Dokter Itu, Namanya Anindia

Waktu kedua kakinya memijak di lantai rumah sakit, Anindia kembali mempertanyakan sesuatu pada dirinya.

Bahwa yang terjadi di antara dirinya dan Jeandra adalah hasil dari takdir yang diundi, teracak dan berputar berkali-kali hingga akhirnya menjatuhkan namanya dan Jeandra dalam satu wadah. Harusnya begitu, kedua nama yang teracak itu ditempatkan dalam satu takdir yang sama, bersua dalam kisah yang penuh gembira.

Tapi tampaknya, tuas pengacak tak sengaja terputar kembali. Hingga satu gulungan nama yang tak diundang terjatuh ke dalam wadah mereka, dan membuat segala hal berubah. Takdirnya, yang ia harapkan hanya akan tercetak satu di wadah bersama Jeandra, ternyata harus tercampur oleh satu nama tak diundang.

Atau malah sebaliknya?

Atau malah sebetulnya, nama Karinina dan Jeandra sebetulnya berada di dalam satu wadah dan dirinyalah nama yang terjatuh tanpa diundang itu.

Anindia kembali gamang.

Tepat dua hari setelah pernikahannya, hari yang seharusnya masih dia pakai bersama Jeandra atas nama cuti pernikahan, ia abaikan hadirnya. Kakinya kembali memijak lantai rumah sakit, melangkah ragu dengan jas putih tersampir di kedua pundak. Tangannya menggenggam kartu nama bertali merah di kanan, sedangkan yang satu lagi tengah sibuk meremat ujung blus yang dia gunakan, mencoba mengalihkan rasa gelisah sebab tatapan yang dia terima.

“Loh, Dokter Anin bukannya masih ada waktu tiga hari lagi cutinya?”

Fuck, pertanyaan itu lagi.

Anindia memaksakan senyum, matanya menatap teduh pada sosok dokter peserta koas yang menemukannya tengah berjalan mengendap memasuki lobi utama lantai dasar.

“Saya masuk duluan, banyak laporan belum selesai.”

Setelahnya, kata pamit menjadi yang paling cepat dia ucapkan. Kakinya ia bawa menuju ruangan, tangannya memutar gagang pintu dengan tergesa setelah sempat panik menekan tombol-tombol sandi. Saat tubuhnya sudah sepenuhnya masuk, punggungnya tersandar di pintu.

Maka di detik itulah, kala matanya menangkap goresan tinta kelewat tebal di sebuah tanda pengenal kayu yang terpajang kokoh di meja kebesarannya, Anindia menjatuhkan diri.

dr. Catradewi R. Anindia, Sp.EM.

Nama itu, nama yang dia junjung setinggi langit, terasa tak memiliki harga kala mengingat rumah tangga yang dia dan Jeandra bina. Nama itu, nama yang membesarkannya sejak bertahun-tahun lalu, seakan tengah melontarkan ejekan frontal di depan wajahnya, menyinggung soal pernikahan yang dia impikan dan kenyataan yang tersuguh di depan mata.

Tapi saat bulir bening hendak jatuh dari kedua iris cokelatnya, suara sirine di sudut ruangan membuatnya mengurungkan tangis. Kakinya dengan sigap bangkit, dan semua ratap mengenai takdir yang tadi tersuguh kembali menguap.

Anindia, yang bermenit-menit sebelumnya sempat menjadi sosok lemah nan kehilangan arah, kembali melangkah menjadi sosok dirinya yang biasa.

Berlari keluar ruangan dan menghampiri sosok tubuh yang teronggok penuh luka. Stetoskopnya terpasang di telinga, tangannya mulai beraksi seakan hafal di luar kepala.

“Pendarahan mayor di kepala depan, kemungkinan terbentur kemudi waktu terjadi kecelakaan. Saturasi oksigen 80%, Dokter.”

Pesan itu membuatnya kembali membuang wajah Jeandra di kepalanya. Kakinya ikut berlari, mencoba membuka jalan bagi ranjang pasien yang tengah di dorong. Hingga dalam jarak dekat menemukan pintu Unit Gawat Darurat terbuka lebar.

Saat itu, tak ada lagi bayangan Jeandra yang muncul. Sebab sekarang, Anindia tengah kembali menjadi dirinya, dan tak ada celah bagi Jeandra untuk membuatnya terdistraksi pada keadaan dimana semua orang, menatapnya penuh harap dan bertumpu pada perannya.

Tak ada lagi Jeandra, tak ada lagi pikiran soal Karinina. Yang ada, hanya Anindia yang mulai melakukan pekerjaannya saat pintu tertutup dan lampu merah di luar ruangan menyala.