Flashback

Notes : Narasi di bawah ini berisi kilas balik kisah sebelum Sabrina dan Romeo menjalin hubungan. Nama Rangga akan dibahas sebagai topik utama dan narasi ini mengandung pembahasan sensitif seputar toxic relationship dan abusive behavior sebagai latar dari cerita masa lalu Sabrina. Harap menjadi pembaca yang bijak dan dipersilakan untuk keluar dari laman ini jika topik tersebut dianggap terlalu sensitif.

TW // Abusive behavior , Violence , Bunch of harsh words , Degrading words that might be very sensitive

Jakarta, enam bulan sebelumnya.

Satu tahun dan tiga bulan.

Sabrina tidak tahu apa yang membuat dirinya sampai bisa bertahan selama itu. Narangga Abdi Ragapura, lelaki yang selama ini menjadi kekasih Sabrina, berdiri di depannya sembari menjepit sebatang rokok di antara belah bibir. Tatapan mata Rangga sama sekali tidak terarah pada Sabrina, lelaki itu lebih memilih untuk menatap ke samping, memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka seolah gadis di depannya itu sama sekali tidak terlihat.

Sabrina memperhatikan presensi Rangga dengan hati-hati, menyapu seluruh wajah Rangga dengan tatapannya yang terlihat datar seperti biasa tapi menyimpan banyak pertanyaan di dalamnya.

Apa yang sebetulnya Sabrina cari dari lelaki di depannya ini? Apa yang sebenarnya membuat Sabrina sampai mau bertahan selama ini? Apa yang Rangga tawarkan padanya sampai Sabrina mau menerima semua perlakuan lelaki di depannya ini tanpa sedikit pun berani melancarkan protes?

Sabrina mengernyit pelan karena pikirannya sendiri. Perlahan namun pasti, rasa asam dan pahit naik ke permukaan kerongkongannya dan membuat Sabrina harus menahan mual. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu membuat Sabrina ingin muntah, merasa jijik pada dirinya sendiri yang sudah dengan mudah terjerumus ke dalam lubang hitam yang Rangga ciptakan. Menyesali kebodohannya karena mau terjebak dalam jerat yang Rangga pasang dan baru menyadari hal itu setelah tubuhnya sudah serusak itu karena lelaki di depannya ini.

Well, biar Sabrina ceritakan sedikit tentang dirinya dan lelaki bernama Rangga yang kini tengah menatapnya dengan malas itu. Semuanya berawal sejak satu tahun dan tiga bulan yang lalu saat Sabrina tengah menemani salah satu teman baiknya untuk hadir di sebuah festival musik yang diadakan oleh kampus tempat Rangga menimba ilmu.

Sabrina bukan orang yang suka keramaian. Gadis itu lebih suka kesunyian yang tercipta saat dirinya berada di dalam kamarnya sendiri, hanya dirinya yang berbaring tanpa melakukan apapun. Namun di hari itu Kalila, temannya, meminta Sabrina untuk menemani gadis itu datang ke sebuah festival musik yang diadakan oleh Fakultas Hukum kampus tetangga dengan alasan kalau Lila benar-benar ingin melihat salah satu guest star yang diundang. Lila bilang, gadis itu benar-benar mengidolakan grup band indie itu tapi tidak ada satu pun orang yang bisa menemaninya hari itu kecuali Sabrina.

Sabrina yang pada dasarnya memang tidak punya kegiatan apapun untuk dilakukan tidak kuasa menolak. Lila sudah membantunya mengerjakan tugas penting di hari sebelumnya, jadi mau tak mau dia harus mengiyakan ajakan itu. Mereka berangkat ke venue tepat satu jam sebelum acara di mulai dan masalahnya, tidak satu pun dari mereka yang punya tiket untuk masuk.

“Sumpah, lo datang ke sini semangat bener tapi ternyata sama sekali belum punya tiket?” Sabrina menggerutu kesal pada Lila, sedangkan lawan bicaranya hanya mengangguk tanpa dosa.

“Kata temen gue, nanti bakal banyak anak-anak panitia yang jualan tiket on the spot. Harganya gak bakal jauh beda, kok. Paling naik sekitar sepuluh ribuan, lo tenang aja soalnya tiket lo bakal gue bayarin.” Lila mencoba meyakinkan Sabrina kalau mereka akan tetap mendapat tiket yang dimaksud. Gadis berambut pendek sebahu itu mengedarkan pandangan dan pada akhirnya tatapannya jatuh pada seorang lelaki dengan nametag panitia yang menggantung di leher.

“Nah, itu tuh. Dia pegang tiketnya, lo tunggu di sini sebentar. Gue mau beli tiketnya dulu, jangan kemana-mana.”

Sabrina sama sekali tidak protes saat Lila berlari menjauh darinya. Gadis itu lebih memilih untuk menyingkir dan berteduh di dekat salah satu stand jualan yang letaknya sedikit di ujung. Sabrina mengangkat kepalanya dan mengawasi keberadaan Lila di ujung sana. Namun tanpa disangka, kedua mata Sabrina malah bertemu dengan lelaki si penjual tiket yang sedang dihampiri Lila. Lelaki itu memandangnya dengan tatapan datar, tapi ada sesuatu yang terpancar dari tatapannya yang Sabrina tidak cukup mengerti apa itu.

Sabrina memutus kontak mata mereka, lebih memilih untuk memandang ke arah lain dan membiarkan lelaki itu menatapnya semakin intens. Kemudian tak lama setelah itu, Lila kembali menghampiri Sabrina. Namun ada yang janggal dari gadis itu, sebab kedua tangan Lila kosong tanpa hasil dan tidak ada tiket apapun yang gadis itu bawa.

“Lah, bukannya tadi lo ke sana mau beli tiket? Terus mana tiketnya?” tanya Sabrina dengan kening berkerut dalam. Lila terkekeh pelan, gadis itu menampilkan tawa jahil yang sering Sabrina lihat setiap kali Lila punya sebuah ide gila di otaknya. Senyum itu membuat Sabrina seketika merasa was-was, terutama ketika matanya kembali bersinggungan dengan tatapan lelaki penjual tiket di ujung sana.

“Cowok yang jualan tiket di sana, lo lihat kan?” tanya Lila.

Sabrina mengangguk pelan.

“Katanya dia baru mau jual tiketnya ke kita kalau lo yang ambil ke sana,” ucap Lila. Lila kembali tersenyum jahil, gadis itu kemudian meraih tangan Sabrina, menggoyang-goyangkan tangannya dengan gerakan manja. “Dia kayaknya naksir sama lo deh, Sab. Samperin gih, biar satu kali dayung, dua pulau terlampaui. Nonton festivalnya dapet, cowok juga dapet.”

Gagasan itu terdengar tidak bagus dan seharusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah mendengarkan Lila. Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah berjalan menuju si lelaki penjual tiket dan berdiri di depan lelaki itu dengan wajah kaku penuh gugup.

“Kak, anu....”

Lelaki di depannya memiringkan wajah, menatap Sabrina dengan tatapan tertarik yang kali ini tidak lagi dapat disembunyikan. Sabrina yang menerima tatapan itu kontan menelan ludah gugup, gadis itu diam-diam memilin ujung baju yang dipakainya.

“Lo angkatan berapa?” tanya lelaki itu.

“Hah?”

Lelaki di depannya itu berdecak pelan, ada kilat gemas yang terpancar di kedua matanya. “Gue nanya, lo angkatan berapa? Jurusan apa? Anak kampus sini juga atau bukan?”

“Angkatan 2020,” jawab Sabrina dengan suara gugup.

“Jurusan?”

“Hubungan Internasional.”

“Anak kampus sini?”

Sabrina menggeleng.

“Lo bawa hp?”

Sabrina mengangguk.

“Boleh minjem hp lo sebentar?”

Sabrina mengerutkan keningnya. “Buat apa?”

“Minjem dulu aja, gak akan gue apa-apain. Percaya sama gue,” ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan ke depan, bermaksud untuk meminta Sabrina menyerahkan ponsel yang tengah digenggam oleh gadis itu.

Bodohnya, Sabrina benar-benar menyerahkan ponselnya. Bahkan, Sabrina dengan enteng membukakan kunci layar ponselnya dan membiarkan lelaki di depannya itu melakukan sesuatu di sana. Meski tak sampai satu menit kemudian, ponsel itu kembali berada di tangan Sabrina dalam keadaan layar yang menyala terang dan aplikasi Instagram miliknya yang terbuka.

“Itu akun Instagram gue, nanti kalau udah luang bakal gue follow balik. Nama gue Narangga, panggil aja Rangga.” Lelaki itu kemudian menyerahkan dua tiket yang dipegangnya kepada Sabrina sebelum kembali melanjutkan, “Ini tiketnya, gak apa-apa gak usah bayar. Gue percaya sama yang namanya takdir dan gue yakin, pertemuan hari ini adalah salah satu bagian dari takdir yang kita punya. Kalau memang diizinkan, kita bakal ketemu lagi dan gue bakal tagih duit tiket itu dalam bentuk lain. Makan bareng, misalnya, hehe. By the way, salam kenal ya, Sabrina.”

Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah mengizinkan rasa asing itu untuk mampir ke dalam dadanya. Harusnya, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan Rangga masuk ke dalam hidupnya dan menghancurkannya hingga tak berbentuk seperti sekarang. Harusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, sebab satu tahun setelahnya lelaki itu malah menjadi alasan utama bagi rasa sakit yang Sabrina rasakan di bagian sana.

Rangga berdecak cukup keras, membuat Sabrina langsung ditarik keluar dari lamunannya. Gadis itu kembali menatap Rangga seperti yang tadi dia lakukan, mendapati kalau kekasihnya itu tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan tajam.

“Mau ngomong apa?”

Kini giliran Sabrina yang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gadis itu memperhatikan suasana gedung fakultas Rangga yang hari ini terlihat cukup ramai, dalam hati merasa bersyukur karena sepertinya, nasib baik akan berpihak padanya kali ini. Setidaknya jika terjadi sesuatu nanti, orang-orang ini akan mampu mendengar teriakannya dan akan menolongnya dari apapun yang Rangga lakukan. Sabrina harap begitu, dia harap semuanya akan baik-baik saja nantinya. Sabrina menarik napas panjang, mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mengatakan kalimat yang sejak tadi berputar di kepalanya sampai membuat gadis itu pening bukan main. Kedua tangannya digenggam erat, berusaha keras agar jari-jemarinya berhenti gemetar supaya dia bisa fokus pada tujuannya kali ini.

“Aku mau putus,” ucap Sabrina pada akhirnya.

Kalimat itu berhasil membuat Rangga memusatkan perhatian pada Sabrina. Rokok yang tadi berada di antara jepitan bibirnya kini digenggam dengan tangan, sebelum kemudian dia jatuhkan benda itu ke tanah. Dalam hitungan detik, batang rokok yang sebetulnya masih berukuran cukup panjang itu sudah berubah menjadi seonggok sampah tanpa harga. Dengan gerakan kasar, Rangga menginjak puntung rokok itu hingga tak berbentuk dan gerakan itu berhasil membuat nyali Sabrina kembali menciut.

“Kamu bilang apa tadi?” tanya Rangga dengan suara dingin yang menusuk. Lelaki itu maju satu langkah, dua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket yang dipakainya dan tubuhnya dibuat sedikit menunduk agar bisa menatap Sabrina tepat di mata.

“Aku—”

“Kamu mau putus? Iya?”

Sabrina mengangguk terpatah, gadis itu benar-benar ketakutan sekarang. Wajah Rangga saat ini benar-benar terlihat menakutkan, rahang lelaki itu mengetat dan matanya yang setajam elang itu menatap Sabrina seolah siap membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Kaki-kaki Sabrina melemah dan kehilangan kekuatan, kalau saja saat ini tubuhnya tidak sedang bersandar pada dinding di belakangnya, gadis itu mungkin benar-benar akan jatuh terduduk di lantai. Namun meskipun begitu, Sabrina juga sadar kalau posisinya saat ini tidak benar-benar menguntungkan. Rangga berada satu langkah di depannya, membuat tubuh Sabrina terhimpit di antara lelaki itu dan dinding dan Sabrina kebingungan harus ke arah mana dirinya berlari kalau Rangga maju lebih dekat.

“Aku kurang apa emangnya sampai kamu mau minta putus begini? Aku kurang royal? Iya? Apa yang udah aku lakuin buat kamu selama ini kurang? Kasih tahu aku alasan kenapa kamu sampai tiba-tiba berani minta putus.”

Sabrina memejamkan mata sejenak, mencoba meyakinkan diri kalau dia bisa melewati ini, kalau dirinya bisa membuka mata dan menatap balik sosok Rangga yang kini berdiri menjulang di depannya, kalau dirinya bisa melawan kalau saja Rangga kembali melayangkan pukulan ke arahnya. Namun belum sempat Sabrina mengatakan apapun, Rangga menginterupsinya dengan mengucapkan sesuatu.

We're in public, I won't hit you. Buka mata kamu dan jangan bersikap seolah-olah kamu lagi diintimidasi, Sabrina.”

Masalahnya, Sabrina tidak bisa menyebutkan kata apapun yang cocok menggambarkan situasi itu selain dengan kata kalau dirinya merasa terintimidasi. Dengan segenap keberanian yang dia punya, Sabrina membuka mata dan menatap Rangga dengan tatapan menantang.

“Itu tadi adalah salah satu alasan kenapa aku berani minta putus dari kamu,” jawab gadis itu. Punggungnya yang sedari tadi menempel pada dinding perlahan mendapat kekuatan untuk tak lagi bertumpu di sana.

You hit me, many times dan aku bahkan nyesel kenapa baru sekarang aku berani minta putus dari kamu. Harusnya dari awal sejak kamu berani main tangan, aku udah lari sejauh-jauhnya dari kamu. But I was too dumb for your sweet lies padahal yang kamu bilang itu semuanya omong kosong yang gak sepatutnya aku percaya.”

Sabrina bisa melihat kalau rahang Rangga semakin mengetat dan kedua tangan lelaki itu mengepal semakin erat. Kalau Sabrina masih nekat melanjutkan kalimatnya, kepalan tangan itu mungkin benar-benar akan terarah padanya seperti yang hari-hari sebelumnya terjadi. Namun Sabrina sudah terlanjur kehilangan kewarasannya, bukannya berlari dan menyelamatkan diri, gadis itu malah bertekad menerima pukulan yang kemungkinan besar akan benar-benar dia terima dari Rangga dan membiarkan lelaki itu lepas kendali sehingga orang-orang yang lewat di sekitar mereka akan tahu kalau lelaki di depannya ini tengah memukulnya. Biarlah begitu, biarlah reputasi yang Rangga bangun susah payah sebagai mahasiswa baik dan berprestasi selama ini hancur dalam sekejap karena perbuatannya sendiri, Sabrina yakin dirinya akan bisa menahan rasa sakit dari pukulan Rangga nantinya asal lelaki itu juga ikut hancur.

“Siapa?” tanya Rangga.

Sabrina memandang lelaki itu bingung.

“Siapa yang ngasih doktrin ke kamu kalau semua yang kulakuin selama ini itu salah? Siapa orang yang udah berani mempengaruhi pikiran kamu sampai kamu jadi cewek gak tahu diri begini?” tanya Rangga sekali lagi. Lelaki itu memandang Sabrina dari kepala hingga ujung kaki, memindai pakaian yang Sabrina gunakan di tubuhnya pagi itu dan membuat Sabrina merasa ketakutan setengah mati. “Siapa yang udah cuci otak kamu sampai kamu berani melanggar peraturan dari aku untuk gak pakai pakaian kayak gini? Siapa yang berhasil bujuk kamu sampai berani ke kampus dengan penampilan kayak orang mau jual diri begini, Sabrina?”

Sabrina merasa napasnya mulai memburu, gadis itu kesulitan mengatur tarikan dan hembusan udara yang masuk ke dalam paru-parunya. Kalimat yang Rangga katakan barusan menusuknya hingga ke ulu hati, membuat Sabrina gemetaran sebab darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.

There's nothing wrong with the way I dress, dumbass.

Rangga memicingkan mata. “What did you just call me?

Sabrina maju satu langkah, membuat jarak mereka kini benar-benar dekat sampai dia mampu mendengar deru napas Rangga yang sama berantakannya dengan dirinya.

I said, there's nothing wrong with the way I dress and I called you a dumbass, a fucking dumbass who ruined my life.” Sabrina nekat mengangkat tangannya, menusukkan telunjuk ke dada Rangga dan mendorong lelaki itu untuk mundur.

Gadis itu benar-benar sudah tidak peduli kalau setelah ini wajah atau bagian tubuhnya yang lain akan menjadi korban pukulan Rangga seperti yang sudah-sudah. Sabrina sudah cukup mengalah selama ini, hanya karena kebodohannya yang percaya kalau Rangga akan berubah dan perilaku lelaki itu hanya didasari emosi sesaat. Sudah cukup baginya menjadi bulan-bulanan lelaki itu, merelakan tubuhnya menjadi samsak tinju hanya karena kesalahan kecil yang dia perbuat. Sudah cukup dan tidak lagi, Sabrina sudah muak dan gadis itu sadar kalau seharusnya dia sudah kabur dari lelaki itu sejak lama.

“Satu tahun, Rangga.” Sabrina menarik napas pelan seiring kalimatnya mengalir dengan suara bergetar. “Satu tahun aku jalani dengan perasaan tersiksa setiap kali melakukan sesuatu cuma karena takut kamu bakal marah dan berakhir mukul aku lagi. Satu tahun aku jalani kayak di neraka cuma karena aku takut kamu kecewa dan mengancam bakal menyakiti diri kamu sendiri karena gak mau aku pergi dari kamu. Satu tahun, harusnya gak perlu waktu selama itu buat aku sadar kalau aku sama sekali gak pantas hidup dalam neraka itu cuma buat kamu. Harusnya aku sadar lebih cepat dan membebaskan diri dari kamu.”

Dalam hitungan detik setelah kalimat itu tersampai, Sabrina bisa merasakan sebuah tarikan kencang di rambut belakangnya. Rangga tentu merupakan pelakunya, lelaki itu tengah menatapnya dengan tatapan menggelap. Rangga benar-benar kehilangan kendalinya dan berakhir meluapkan amarah yang memuncak dalam dirinya dengan cara menjadikan Sabrina samsak tinjunya, entah untuk yang ke berapa kali ini.

Sabrina meringis menahan sakit, dan keadaan diperparah dengan tekanan kuat yang dia dapatkan dari tangan Rangga yang menekan lehernya. Rangga mencekiknya dengan segenap kekuatan yang lelaki itu punya, membuat Sabrina semakin kesulitan bernapas dan batuk mulai menyerangnya tanpa ampun.

“Tolong—”

Sabrina mencoba untuk bersuara, berharap kalau ada seseorang yang melihat mereka dan menghentikan Rangga dari tindakan yang lelaki itu tengah lakukan. Meski sebetulnya Sabrina kurang yakin akan hal itu, sebab posisi mereka sedikit terhalang oleh tangga menuju lantai dua sehingga orang-orang yang berlalu lalang mungkin tidak akan dapat melihat dengan jelas.

“Harusnya kamu tahu diri, Sabrina. Setelah semua yang kulakuin buat kamu selama ini, setelah semua barang yang kukasih dan semua waktu yang kubuang cuma buat kamu, harusnya kamu tahu diri dan gak bersikap kayak gini. Dimana kata terima kasih yang sepantasnya kamu bilang ke aku? Kalau tanpa aku, kamu pasti gak akan bisa jadi kamu yang sekarang. Harusnya kamu berterima kasih karena aku bisa aja buang kamu dari dulu, tapi aku gak pernah melakukan itu karena kasihan sama kamu. Harusnya kamu bersyukur karena gak pernah kubuang dari dulu. Kukira dengan ngasih kamu keringanan selama ini, kamu bakal sadar akan hal itu dan memilih untuk bersyukur, but you proved me wrong. Kamu berhasil buktiin ke aku kalau seharusnya, aku gak pernah merasa kasihan sama kamu. Kalau seharusnya, aku gak pernah mengorbankan waktuku buat kamu. Kalau harusnya aku gak pernah sayang sama orang yang gak ngerti disayang kayak kamu.”

“Rangga—”

Mendengar suara Sabrina yang tercekat dan bagaimana kedua mata bulat di hadapannya itu mulai berkaca-kaca, Rangga tersenyum miring. Lelaki itu kemudian melepaskan cekikannya dan memberikan Sabrina kesempatan untuk membalas kalimatnya.

“Sayang sama orang lain gak seharusnya sesakit ini, Rangga.” Sabrina mengatakan hal itu dengan lirih sebab pita suaranya masih terasa tercekat akibat cekikan yang Rangga berikan. Gadis itu melanjutkan, “Gak ada manusia waras yang mukul orang yang dia sayang, cuma orang gila yang ngelakuin itu.”

“Dan menurut kamu aku gila?”

Sabrina mengangguk menantang. “You're totally out of your mind, kamu sama sekali gak bisa disebut sebagai manusia normal dan harusnya aku sadar akan hal itu sejak lama.”

Rangga menyempatkan diri untuk tertawa pelan sebelum kemudian menarik Sabrina menuju bagian kosong di bawah tangga. Posisinya benar-benar tidak menguntungkan sekarang, Sabrina yakin kalau tidak akan ada orang yang akan tahu kalau mereka sedang berada di sana kalau tidak benar-benar berjalan menuju lorong sempit di samping tangga yang gelap gulita.

“Tarik lagi kata-kata kamu dan aku bakal pura-pura kalau kamu gak pernah minta putus,” ucap Rangga dengan suara mengancam. Suara lelaki itu pelan, tapi berhasil membuat seluruh tubuh Sabrina merinding akan rasa takut.

“Aku mau putus,” ucap Sabrina sekali lagi.

“Aku gak bisa terus-terusan hidup dalam rasa takut kayak gini, aku gak bisa selalu jadi samsak tinju kamu dengan alasan kalau aku udah ngelakuin kesalahan padahal saat itu kamu cuma pengen marah-marah gak jelas. Aku gak bisa terus-terusan jadi tempat kamu melampiaskan emosi padahal aku gak salah apa-apa. Aku gak bisa hidup terkekang kayak gini terus, Rangga. Aku mau bebas dan satu-satunya cara untuk bebas adalah lepas dari kamu.”

You don't mean it, sweetheart. You don't mean everything you told me just now, aku tahu kamu gak bisa lepas dari aku. You can just say sorry and I'll forget everything you said earlier, kamu cukup minta maaf dan janji gak akan jadi anak bandel kayak gini lagi.”

Namun Sabrina lebih memilih untuk mengorbankan dirinya demi mengatakan hal lain yang sejak lama dia simpan di kepalanya sendiri. “Aku gak akan pernah minta maaf, mau kamu pukul aku sampai mati pun, aku gak akan pernah mau minta maaf dan jadi orang bodoh lagi. Kamu mau tahu sesuatu? Aku harap seluruh dunia tahu kalau sempurna yang kamu coba tunjukin ke mereka itu cuma omong kosong, kalau image yang kamu coba jaga setengah mati itu cuma topeng yang kamu pakai buat menutupi sifat kamu yang mirip sampah. Aku harap mereka tahu kalau orang yang mereka elu-elukan ini sebenarnya sama sekali gak pantas mendapat pujian itu.”

Tanpa aba-aba, Rangga kembali mencekik leher Sabrina. Kali ini tekanan yang Rangga berikan di sana benar-benar di luar dugaan dan membuat Sabrina tak mampu bernapas. Rangga menekan tepat di jalur udaranya dan Sabrina tidak yakin kalau dirinya bisa menyelamatkan diri setelah ini. Tangan gadis itu menggapai-gapai udara, matanya memejam erat dan jantungnya bergema gila-gilaan di dalam sana. Sabrina benar-benar ketakutan, nyawanya berada di dalam bahaya dan yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah berdoa kalau akan ada seseorang yang datang ke sana untuk menolongnya.

What a pathetic little girl,” ucap Rangga dengan suara berbisik. Lelaki itu mendekatkan wajah ke arah Sabrina, bermaksud untuk menghadiahkan sebuah kecupan di wajah Sabrina sebelum kemudian lelaki itu berteriak kencang karena entah dengan kekuatan dari mana, Sabrina berhasil menendang area selangkangannya.

Rangga terhuyung ke belakang, kakinya refleks mundur dan tubuhnya membungkuk menahan sakit. Erangan keras Rangga keluarkan dari belah bibirnya, sementara Sabrina langsung mengambil langkah seribu dari sana. Gadis itu berlari kencang menuju area gedung yang lebih ramai dan kepanikan yang terlihat amat kentara menguar darinya itu membuat orang-orang yang melihat hal itu mulai menaruh perhatian. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan yang Sabrina tebak adalah seorang dosen kemudian menghampirinya, memegang kedua bahunya dan memberi instruksi padanya untuk menenangkan diri.

“Dia—”

Suara Sabrina tercekat saat ekor matanya melihat sosok Rangga yang muncul dari arah tangga. Orang-orang yang menyadari itu pun mulai berkerumun membentuk sebuah benteng bagi Sabrina dan wanita yang membantunya tadi.

Sabrina menunjuk ke arah Rangga yang berjalan pelan ke arahnya. “Dia tadi nyekik saya dan mengancam saya karena saya minta putus. Dia selalu mukul saya selama kami berdua masih pacaran, dia selalu jadiin saya samsak tinjunya tiap kali dia emosi. Saya takut sama dia, saya—”

Sabrina tidak lagi mampu melanjutkan kalimatnya sebab beberapa orang lelaki yang berada di sana mulai menahan tubuh Rangga dan membuat lelaki itu tidak mampu mendekati Sabrina lagi. Tangis Sabrina pecah, rasa perih dari bekas tekanan yang Rangga berikan di lehernya membuat gadis itu semakin vokal menyuarakan tangis.

“Leher kamu berdarah, Nak, astaga!” Wanita yang sejak tadi menolongnya itu berteriak cukup kencang dan membuat kerumunan semakin ramai.

Detik itu, Sabrina benar-benar menjatuhkan diri ke lantai dan membiarkan orang-orang di dekatnya menyambut tubuhnya. Sabrina kehilangan kesadaran setelahnya dan saat terbangun, gadis itu menemukan dirinya sudah berada di sebuah ruangan putih asing yang ternyata adalah klinik di kampus itu.

Hari itu adalah titik awal bagi kehidupan Sabrina berubah. Gadis itu resmi melepaskan diri dari Rangga dan berhasil membuat Rangga tak lagi dikenal sebagai pribadi yang baik di kalangan mahasiswa kampusnya. Rangga menghilang dari pandangannya, entah kemana perginya lelaki itu. Sabrina lebih memilih untuk bersikap tidak peduli dan mulai menjalani hidupnya dengan baik. Namun masalah lain datang saat dua bulan kemudian, Rangga kembali muncul.

Lelaki itu meneror semua akun media sosial milik Sabrina, mendatangi kamar kosnya dan membuat Sabrina sampai harus menginap di tempat lain saking takutnya akan bertemu dengan lelaki itu. Sabrina sampai harus mengganti nomor teleponnya beberapa kali dan menghapus semua jenis akun yang dia punya, termasuk email yang dia gunakan sebab Rangga benar-benar mengganggunya sampai ke tahap separah itu. Namun tanpa disangka-sangka, masalah itu membawanya mengenal Romeo dan membuat kisah mereka dimulai.

Hari itu setelah lepas dari Rangga, Sabrina sama sekali tidak pernah berniat untuk kembali terlibat pada lelaki lain lagi. Namun teror yang gadis itu dapatkan dari mantan kekasihnya itu membuat Sabrina dengan terpaksa harus terlibat dengan orang lain lagi dan orang itu adalah Romeo.

-