First Meet
Ini hari pertama konsultasinya kepada psikiater. Sesuai dengan rencana dan tujuan Tama bertolak ke Milan; ingin menyembuhkan diri.
Kala deru mesin mobil berhenti, Tama tersentak kecil menyadari kalau dirinya sudah sampai di tempat tujuan. Matanya mengerjap pelan, menengadah mengarah pada bangunan menjulang tinggi di hadapannya, tampak kokoh dan asing.
Tangannya bergerak membuka pintu mobil, sejurus kemudian berdiri di samping kendaraan beroda empat itu dengan tubuh tegap dan hela napas pelan.
Udara Milan terasa berbeda.
Lebih lembab, dan masih terasa amat asing.
Denting ponsel mengalihkan perhatiannya dari hela napas yang tadi ia coba nikmati, sebuah pesan masuk dari sosok psikiater yang pagi ini akan dia temui. Lelaki itu memintanya langsung masuk ke dalam gedung, mencari ruangan bernomor 10 dan menemui lelaki itu sesegera mungkin.
Kakinya melangkah memasuki pintu besar yang terbuka lebar untuknya. Kedatangannya disambut dengan anggukan oleh kedua sekuriti yang berjaga di dua sisi pintu yang lebar. Langkahnya ia coba mantapkan, meskipun sejujurnya masih amat ragu dan rapuh. Matanya mengedar, menyusuri interior gedung besar ini dengan seksama. Gaya Eropa lama amat kental, dipenuhi aksen putih yang membuat segala hal terkesan dingin.
Sampai kemudian, matanya menangkap angka 10 di salah satu name badge yang tergantung di depan pintu ruangan paling ujung. Tama meyakinkan diri untuk mendekat, menghembuskan sekali lagi udara melewati mulut dan memutar gagang pintu dengan pelan setelah mengetuk sebanyak tiga kali.
Di dalam sana, lelaki berkulit pucat menyambutnya. Duduk di kursi kebesarannya dengan papan nama Zackary Lee tergeletak seakan bangga mengembang nama itu bersamaan dengan serentetan gelar yang Tama tidak bisa pahami.
“Baskara Naratama?”
Suara Dr. Zack menggema di seluruh ruangan, Tama mengangguk sebagai jawaban. Ia dipersilakan duduk di hadapan meja kerja Dr. Zack, dan menunggu lelaki paruh baya itu dalam diam.
“So, how's everything?“
Tama tersenyum simpul.
Lelaki ini masih punya tone suara yang sama bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.
“Seperti yang terlihat, I'm fine. Well, I mean, I'm physically fine.“
Dr. Zack terkekeh kecil. Matanya mengamati Tama dengan tatapan lembut. Yang tanpa sadar membuat Tama dapat secara perlahan menghilangkan ketegangan yang sedari tadi merayapinya.
“Kamu ngga banyak berubah, ya? Cuma bertambah tinggi dan makin mirip Papa kamu.”
Di sana, di detik itu, Tama tercekat.
“Do you mind to not talk anything about him?” Pintanya pelan, kepalanya tertunduk, tangannya mengepal.
Dr. Zack berdeham pelan, kepalanya mengangguk.
“I'm sorry, Baskara.”
Tama kembali menyela.
“One more thing. Just call me Tama, please?*”
Sekali lagi, lelaki di hadapannya menganggukkan kepala.
Bertahun-tahun berlalu dan lelaki ini masih secepat itu untuk mengerti soal keadaan Tama. Bertahun-tahun berlalu, lelaki paruh baya ini masih punya raut wajah lembut yang sama. Bertahun-tahum berlalu, dan lelaki ini masih punya sorot mata yang sama, yang selalu membuat Tama mempertanyakan alasan kenapa bukan sosok ini yang menjadi ayahnya.
“Years passed since we met, I didn't expect we'll meet again today,” kata Dr. Zack sambil tertawa kecil.
Kemudian, dia melanjutkan dengan nada suara amat tenang.
“Terakhir kita ketemu, kamu masih jadi pacarnya Thalia. I thought that I would be your father in law back then. Tapi ternyata ngga berjalan mulus ya?”
Lelaki itu kembali tertawa. Tawanya halus, Tama mungkin bisa ikut tertawa. Jika saja nama itu tidak keluar dari bibirnya. Jika saja satu nama itu tidak menjadi bahan perbincangan, Tama mungkin bisa ikut hanyut dalam tawa soal cerita lama di masa lalu yang lelaki itu ceritakan.
“Dokter, bisa langsung mulai konsultasinya?”
Dr. Zack berhenti tertawa.
“What's with that 'Dokter', young man? Where's the old nickname?“
Tama menatap lurus sebelum menjawab.
“I'm no longer your daughter's lover. Jadi, Dokter will be the most suitable one.“
“Ah, padahal panggilan 'Ayah' kaya dulu ngga kalah keren.”
Dan Tama bersumpah, ini pertama kali dia ingin keluar dari sebuah percakapan dengan seseorang. Lelaki ini, membuatnya mengepalkan tangan hingga urat di sana tercetak jelas.
-