First Meet

TW // MENTION OF VIOLENCE , TOXIC RELATIONSHIP

“Sabrina, ya?”

Sabrina menoleh ketika mendengar namanya disebut oleh seseorang dengan suara berat yang teramat asing. Seorang laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam serta gray sweatpants berdiri sekitar lima meter dari tempat Sabrina duduk, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku hoodie dan matanya terarah penasaran pada sosok Sabrina.

Romeo, Sabrina langsung melafalkan nama laki-laki itu di dalam hati, teringat pada foto yang ia lihat tadi siang di profil Tinder milik Romeo. That picture of him doesn’t do this man justice, Romeo nyatanya terlihat jauh lebih baik jika dilihat langsung seperti ini. Sabrina sampai hampir lupa menarik napasnya sendiri, laki-laki yang menurut Kanina merupakan player terkemuka di kalangan mahasiswa kampus mereka ini benar-benar punya tampang se-oke itu. *He deserves that title, seriously.(

Romeo 1 — Rangga 0.

Sabrina diam-diam tersenyum ketika skor itu tercetak di dalam kepalanya sendiri, merasa puas karena setidaknya dari aspek yang paling penting yaitu wajah, laki-laki bernama Romeo ini sudah mengantongi satu poin dibandingkan Rangga.

“Romeo, ya?” ucap Sabrina setelah menyadari bahwa dirinya sudah tertegun terlalu lama. Laki-laki di depannya itu mengangguk membenarkan, sebelum kemudian berjalan mendekat dan mengambil tempat di hadapan Sabrina. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, sikapnya benar-benar santai seolah mereka berdua sudah pernah di tempat lain sebelumnya.

“Gue nggak expect lo bakal setuju sama ajakan gue buat ketemu di tempat ini,” ucap Sabrina sebagai pembuka percakapan. “Thank you so much, bantuan lo ini benar-benar berarti buat gue, gue janji bakal siap bantuin lo di masa depan sebagai balasan dari bantuan lo kali ini.”

Romeo menatap Sabrina dengan satu alisnya yang terangkat, seolah Sabrina baru saja mengatakan sesuatu yang paling tidak masuk akal yang pernah dikatakan oleh seseorang kepadanya. “Gue belum bilang kalau gue setuju buat bantuin lo,” ucap Romeo. Laki-laki itu melanjutkan, “Gue cuma setuju datang ke sini soalnya lo bilang lo bakal traktir gue makan dan kebetulan, gue belum makan malam. Kapan lagi gue bisa makan gratis sepuasnya, kan?”

Detik itu, rahang Sabrina terasa terjatuh.

“Lo … lo bilang lo setuju, jadi gue berasumsi kalau lo setuju buat dua hal; datang ke sini dan bantuin gue,” ucap Sabrina dengan suara mencicit. Baru kali ini, Sabrina bertemu dengan seseorang yang mampu membuatnya terdiam hanya dengan satu kalimat seperti ini.

“Gue, kan, udah bilang, yang lo minta itu bahaya, Sabrina. Taruhannya nyawa gue, soalnya mantan lo itu benar-benar gila, jadi gue nggak mungkin langsung setuju dengan mudah tanpa berpikir panjang.” Romeo kemudian mengangkat tangannya dan melambai ke arah seorang waitress untuk menyebutkan pesanannya. “Gue mau minum kopi sama mau pesan makanan berat, tolong nanti lo bayarin sesuai janji lo, oke?” ucapnya dengan santai.

Waitress dengan pakaian santai yang tadi dipanggil Romeo pun mendekat dan menyapa dua orang itu dengan ramah. Romeo kemudian menyebutkan pesanannya; Iced Americano with two pumps white mocha dan rice with butter chicken, dua jenis menu itu disebutkan oleh Romeo dengan lancar. Laki-laki itu kemudian menatap Sabrina dan mempersilakan perempuan itu untuk menyebutkan pesanannya.

Lemonade aja satu, Kak.”

Usai menyebutkan pesanannya, Sabrina kemudian mengucapkan terima kasih pada si waitress yang meminta mereka menunggu sampai pesanan datang. Perempuan itu menatap Romeo, mencoba menerka apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam kepala laki-laki itu saat ini sebab demi Tuhan, Sabrina benar-benar tidak menyangka kalau Romeo ternyata akan bersikap sesantai ini hanya demi makanan dan kopi gratis.

“Gue rasa lo nggak semiskin itu sampai rela buang-buang waktu lo buat datang ke sini demi makanan dan kopi gratis,” ucap Sabrina menyuarakan pikirannya. “Listen, gue cuma punya waktu malam ini buat nyari orang yang bisa bantuin gue besok. Jadi kalau lo beneran cuma main-main sama gue, gue bakal nyari orang lain sekarang juga. Pesanan lo tadi bakal gue bayarin, tenang aja.”

Mendengar ultimatum itu, Romeo tertawa kencang. Kedua matanya sampai menghilang dan membentuk dua buah bulan sabit lucu yang membuat Sabrina mengernyit, tidak mengerti alasan laki-laki itu tertawa. Sabrina yang merasa dipermainkan pun berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk meninggalkan cafe itu dan benar-benar mencari orang lain yang bisa membantunya, tapi gerakan perempuan itu terhenti ketika Romeo tiba-tiba mengatakan sesuatu.

“Lo memang selalu setegang ini, ya?” tanya Romeo. “Santai, gue bercanda. Gue mau bantuin lo, kok. Nggak usah marah-marah, sekarang duduk dan jelasin rencana lo buat besok. Gue tahu lo cuma nyari pacar pura-pura, tapi gue tetap harus punya basic information soal lo dan mantan lo ini supaya nggak kelihatan kayak orang tolol besok.”

Mau tidak mau, Sabrina kembali duduk meski sebetulnya, ia kesal setengah mati pada Romeo. Bagaimana bisa laki-laki itu mempermainkannya di saat-saat genting seperti ini? Sabrina benar-benar ingin mengamuk, tapi ia tahan dirinya agar tidak meledak, takut jika Romeo malah berubah pikiran dan menolak membantunya besok. Menarik napas panjang untuk menetralkan emosinya, Sabrina kemudian mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam tas yang ia bawa, membuka menu galeri dan mencari satu-satunya foto Rangga yang tersisa di ponselnya untuk ditunjukkan kepada Romeo.

“Ini Rangga, lo pernah lihat mukanya?”

Romeo memperhatikan foto yang tampil di layar ponsel Sabrina dengan saksama, mencoba mengingat wajah itu dan akhirnya mengangguk beberapa detik kemudian. “Dia yang mimpin orasi rombongan demo kampusnya tahun kemarin. Gue nggak pernah ngobrol langsung, sih, tapi ada anak tongkrongan gue yang kenal sama dia.”

Sabrina mengangguk membenarkan. “Kalau lo udah pernah lihat dia, berarti kemungkinan besar lo tahu kelakuan dia, kan? Dia pernah dilaporin ke polisi karena mukulin juniornya di BEM awal tahun ini, tapi dia bebas tanpa syarat karena orang tuanya petinggi kampus dan omnya juga polisi.”

“Gue tahu ini orang bahaya, tapi gue nggak tahu kalau dia sebahaya itu,” ucap Romeo dengan jujur. “Tapi kalau dari cerita lo, dia juga pernah mukulin lo, berarti emang dia segila itu. Anak departemen gue pernah ada yang bermasalah sama dia cuma karena mereka nggak sengaja senggolan, terus besoknya udah babak belur muka itu anak karena dipukulin sama mantan lo.”

Sabrina bergidik ngeri, Rangga memang benar-benar sebrutal itu. “Iya, dia segila itu dan gue adalah salah satu korbannya. Makanya, gue benar-benar pengen bebas dari dia dan dia bilang, kalau gue punya pacar baru yang jauh lebih baik dari dia, dia bakal ngasih gue kebebasan, makanya gue buru-buru nyari orang buat diajak kerja sama, and here you are.”

Romeo terkekeh pelan dan mengangguk. “And here I am.”

Laki-laki itu kemudian terlihat berpikir sejenak sebelum kembali bertanya. “Lo bilang, dia mau lihat pacar baru lo lebih baik atau nggak daripada dia, tapi gue bingung sama satu hal. Gimana caranya dia tahu kalau gue lebih baik dari dia atau nggak? Lo bilang di Tinder kalau tampang gue mesti lebih cakep, otak gue harus lebih encer, duit gue harus lebih banyak, terus gue harus bisa berantem. Dia bisa nilai gue lebih cakep, lebih pintar, lebih tajir terus lebih jagoan dari dia dari mana?”

Sejujurnya, Sabrina juga tidak tahu. Jadi, perempuan itu mengangkat kedua bahunya sambil menggeleng pasrah. “Untung tampang, gue yakin dia bakal tahu kalau dia udah kalah duluan sama lo karena dalam sekali lihat, siapapun bakal bilang kalau lo lebih cakep dari dia.”

Bahu Romeo naik satu senti lebih tinggi karena mendengar kalimat yang entah bermakna sebagai pujian atau sesuatu yang lain itu. Diam-diam, laki-laki itu berterima kasih pada Mami dan Papinya—walaupun ketika menyebut nama sang Papi, Romeo mengucapkan terima kasih itu dengan ogah-ogahan—karena sudah membuatnya terlahir dengan wajah ini.

Sabrina melanjutkan, “Terus masalah otak, gue nggak yakin dia bakal terlalu peduli sama ini. Nggak mungkin Rangga tiba-tiba ngasih lo kuis pengetahuan umum cuma buat ngetes tingkat kecerdasan lo, jadi lo aman buat bagian ini. Terus, masalah duit. Untuk masalah ini, gue juga masih clueless, tapi gue yakin Rangga bakal merhatiin penampilan lo sedetail-detailnya dan bakal ngatain lo kalau misal penampilan lo di bawah standarnya dia.”

“Buset, segitunya?” potong Romeo.

Sabrina mengangguk. “I wish I was lying, tapi Rangga memang sesombong itu. Dia menganggap nggak ada manusia yang lebih baik dari dia, pokoknya duni ini pusatnya ada sama dia dan nggak ada manusia lain yang boleh merebut titel itu.”

Romeo menatap Sabrina tidak percaya. Dia pernah mendengar cerita soal Narangga Adiwijaya ini sekilas dari mulut teman-temannya, tapi Romeo sama sekali tidak menyangka kalau laki-laki itu ternyata jauh lebih parah dari yang teman-temannya katakan.

“Lo, kok, bisa pacaran sama manusia sesampah itu?”

Sabrina tertawa hambar. Pertanyaan itu juga merupakan pertanyaan yang sama dengan yang ia ajukan pada dirinya sendiri berkali-kali. Kenapa bisa ia mau menerima Rangga dulu? Jangankan orang lain, Sabrina sendiri pun masih belum bisa menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.

I was out of my mind, gue juga nggak tahu kenapa.”

Percakapan mereka terinterupsi oleh seorang waitress yang datang membawa pesanan mereka. Segera setelah semua pesanan dipastikan benar dan makanan serta minuman mereka sudah tertata rapi di atas meja, Sabrina langsung meraih gelas minumannya dan meneguk cairan asam dan sedikit manis itu beberapa kali.

“Gue pacaran sama dia selama enam bulan. Dia mulai mukulin gue di bulan keempat. Awalnya cuma sekedar narik tangan gue dengan kasar sampai kulit gue merah karena gue nggak mau disuruh pulang waktu lagi ada tugas kelompok sama anak-anak cowok di kelas gue. Berlanjut ke tamparan, terus tendangan di satu bulan terakhir karena gue yang mulai berani melawan,” jelas Sabrina dengan nada tenang, seolah yang sedang ia ceritakan merupakan kisah biasa tentang bagaimana harinya setelah bangun tidur dan mandi.

“Dan lo akhirnya menyerah.”

Sabrina mengangguk. “Dan gue akhirnya menyerah.”

Hening menguasai mereka setelahnya. Romeo masih shock karena cerita itu. Sosok Rangga yang diceritakan oleh Sabrina ternyata jauh lebih menyeramkan dari yang Romeo kira. Namun, cara Sabrina bercerita tentang laki-laki bernama Rangga itu benar-benar santai, seolah perempuan itu sudah terlanjur terbiasa dengan apa yang ia alami. Tatapan Romeo kemudian terarah pada lengan Sabrina yang terbuka dan terpaku pada sebuah bekas luka berwarna kecokelatan di permukaan kulit perempuan itu.

“Luka di lengan kanan lo, itu gara-gara Rangga juga?” tanya Romeo.

Sabrina langsung melihat luka di bagian lengan kanannya yang dimaksud oleh Romeo dan mengangguk. “Satu hari sebelum gue ngajak dia putus, dia sempat ngamuk karena gue pulang bareng cowok lain. Dia nggak bisa dihubungi waktu itu, gue juga lagi nggak punya saldo buat pesan ojek online dan kebetulan, teman gue ini pulang satu arah. Gue udah izin sama dia lewat chat tapi dia nggak bales.”

“Lo diapain?”

“Disundut pakai rokoknya.”

Detik itu, Romeo tahu kalau dirinya tidak punya alasan untuk menolak lagi. Di matanya saat ini, Sabrina terlihat seperti seekor anak kucing di tengah hujan lebat. Romeo punya alergi pada bulu kucing, ia akan langsung bersin ketika berkontak langsung pada hewan itu. Kucing itu penuh luka, tapi sama sekali tidak mengeong kencang untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya agar diberi bantuan. Suaranya mencicit kecil, seolah gengsi yang kucing itu punya jauh lebih besar daripada rasa sakit dan dingin yang menyiksanya.

Melihat Sabrina saat ini mengingatkan Romeo pada adegan itu. Ia tetap memutuskan untuk mengambil tubuh kecil kusing itu dan membawanya pulang, meski dengan risiko alerginya akan kambuh. Romeo memutuskan untuk membantu Sabrina, dengan nekat mengatakan bahwa ia akan membantu perempuan itu walaupun tahu bahwa konsekuensi yang akan dihadapi tidaklah mudah.