu dikhawatirkan. Bu Anin hanya harus istirahat dan makan yang teratur sampai bulan ke sembilan nanti.”

Baik Jean dan Anin baru bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasan itu. Jean yang pada awalnya berusaha menyembunyikan ketegangan dari wajahnya, kini sudah bisa memejamkan mata penuh syukur.

Anin memperhatikan hal itu dalam diam. Matanya mengawasi setiap perubahan ekspresi Jean tiap kali informasi diberikan oleh dokter, Anin juga menyadari kalau sejak mendudukkan diri di ruangan ini, kedua kaki Jean sama sekali tidak dapat berhenti bergerak. Lelaki itu sama takutnya dengan Anin, Jeandra sama cemasnya dengan dirinya.

And there you go, that's your little princess on the screen.

Wanita berusia 40 tahunan itu menunjuk layar di depan sembari tangannya terus bergerak meletakkan alat yang digenggamnya di atas kulit Anin. Di sana, Jean bisa melihat bagaimana janin mungil itu bergerak di dalam perut Anin. Tanpa Jean sadari, rasa panas mulai merambati mata.

She's amazing,” katanya mengungkapkan rasa kagum dengan suara bergetar.

Dadanya seolah membengkak dan siap untuk meledak. Jean merasa seolah ada rasa membuncah yang siap mampir menyusup ke dalam dirinya saat matanya menyapa tampilan makhluk kecil itu bergerak di dalam sana meski secara tidak langsung. Bayinya ada di sana, buah hatinya ada di sana, sehat dan terus bertumbuh kembang.

Rasa panas di kedua matanya terus menguasai. Sampai Jean harus memalingkan wajah dan menarik napas sedalam yang dia bisa, berusaha mengendalikan diri agar tak ada air mata yang jatuh dan membuatnya runtuh di depan Anin.

Sedangkan Anin sendiri sudah tidak dapay menahan diri. Air matanya jatuh tanpa bisa dikendalikan. Wajahnya basah, matanya terus menyaksikan layar di depannya dengan decak kagum yang tak lagi dapat disembunyikan.

Hingga selang 15 menit kemudian, pemeriksaan selesai dan dua manusia itu sudah berjalan berdampingan menuju lahan parkir rumah sakit. Segalanya berjalan lancar, ketakutan mereka tidak terbukti.

Jean bergerak menuju kursi penumpang dan membantu Anin untuk masuk ke dalam. Satu tangannya berada di bagian atas tempat Anin memasuki mobil, melindungi kemungkinan Anindia akan terbentur bagian keras itu ketika menunduk masuk. Kemudian, Jean berlari masuk ke tempatnya sendiri. Namun setelah sabuk pengaman terpasang, kendaraan beroda empat itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berjalan.

“Kita nunggu apa?” tanya Anin penasaran.

Jean menoleh. Pandangannya lurus menatap Anin yang wajahnya masih menyisakan bekas tangisan. Perlahan, Jean mengulurkan tangan ke arah wajah cantik di depannya itu. Ibu jarinya menyeka bekas tangisan Anin yang masih menyisakan bekas di pipi. Lalu tanpa Anin duga, Jean menangkup wajahnya dengan gerakan lembut dan jemari lelaki itu menyentuhnya dengan gerakan teramat pelan. Gerakannya teramat berhati-hati seolah Anin adalah kaca yang mudah pecah, seolah menyentuh Anin dengan gerakan yang sembrono dapat membuat wanita itu hancur menjadi butiran debu.

Kemudian di tengah kesenyapan yang merayap, Jeandra melepas sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya dan maju ke depan. Perlahan namun pasti, lelaki itu menghadiahkan sebuah kecupan manis di dahi Anin.

Thank you so much,” ucapnya di sela kecupan yang dia berikan.

Anin memejamkan mata, netranya kembali memanas. Terutama ketika Jean bergerak menghadiahkan satu kecupan lain di dahinya, detik itu Anin dapat memastikan kalau seluruh tubuhnya lemas dan seolah kehilangan tumpuan.

Kemudian, satu kecupan lagi di pipi kanan.

Satu lagi di pipi kiri.

Satu di ujung hidung.

Namun ketika Jean hendak membubuhkan kecupan di bibirnya, Jean berhenti. Lelaki itu mematung dengan napas memburu. Anin memejamkan mata semakin erat, jantungnya bergema berisik.

May I kiss you?” tanya Jean meminta izin. Anin diam. Jantungnya bertalu keras sampai Anin sendiri yakin kalau Jean mampu mendengar suara itu dari dadanya.

“Aku ngga akan ambil kesempatan kalau kamu ngga kasih izin, Sayang.”

Kalimat itu.

Kalimat itu menjadi akhir dari pertahanan Anin. Kepalanya mengangguk pelan dan dalam hitungan detik, ranum milik mereka sudah menyatu. Jeandra mengecup ringan bibir Anin, memberikan ciuman kupu-kupu di sana sebelum memperdalam pagutan dan memberi hisapan halus.

Kedua tangan Anin meremat bagian depan baju yang Jean pakai, melampiaskan keresahan dan segala yang dia temukan di dalam dada dengan cara menggenggam baju Jean hingga membuat kain itu berantakan.

Pagutan yang Jean berikan semakin dalam. Satu tangannya berada di punggung Anin, bergerak mengelus bagian sana demi memberi ketenangan dan rasa aman bagi tubuh mungil di kungkungannya itu.

Sampai saat pasokan udara sudah mulai menipis, Jean melepaskan ciuman mereka. Napas Anin berantakan, wajah cantiknya memerah bak kelopak bunga mawar.

Thank you, thank you so much.” Jean menarik Anin ke dalam pelukannya. Wajahnya tenggelam di ceruk leher Anin. Dia hirup wangi tubuh Anin seolah menggantungkan hidup melalui aroma vanila yang selalu membuatnya tersesat itu, seolah Jean tak akan pernah bisa melanjutkan sisa jalan yang dia ambil seumur hidup jika tak menemukan aroma itu.

Anindia membuatnya kehilangan akal. Anindia membuat kewarasannya menghilang tak tentu arah. Anindia membuatnya kesulitan bernapas hingga Jean sendiri kebingungan mengais udara.

Hari itu, Laksamana Jeandra Galuhpati lagi-lagi dibuat jatuh terperosok oleh sosok yang sama. Sebab pada akhirnya, meski sudah berusaha menemukan jalan untuk kabur dari segala hal tentang Anindia, Jean tetap saja kalah.

Sebab kalau sudah perkara Anindia, Jean selalu kalah. Dia selalu kalah telak.

-