Everything, Literally Everything

Warning // Narasi di bawah ini mungkin dapat men-trigger beberapa orang. Please be wise, the whole story will be so tiring. Jadi silakan kembali kalau merasa sudah cukup stabil.

3800+ words

Waktu tangan kanannya meraih gagang pintu kafe, Anin sempat berpikir untuk memutar tubuh dan kembali ke mobil. Kedua kakinya bergetar, seakan semua tulang dan sendi yang bertugas menyokong tubuh mungil itu agar tetap berdiri tegak dalam sekejap kehilangan kekuatan. Anin sempat ragu kalau keputusannya hari ini adalah jalan yang tepat untuk diambil, terutama ketika kepalanya kembali memutar ingatan soal bagaimana bencinya Jeandra pada sosok yang akan dia temui sesaat lagi.

Berada dalam satu jangkauan bersama Jeandra selama umur pernikahan mereka membuat Anin memahami satu hal; bahwa hubungan antara ayah dan anak itu jauh dari kata baik. Seolah hanya ada nama “Ibun” di kepala calon mantan suaminya itu dan kata “Ayah” sama sekali tidak punya eksistensi di dalam hidup Jean. Selama pernikahan, Anin berusaha memahami hal itu, dia kira mungkin ada sesuatu yang tidak boleh dia ketahui sebab mau bagaimanapun, Jean dan urusan keluarganya tidak bisa menjadi sesuatu yang secara bebas diketahui. Jean mungkin ingin menyimpan cerita keluarganya untuk diri sendiri dan Anin berusaha mengerti itu, menahan diri agar tidak sampai melewati batas dan malah membuat Jean merasa privasinya diganggu.

Namun kesadaran menghantam, Anin yang awalnya sama sekali tidak punya niat untuk melibatkan diri lebih jauh dengan rahasia yang Jeandra tutup rapat itu, kini tengah berdiri dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ada sesuatu yang terlewat olehnya. Ada cerita yang secara sengaja disembunyikan darinya dan membuatnya terjebak dalam situasi rumit yang membingungkan. Ada bagian dari cerita perpisahannya dan Jean di masa lalu yang entah bagaimana caranya, dia yakini berhubungan erat dengan kebencian yang Jean pupuk tiap hari untuk sang ayah.

”Aku berusaha melindungi Ibun,” kalimat yang suatu hari Jeandra katakan dalam keadaan setengah sadar kembali menghantam Anin. Sejak kalimat itu dia baca melalui pesan yang Jean kirimkan, Anin sadar kalau ada yang dia lewatkan selama bertahun-tahun.

Perpisahan mereka, kehadiran Karin, kebencian Jean untuk ayahnya, berpisahnya Ibun dan Ayah yang sama sekali tidak dia ketahui kapan dan apa alasannya, kehadiran Aksara, dan segala situasi aneh yang terjadi, rasanya terlalu banyak jika hanya didasari oleh sebuah kebetulan.

Tiga tahun lalu ketika kata pisah terdengar pertama kali melalui sambungan telepon dan pelakunya adalah Jeandra, Anin menyalahkan diri sendiri. Dia kira Jeandra muak dengan dirinya yang penuh kekurangan, dia kira Jeandra pada akhirnya menyerah dengan Anindia yang kaku dan terlalu banyak diam, dia kira Jeandra lelah menghadapinya yang serba cacat.

Anin kira Jean meninggalkannya murni atas dasar kesalahan yang ada pada dirinya, tapi jika mengingat kembali bagaimana mereka masih baik-baik saja sebelum kata pisah terucap, Anin mulai menyadari kalau segalanya terjadi terlalu tiba-tiba. Jean masih mengantarnya di pagi hari, mereka masih berbagi rengkuhan di hari sebelumnya, mereka baik-baik saja. Mendadak, Anin merasa kalau ada yang harus diluruskan dari masa lalu, berpisah dalam satu hari padahal segala hal terasa benar di hari sebelumnya sekarang tidak dapat diterima oleh logikanya.

Kehadiran Karin juga pada awalnya hanya sebatas angin lalu bagi Anin. Di hari pertama pernikahan mereka tepat setelah mengucap janji di atas altar, Anin melihat langsung Jeandra yang memeluk Karin di suduh ruangan sepi ketika upacara usai dan semua tamu telah berada di luar. Mulanya, Anin memaklumi perubahan sikap Jean dan merasa menemukan jawaban soal berakhirnya hubungan mereka dulu. Jeandra punya Karin, lelaki itu meninggalkan Anin karena menemukan seseorang yang dia anggap jauh lebih baik daripada Anin, itu yang dia yakini pada awal pernikahan.

Sampai kemudian, Anin mendapati fakta kalau Jean dan Karin baru resmi menjalin hubungan satu tahun setelah Jean meninggalkannya. Rentang waktunya terasa terlalu jauh untuk ukuran seseorang yang pergi karena jatuh cinta lagi, jarak waktunya terasa terlalu janggal untuk ukuran seseorang yang memilih untuk mengakhiri hubungan karena menemukan orang baru. Kehadiran Karin yang dulu Anin anggap sebagai sebuah kebetulan kini terasa terlalu janggal jika ia lewatkan.

Lalu kebencian yang sebelumnya belum pernah Anin lihat ada di mata Jean untuk ayahnya, yang satu ini terasa aneh. Anin sama sekali tidak punya petunjuk soal sorot benci dan muak yang Jean berikan tiap kali nama ayahnya disebut, sebab seingatnya, Jean amat mengagungkan sosok yang kini tampak menjadi musuh besar dalam hidup lelaki itu. Dulu, Anin bisa menjamin kalau Ayah berkontribusi besar dalam perjalanan Jean selama bertahun-tahun, selalu ada sorot penuh puja dan kagum yang Jean siratkan tiap kali menceritakan bagaimana Ayah mengenalkannya pada dunia bisnis atau saat menceritakan soal bagaimana Ayah memperlakukan Ibun layaknya ratu. Anin pikir, kebencian yang sekarang menguar terasa amat asing dan membuat Anin kebingungan. Perceraian orangtua Jean bahkan sama sekali tidak Anin duga, dua orang itu selalu terlihat mesra layaknya pasangan lainnya.

Well, ketika mendengar kalau orangtua Jean sudah lama bercerai sebetulnya tidak terlalu membuat Anin terkejut. Orangtuanya juga bercerai, yang sayangnya terjadi di hari yang sama dengan Jeandra yang meninggalkannya. Dua orang bisa terlihat baik-baik saja, hidup tanpa masalah dan tak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dengan kata pisah. Namun siapa yang tahu? Orangtuanya sendiri selalu terlihat baik dan tak pernah terlihat bertengkar di hadapannya, sebelum kemudian segalanya berubah dan Anin akhirnya tahu kalau dua orang itu selalu beradu argumen ketika dia tidak sedang di rumah. Pengalaman satu itu membuat Anin paham kalau hal yang sama juga sangat wajar terjadi pada orangtua Jean.

Tapi masalahnya, Anin tidak tahu kapan hal itu terjadi. Demi Tuhan, Anin paham kalau bukan ranahnya untuk mencampuri urusan Jean dan keluarganya. Namun semakin hari, Anin semakin merasa kalau ada sesuatu yang salah dengan masa lalu mereka. Segala hal seperti terhubung, termasuk kehadiran Aksara. Lelaki itu mengenal Jean, entah dimana dan kapan perkenalan mereka di mulai. Namun tensi tegang yang hadir tiap kali Aksara dan Jean bertemu membuat Anin semakin ingin menerka-nerka soal apa yang sebetulnya ia lewatkan. Aksara juga pernah tanpa sengaja membocorkan satu fakta padanya, walau setelahnya si dokter itu berpura-pura batuk dan mengalihkan pembahasan.

I thought that Jeandra’s mom wouldn’t be alive since I saw how terrible her condition was that day.” Itu yang Aksa katakan tanpa sengaja ketika dia dan lelaki itu melihat Ibun di pusat perbelanjaan satu bulan yang lalu.

Pikiran-pikiran itu membuat kepalanya mendadak terasa sakit, kemudian keram dan rasa kaku menyerang perut bagian bawahnya dan membuat Anin harus mencengkram bagian itu dengan erat. Napasnya seketika berantakan, jantungnya bertalu ribut. Anin benar-benar hampir kehilangan kesadaran namun dia tahan dirinya sendiri agar tidak tumbang. Dia pejamkan kedua mata dan lalu mencoba untuk menarik napas sepelan mungkin, berharap rasa tidak nyaman yang membuatnya ingin muntah saat ini segera pergi sebab ada yang lebih penting untuk diurus.

Butuh waktu setidaknya dua menit bagi Anindia untuk mempersiapkan diri, terlebih ketika matanya menangkap lambaian dari dalam kafe yang berasal dari sosok yang menunggunya sejak tadi. Anin membalas lambaian itu dengan senyum yang ia paksakan dan tangannya yang terangkat ringan ke atas. Dalam satu tarikan napas, Anin selesai dengan urusan meyakinkan diri bahwa semua yang terjadi butuh jawaban dan hari ini adalah waktunya. Kakinya ia bawa masuk ke dalam bangunan dengan tema modern itu, dan dalam sesaat tubuhnya sudah duduk di hadapan Ayah. Mertuanya itu terlihat lebih acak-acakan dari terakhir kali mereka bertemu.

“Apa kabar, Nak?” sapa Ayah ketika mata mereka bertemu.

Everything’s good,” jawab Anin.

Detik berikutnya, hening menjadi penguasa. Anin bingung harus memulai dari mana, matanya menyapu satu persatu benda di atas meja yang mereka tempati, berusaha mencari pengalih dari tatapan yang terlihat lelah dari mata teduh itu.

I bet you have so many questions in your mind right now,” kata Ayah mencairkan kesenyapan di antara mereka. Anin meneguk ludah, kedua tangannya terasa semakin dingin dan berkeringat heboh. Kepalanya mengangguk ragu, tidak yakin bahwa dirinya sendiri siap mengajukan pertanyaan dan mendengar jawaban yang ingin dia dengar. “Go ahead, kamu boleh tanya apapun yang mau kamu ketahui soal Jeandra.”

Anin menahan napas sejenak, dalam sekejap semua pertanyaan yang selama ini terpendam di ruang sempit pikirannya menguar saling berebut untuk keluar. Banyak, terlalu banyak yang ingin gali informasinya sampai dia sendiri tidak bisa menguraikan semua pertanyaan itu ke dalam kalimat yang benar.

“Semuanya, aku mau tau semuanya.” Anin pada akhirnya menyerahkan pembuka diskusi pada lelaki di hadapannya. Apapun yang akan keluar dari bibir pucat lelaki itu, Anin mempersiapkan diri agar bisa menerima dan memproses kata demi kata dalam kepalanya.

Ayah mengangguk, sejenak berdiam diri dan menarik napas panjang. Tarikan napasnya membuat tubuh Anin ikut menegang dan kedua tangannya semakin terasa dingin. Ayah menatap tepat ke kedua netra bulat Anin, seolah ingin menyampaikan berbagai jenis emosi melalui tatapannya yang terlihat kelelahan dan sayu.

“Meninggalkan kamu tiga tahun lalu itu adalah kiamat buat Jeandra.”

Hening.

Sebelum kemudian sesak menguliti seluruh bagian ulu hati Anin secara mendadak. Napasnya tertahan, pening kembali membuat Anin harus mencengkram tangannya sendiri kelewat erat sambil merapal dalam hati, berdoa agar dirinya diberi sedikit saja kekuatan untuk mendengar hingga akhir.

“Saya selingkuh, Anin. Saya dan Ibun-nya Jean berpisah karena saya yang selingkuh,” lanjut Ayah.

Anin memejamkan mata, panas dan perih seketika memaksa kedua irisnya untuk menerjunkan bulir bening dan menangis. Entah karena kalimat pertama yang Ayah sampaikan, atau karena fakta kalau Jean mengalami rasa sakit yang sama dengannya ternyata masih saja membuat Anin lemah.

“Hari sebelumnya sebelum semua hal berubah, saya pulang larut malam. As you can guess, saya bermalam di rumah wanita yang jadi simpanan saya. Ibun tau entah dari mana dan di pagi harinya, dia datang ke tempat saya menginap dengan wanita itu dan kami berakhir adu mulut.”

Ayah tampak menunduk dalam dan mengepalkan kedua tangan, suaranya mulai terdengar bergetar dan dalam sekejap, Anin paham kalau kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir lelaki itu akan lebih menyakitkan daripada sebelumnya.

“Saya yang marah dan merasa harga diri saya tergores langsung membawa selingkuhan saya keluar dari sana dan berniat pergi ke tempat lain. I took her out by car dengan kecepatan gila-gilaan karena saya ngga mau diikuti sama dia. Tapi yang saya ngga tau, Ibun-nya Jean ternyata menyempatkan diri menyusul mobil saya. She wasn’t a good driver, dia baru dua kali belajar pakai mobil dan karena saya, dia nyetir mobil tanpa basa-basi hari itu.”

Kalimat itu belum selesai, tapi Anin sudah merasa bahwa telinganya berdenging hebat.

“Semuanya terjadi secepat kilat, dalam satu menit saya dengar ledakan dari arah belakang dan it turned out that she crushed another car. Polisi bilang dia kemungkinan berusaha nyalip kendaraan lain tapi ngga liat kalau ada mobil lain dan satu truk yang beriringan dari arah berlawanan. It was a terrible accident, Ibun-nya Jean langsung dibawa ke rumah sakit and I thought that we lost her since her condition was very terrible.

Kepala Anin kembali memutar kalimat yang pernah Aksa katakan padanya. “I thought that Jeandra’s mom wouldn’t be alive since I saw how terrible her condition was that day.” Anin mulai bisa menyatukan keping demi keping kejadian yang dia lewatkan, dan hal itu membuat jantungnya semakin bertalu kencang.

“Ada luka mayor di bagian kepala yang membuat dia mengalami Retrograde Amnesia. Kamu dokter, saya yakin kamu sendiri tau apa artinya. Singkatnya, the accident that day made her suffer from that one type of amnesia where she can't recall memories that were formed before the event that caused the amnesia. Dia ngga bisa mengingat kejadian-kejadian yang terjadi di rentang waktu berdekatan dengan hari kecelakaan. Dia koma selama lima hari, Jeandra bahkan sampai sudah setuju buat melepas semua alat bantu kalau-kalau kondisinya ngga menunjukkan perubahan. Tapi ternyata dia masih bisa bertahan, walaupun kondisinya buruk dan ngga bisa mengingat beberapa hal penting termasuk kecelakaan itu sendiri. And here comes the most heart-breaking story that change your life.” (1)

Ayah melanjutkan, “Korban jiwanya bukan cuma Ibun tapi penumpang mobil satu lagi juga. They died, mereka meninggal di tempat karena terhimpit badan mobil dan truk. Ceritanya mulai dari sini, Nak.”

“Mereka, dua orang yang meninggal hari itu, adalah pasangan suami-istri. Mereka punya satu anak cewek yang umurnya enam tahun di bawah Jeandra, dia baru lulus kuliah dan cuma punya orangtuanya sebagai keluarga. Mereka orang rantau, keluarga lainnya ngga ada entah bagaimana dan anak itu harus jadi yatim piatu karena kejadian itu.”

Dalam satu detik ketika kalimat Ayah yang satu itu meluncur, Anin seperti dihantam sebuah batu besar tepat di kepala. Rasa panas dan perih yang sejak tadi berebut untuk membuatnya menjatuhkan satu bulir air mata semakin brutal memaksanya untuk menangis. Dengan seluruh tubuh lemas dan rasa pening yang mendera sampai membuat dunia bak berputar cepat di sekelilingnya, Anin mengangkat pandangan dan berusaha mencari kebenaran atas semua kalimat yang Ayah katakan. Wanita itu berharap kalau dia dapat menemukan setidaknya satu saja kebohongan yang tersirat melalui mata Ayah, atau setidaknya melalui raut wajah lelah nan berantakan itu.

Namun nihil.

“Iya, Nak. Anak itu Karinina, umurnya 22 tahun waktu kecelakaan itu terjadi,” ucap Ayah melanjutkan penjelasannya yang terpotong.

Kalimat itu membuat Anindia merasa kehilangan kemampuan mengolah kata. Suara petir menggelegar di kepalanya membuat Anin terdiam kaku tanpa bisa melakukan apapun selain menatap lurus ke arah lelaki di hadapannya. Anin bahkan tidak lagi dapat membedakan keributan yang terjadi di sekelilingnya, dalam sekejap terlalu sulit untuk menafsir mana suara yang berasal dari orang-orang yang tengah sibuk melakukan urusan masing-masing dan mana suara yang berasal dari pikirannya sendiri.

“Ngga ada proses hukum, semua terjadi karena Karin merasa kalau kondisi Ibun sama sekali ngga memungkinkan untuk menjalani sidang dan semacamnya, dia juga bilang kalau dia mau memaafkan Ibun untuk semua yang terjadi. Semua pihak memutuskan untuk berdamai dengan beberapa prosedur dan perjanjian, Ayah yang jadi perwakilan pihak Ibun hari itu karena Jean sibuk sama urusan pemulihan Ibun. Setelah semua prosedur, Jeandra merasa bersalah, dan pada akhirnya memutuskan buat menebus semua rasa bersalah itu dengan mengambil alih semua tanggung jawab atas Karin, termasuk hire Karin buat kerja di agensi model milik keluarga kami.”

Kali ini, lelaki itu terlihat menahan napas. Seolah bersiap untuk mengatakan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada yang sudah dia katakan tadi. “Jean berpikir kalau dengan bertanggung jawab atas kehidupan Karin bisa bikin Ibun aman. Anak itu cuma ngga mau kalau suatu hari Karin datang ke Ibun dan mengulang cerita lama terus minta pertanggungjawaban. Karin juga bisa datang ke Ibun dan minta tanggung jawab dalam bentuk materi. Bukan, masalahnya bukan karena Jean ngga mau ngasih uang buat itu, Jean cuma ngga mau Karin datang ke Ibun dan mengulang lagi cerita soal kecelakaan itu lalu bikin dia terpukul dan kondisinya kembali memburuk.”

“Anin, kamu menghabiskan waktu bertahun-tahun di samping Jeandra. Saya yakin kalau tanpa saya sebut pun, kamu tau kalau Ibun itu segalanya buat Jean. He loves you, but he loves his mom more than you. Jeandra bisa mengorbankan banyak hal buat memastikan kalau Ibun aman, termasuk dengan terpaksa menyakiti kamu.”

Anin mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arah lelaki di depannya. Ada sebuah pertanyaan yang muncul ketika cerita itu sampai padanya. “Apa menyakiti orang lain selalu bisa dijadikan pilihan?” tanya Anin. Suaranya parau, terhalang oleh rasa kering yang tidak nyaman seolah ada gumpalan batu yang memaksa masuk ke dalam tenggorokannya. Anin mencengkram ujung meja di sisi kirinya, sedangkan satu tangan lagi meremat kuat ujung gaun yang dia pakai.

Ayah menggeleng pelan, ada sesal yang bisa Anin tangkap dari sorot yang lelaki itu berikan padanya. “Jean ngga punya pilihan lain selain meninggalkan kamu dan bertanggung jawab ke Karin. Itu satu-satunya opsi dan Ayah yakin kalau hari itu, Jean sama hancurnya dengan kamu.”

What about Aksara?

“Dokter Aksa adalah salah satu dokter yang ikut dalam operasinya Ibun, dan tanpa sengaja harus mendengar semua yang Jean bilang ke saya soal dia yang terpaksa meninggalkan kamu supaya bisa menebus kesalahan Ibun. Ada Hema di sana, mereka berdua jadi saksi dimana untuk pertama kalinya, putra yang dulu selalu melempar tatapan kagum ke arah saya itu berharap kalau dia ngga pernah dilahirkan di dunia dengan sosok ayah seperti saya.”

Kepala Anin terasa penuh, terlalu penuh oleh cerita yang ternyata sama sekali di luar dugaannya. Sungguh, Anin mungkin akan bersyukur kalau cerita sebenarnya hanya berupa Jeandra yang meninggalkannya karena kehilangan rasa. Sakitnya mungkin tidak akan separah ini karena Anin sudah menerima hal itu sejak lama. Tapi cerita yang ayah Jean bagi padanya terasa sulit dipercaya dan membuat sesak yang menghantamnya ternyata jauh lebih brutal, sakitnya terasa lebih nyata dan lebih sulit untuk diterima akal.

“Kamu pernah liat ada foto Ibun di rumah yang Jean tempati?” tanya Ayah.

Anin menatap lelaki itu dengan pandangan kosong, pikirannya melayang ke segala penjuru. Dia berpikir sejenak sebelum kemudian menggeleng pelan, memasrahkan diri untuk menerima pernyataan lain yang Anin yakini akan mendatangkan keterkejutan lain bagi dirinya.

“Jean ngga pernah membiarkan Karin tau kalau dia adalah anak dari wanita yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Jean ngga sempat hadir di acara pemakaman orangtua Karin karena di hari yang sama, operasi besar harus dilakukan buat Ibun. Jadi mereka sama sekali belum ketemu sejak hari kecelakaan terjadi. Jean pikir dengan membuat Karin percaya kalau hubungan mereka berjalan murni seperti pasangan lain, semuanya bakal lebih baik. Dia berusaha memenuhi semua kebutuhan Karin supaya Karin lupa soal kesulitan ekonominya dan ngga harus mencari jalan lain buat hidup, he lets her to lay everything on him. Supaya Karin ngga akan merasa kekurangan dan berakhir menyalahkan kecelakaan itu karena kesulitan yang dia punya.”

“Setelah semuanya, kami bercerai. Jean benci saya melebihi apapun, dia selalu menganggap saya sebagai alasan utama dari kehancuran yang dia punya. Dia selalu bilang kalau hadirnya Karin terjadi karena saya, dan dia benar.”

“Jadi selama ini Karin ngga pernah tau kalau Jean itu anak dari wanita yang bikin orangtuanya meninggal?” tanya Anin berusaha memastikan.

Karena Demi Tuhan, Anin merasa dirinya tidak lebih dari seorang wanita jahat yang sempat menyalahkan Karin untuk luka yang dia dapat dari Jean. Karin, anak itu bahkan sama sekali tidak mengetahui kebenaran soal orang yang selama ini menyediakan tempat bernaung baginya. Anin sempat merasa bahwa dalam cerita mereka, dirinya adalah satu-satunya pihak yang tidak memiliki petunjuk apapun soal apa yang sebetulnya terjadi.

Rasa bersalah perlahan mengungkungnya, Anin kembali menyalahkan diri sendiri. Karin jauh lebih kehilangan arah darinya, yang artinya Karin bahkan tidak punya informasi apapun soal hubungan yang dia punya dengan Jean sebelum pernikahan terjadi. Gadis itu pasti berpikir kalau pernikahan Anindia dan Jean terjadi murni karena perjodohan tanpa embel-embel apapun lagi.

Namun ketika benaknya sudah semakin ribut dengan urusan menyalahkan diri sendiri, Anin menyadari kalau pertanyaannya belum mendapat jawaban. Matanya kembali memandang iris kecokelatan milik sosok di hadapannya, memberi tatapan menunggu yang menandakan bahwa ia butuh jawaban segera.

Lelaki itu tidak mengangguk, tapi tidak juga menggeleng. Hanya hening dan tatapan penuh ragu yang dia berikan untuk Anin. Detik itu, Anindia tahu kalau ada fakta yang lebih mengerikan daripada sekedar kecelakaan dan hal lainnya.

“Karin tau, saya pernah kasih tau hal itu ke dia tepat di hari pernikahan kalian.”

Bahwa ternyata, dirinya memang betul-betul menjadi satu-satunya pihak yang kehilangan arah atas semua yang terjadi di antara mereka. Bahwa ketakutannya ternyata benar-benar menjadi nyata, kalau di antara semua orang yang terlibat dalam kisah panjang itu, Anindia adalah satu-satunya yang tidak diberi kesempatan untuk mengerti dan memahami.

“Semua orang mengira kalau Ayah ngga hadir di pernikahan kalian karena takut Jeandra bakal marah besar, but I was there. Ayah ada di situ dan liat kalian dari jauh, sampai akhirnya Ayah tanpa sengaja ketemu Karin di area luar gereja dan nyoba buat bicara sama dia.”

Anin sebetulnya sudah bisa menebak kelanjutannya, tapi ia tetap mempertahankan diri menunggu agar tidak menyerah terlalu cepat. Rungunya ia paksakan untuk mendengar fakta lain, memaksakan diri walau Anin tahu dirinya sudah berada di ambang kekuatan terakhir yang dia miliki.

I told her everything, termasuk soal masa lalu kalian sebelum kecelakaan itu terjadi dan merubah situasi. I thought that it would make things be better, Ayah kira Jeandra udah cukup menanggung banyak beban dan udah saatnya dia bahagia tanpa memikirkan rasa bersalahnya lagi.”

Telak, Anin menyerah.

Tangannya terangkat, meminta sang lawan bicara untuk berhenti mengatakan kalimat lainnya. Anin menyerah, seluruh tubuhnya tidak memiliki tenaga lagi untuk disisakan. Kepalanya terasa amat berat, Anin merasa bahwa seluruh dunia berputar dan membuatnya semakin ingin memuntahkan seisi perutnya di detik yang sama.

Anin tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya. Emosi memuncak hingga ubun-ubun, membuat seluruh tubuhnya bergetar hingga wajahnya terasa panas. Getar yang tadi menguasainya karena takut kini memberontak dan mengubah emosinya menjadi amarah dalam sekejap. Biar Anin jelaskan, dia kecewa. Kekecewaannya bersumber dari berbagai hal dan Anin tidak dapat memastikan mana yang mengambil porsi rasa itu paling banyak dan menimbulkan rasa sakit paling parah untuknya.

Entah itu tindakan bodoh Jean karena memilih untuk menyakitinya daripada mencari jalan keluar lain, atau fakta kalau Karin sebetulnya sudah mengetahui kebenaran soal hubungannya dengan Jeandra dan segala kebetulan yang terjadi di hidup gadis itu. Atau soal Aksara yang nyatanya memang betul-betul mengetahui lebih banyak hal soal Jean dibanding dirinya sendiri. Anin kecewa pada banyak hal, terutama pada dirinya sendiri yang hanya mampu menonton semua yang terjadi dalam kebingungan tanpa bisa melakukan apa-apa.

I think I got to go,” putus Anin pada akhirnya.

“Sekarang?”

Anin menyempatkan diri untuk mengangguk, tangannya sibuk merapikan pakaian dan meraih tas kecil yang dia bawa sejak awal. Tak lupa mengeluarkan selembar uang dan memanggil salah satu pelayan untuk melakukan pembayaran, Anin berusaha menyibukkan diri agar wajahnya yang memerah karena menahan banyak emosi di dalam pikiran tidak terlihat oleh sosok di depannya. Namun gerakannya terhenti ketika satu kalimat bernada memohon keluar dari bibir lelaki di depannya, membuatnya berhenti dan membatu.

“Jangan tinggalin anak Ayah, Anin….”

Anin tidak tahu rasa jenis apa yang menghampirinya ketika kalimat itu tertangkap oleh rungu. Permintaan itu terasa tabu di telinga, terasa terlalu banyak untuk dituruti, terasa terlalu sulit untuk dikabulkan. Tapi kepalanya lagi-lagi memaksanya berpikir bahwa dalam kisah mereka, bukan hanya dirinya yang hancur tapi juga Jeandra. Sekali lagi, satu sisi dari Anindia kembali kalah karena membayangkan Jeandra yang terluka.

Tapi Anindia tidak lagi mau membuat dirinya mengesampingkan logika. Ketika pada akhirnya Anin berhasil menyimpul diri dan memutuskan untuk berdiri dengan tegak dan memandang lurus pada lelaki bermata cokelat seperti milik Jeandra itu dengan sorot tajam.

“Kalau menyakiti saya adalah satu-satunya cara yang Jean anggap mampu menyelesaikan masalah, saya kira saya juga bisa ambil keputusan yang sama. Kalau Jeandra bisa, saya juga bisa. Ayah, anak Ayah itu punya lebih dari tiga tahun untuk datang ke saya dan menjelaskan semua yang terjadi, tapi dia sama sekali ngga menggunakan waktu yang ada buat meraih saya. Jadi saya kira, adil buat saya untuk berhenti ngasih dia waktu.”

Napas Anin memburu, tangannya terkepal erat. “Saya mungkin bisa paham kalau aja masalahnya cuma sekedar Jean yang ragu dan ngga siap buat ngasih tau saya soal apa yang sebenarnya terjadi, kalau masalahnya cuma sebatas itu, saya mungkin bisa terima. Tapi yang saya ngga bisa pahami itu fakta kalau dia dan Karin berhubungan sampai Karin hamil.”

Anin menempatkan satu kepalan tangannya ke dada, kemudian memukul bagian dadanya cukup kuat. Berharap kalau yang dia lakukan dapat menghalau sesak meskipun hasilnya sia-sia, dada kirinya terasa semakin penuh seolah sebentar lagi dapat meledak hingga hancur.

“Kalau masalahnya cuma sebatas melindungi Ibun, Anin mungkin bisa maafin dia sekarang juga.” Suara Anin parau, namun dia paksakan untuk terus mengeluarkan keluh kesah yang dia pendam sendiri dalam hati.

“Masalahnya Karin sampai hamil, Ayah…”

“Masalahnya Jean bukan cuma ninggalin Anin buat melindungi Ibun, tapi juga karena udah menemukan tempat baru untuk bersandar. Jean memang hancur waktu dia ninggalin Anin, tapi fakta kalau sekarang Karin mengandung bayi hasil hubungan mereka membuktikan kalau Jean ngga sehancur itu, Ayah, Jeandra ngga sesakit itu.”

Kenyataannya, hal itulah yang paling meninggalkan kecewa bagi Anin.

Sebab pada akhirnya, ketika kakinya ia bawah melangkah menjauh dari meja yang mereka tempati, Anin bahkan sama sekali tidak dapat mengeluarkan satu titik air mata pun meski berulang kali ia memaksakan diri. Dia butuh menangis, tapi air matanya seakan kering. Seolah semua yang dia dapatkan hari ini sudah cukup menguras tenaga hingga tubuhnya menolak untuk membiarkannya merasa lebih sakit daripada ini.

-

(1) Retrograde Amnesia. Larry R. Squire, Robert E. Clark,Barbara J. Knowlton (2001)