Hampir Selesai

Jean sama sekali tidak pernah menyangka kalau dalam hidupnya, akan ada saat dimana dia menyetir menuju rumah seseorang hanya demi beberapa buah mangga muda. Ada hangat yang menyebar ke seluruh dada Jean tiap kali mengingat alasan dari keinginan aneh yang beberapa bulan ini selalu menghampirinya itu.

Makaila.

Nama itu membuat Jean diam-diam tersenyum dan jantungnya berdetak tak karuan. Padahal bertemu saja belum pernah, tapi Jean sudah menanamkan dalam hati kalau nantinya, si pemilik nama itu akan menjadi penguasa nomor satu dalam hidupnya setelah Anindia. Padahal bentuk dan wajahnya pun masih kelabu, tapi Jean sudah berani bersumpah kalau makhluk kecil itu akan menjadi kelemahannya yang paling lemah, kekuatannya yang paling kuat, dan kebahagiaan yang membuatnya paling bahagia.

Sebelum hari ini, Anin sudah berkali-kali meminta Jean untuk tidak bersikap berlebihan. Tidak baik, begitu katanya. Jean sendiri tidak tahu mana bagian yang tidak baik dari mendambakan seorang bayi, baginya menunggu kehadiran si kecil itu adalah sebuah momentum yang harus disambut dengan sukacita.

Senyum kecil muncul di wajah Jean saat kepalanya lagi-lagi memikirkan hal yang sama. Ah, Anindia dan Makaila membuatnya sampai lupa diri akhir-akhir hingga rasanya, Jean mulai cocok dipanggil orang gila karena terus-terusan tersenyum dan tertawa sendiri hanya dengan memikirkan kalau dua nama itu.

Padahal hari ini masih hari ke 100. Masih ada 80 hari lagi sampai waktu dimana Makaila diperkirakan akan melihat dunia oleh dokter kandungan yang tiap bulan dia dan Anin datangi. Masih ada kurang lebih dua bulan dan 20 hari sebelum Anin dijadwalkan melakukan persalinan, tapi euforianya sudah bisa Jean rasakan sejak sekarang. Apalagi, tiap kali memikirkan bahwa si kecil itu tampaknya punya ikatan yang cukup erat dengan Jean. Buktinya, sejak kehamilan Anin di bulan pertama, Jean selalu kebagian merasakan mual dan ngidam layaknya ibu hamil.

Anin bilang hal itu wajar, sedangkan Ibun bilang kalau hal itu bisa saja menjadi tanda kalau anaknya punya ikatan yang lebih erat dengan sang ayah. Jean bersumpah kalau dirinya tidak pernah merasa seberbunga itu sebelumnya ketika mendengar pendapat Ibun mengenai mual dan ngidam aneh yang dia rasakan.

“Tapi bagus loh, Je. Sejak mual sama ngidamnya pindah ke kamu, Anin jadi jarang mual, kan? Malah enak kalau begitu, Anin jadi ngga perlu repot bolak-balik kamar mandi buat muntah. Terus kata teman Ibun, kalau misal yang ngidam itu ayahnya, berarti bayinya bakal jadi anak ayah banget.”

Jean ingat ketika Ibun berkata demikian padanya dan Anin waktu mereka berkunjung. Anin bereaksi bingung, katanya hal-hal seperti itu tidak bisa dikatakan baik karena sejak mual dan ngidam yang Anin alami berbalik menyerang Jean, lelaki itu dibuat kerepotan setiap pagi. Nafsu makan lelaki itu turun drastis, Jean jadi lebih pemilih soal makanan dan minuman yang masuk ke lambungnya sebab salah sedikit, lelaki itu akan langsung muntah tanpa henti hanya karena mencium bau makanan yang terlalu menyengat.

Reaksi Anin berbanding terbalik dengan Jean yang malah tersenyum lebar seolah baru saja mendengar kabar gembira. Pipinya memerah hanya dengan membayangkan kalau nantinya, Makaila akan jadi anak yang “ayah banget” seperti kata Ibun. Jean sampai tak berhenti mengecup punggung tangan Anin ketika mereka berdua sudah berada dalam perjalanan pulang. Kata terima kasih tidak pernah tertinggal keluar dari bibir Jean, kata itu terucap bersamaan dengan rasa syukur dan doa yang tak hentinya Jean panjatkan diam-diam dalam hati.

Segalanya berjalan lancar, padahal beberapa hari sebelumnya Jean sempat dibuat tidak tidur karena mimpi yang menghampirinya soal kematian. Beberapa hari ini berjalan amat mulus, seolah mimpi yang mendatangi Jean hari itu tidak pernah ada dan tangisan yang lelaki itu tumpahkan di depan Aksara tidaklah berarti apa-apa.

Padahal hari itu, Aksara dengan sampai harus meminta maaf berkali-kali pada pengunjung kafe lain yang memperhatikan mereka dan sampai harus menjelaskan kalau Jean menangis karena kalah taruhan. Untuk alasan yang satu itu, Jean sempat protes tapi dia sadar kalau Aksara tidak mungkin dengan jujur mengatakan kalau Jean menangis karena bermimpi akan meninggalkan wanita yang dicintainya menuju alam kematian. Jadi, dia memaklumi hal itu dan memilih untuk menyeka air mata yang masih menganaksungai di pipi.

Kalau dipikir-pikir, Jean juga tidak menyangka dirinya akan sampai menangis sebegitu hebohnya di depan Aksara. Mimpi yang dia lihat dalam tidurnya terlalu nyata, Jean sampai kesulitan tidur berhari-hari setelahnya hingga beberapa kali datang terlambat ke kantor karena baru bisa memejamkan mata di pukul tiga.

Dan kalau melihat bagaimana hari ini dirinya sudah bisa tersenyum lebar layaknya orang gila, Jean sedikit tidak percaya kalau dia pernah ketakutan seperti itu. Jean sampai harus menggeleng-gelengkan kepalanya, meminta kewarasannya untuk kembali dan menyetir dengan benar dalam perjalanan menuju rumah milik Aksara.

Untungnya, lelaki itu berhasil sampai di halaman depan rumah besar milik Aksara dengan selamat tanpa cacat. Jean memberhentikan mobilnya di depan pagar, kemudian turun dari sana untuk menghampiri seorang satpam yang tengah berjaga di pos bagian depan rumah. Melihat Jean yang mendekat ke arahnya, lelaki setengah baya dengan seragam keamanan itu langsung memberi senyum ramah dan menyapa Jean lebih dulu.

“Temannya Mas Aksara yang mau minta mangga ya?” tanya lelaki itu.

Jean meringis tipis, merasa sedikit tidak nyaman dengan sebutan itu namun tidak dapat membantah dan hanya bisa mengangguk sembari tersenyum sopan. “Iya, Pak. Kata Aksara masuk aja terus ambil sendiri mangganya di belakang soalnya dia masih ada operasi di rumah sakit.”

Lelaki di depan Jean itu mengangguk paham. Tangannya kemudian bergerak membuka gerbang dan mempersilakan Jean untuk masuk. Jean segera berjalan menuju mobilnya, kemudian kembali menghidupkan mesin kendaraan miliknya itu untuk dibawa masuk dan diparkirkan di area dalam rumah.

“Ayo, Mas. Saya temenin ke belakang,” ajak lelaki itu setelah Jean turun dari mobil. Jean mengangguk semangat, persis anak kecil yang dijanjikan es krim oleh sang ibu.

Tanpa basa-basi, dua orang itu berjalan menuju halaman belakang rumah seraya berbincang kecil. Tawa lepas Jean menggelegar ketika ditanya soal tujuannya sampai jauh-jauh kemari hanya demi mangga muda itu. Dengan malu-malu, Jean mengaku kalau buah dengan rasa asam dan sepat itu untuk dimakan olehnya sendiri karena sedang mengalami fase syndrome couvade atau kehamilan simpatik. Mereka sampai di halaman yang dituju, mata Jean langsung memberondong ke arah sebuah pohon mangga berukuran sedang yang tengah berbuah lebat. Tanpa membuang waktu, Jean langsung menghampiri pohon itu dan memilih buah mana yang akan masuk ke dalam kantong plastik di tangannya.

“Saya baru dengar kalau suami bisa ngidam juga, Mas. Biasanya kalau istrinya hamil, suaminya santai aja. Nah, kalau kasusnya Mas Jean ini kayaknya karena udah terlalu sayang sama istrinya, ya?” tanya lelaki itu dengan nada bercanda. Jean hanya menanggapi dengan tawa, tangannya sibuk memetik buah mangga yang tingginya sama dengan telinga Jean. Mudah bagi mereka untuk memetik mangga itu sebab jumlahnya yang melimpah dan dahan pohon yang tidak begitu tinggi.

Setelah memetik sebanyak lima buah, Jean menatap puas mangga yang berhasil dia masukkan ke dalam kantong plastik hitam bawaannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Jean kembali ke mobilnya dan berniat pulang. Mangga yang sejak tadi pagi membuatnya sampai tidak fokus bekerja itu sudah di tangan, Jean rasa lima buah sudah cukup dan sudah waktunya untuk memberikan benda itu kepada Anin.

Jean baru hendak membelokkan mobilnya ke arah jalan pulang, tapi lelaki itu secara refleks menginjak rem ketika matanya melihat seorang lelaki yang tengah berjalan gontai tak jauh dari rumah Aksara. Perawakannya tampak tidak asing, Jean yakin dia mengenal punggung dan jaket yang membalut tubuh lelaki itu meski hanya dengan melihat dari belakang.

Secara impulsif, Jean jalankan mobilnya ke arah berlawanan dari arah yang seharusnya agar dapat menyusul lelaki itu. Kakinya menekan pedal gas sedikit demi sedikit agar dapat mengikuti sosok itu dengan perlahan. Lalu, ketika mobilnya melintas tepat di samping lelaki itu, Jean sontak menginjak remnya lagi tanpa aba-aba.

“Hema!” seru Jean.

Itu Hema. Jean tidak salah lihat.

Lelaki yang tengah berjalan sambil menenteng tas yang Jean yakin berisi kamera itu adalah Hema. Temannya itu sontak ikut berhenti di tempat, well sebenarnya Jean sendiri bingung harus dengan panggilan apa dia harus menyebut lelaki yang kini tengah menatapnya dengan tatapan terkejut itu.

Jean langsung turun dari mobilnya dan sedikit berlari kecil menghampiri Hema yang masih terperangah. Lalu ketika mereka berdua sudah berdiri berhadapan, Jean baru menyadari kalau ada yang berbeda dari sosok Hema yang kini tengah dia tatap itu.

Hema tampak kurus, jauh lebih kurus daripada Hema yang terakhir kali Jean temui beberapa bulan lalu. Rambut lelaki itu berantakan dan tidak tersisir rapi, ujung surainya bahkan sudah menyentuh area dua jari di bawah telinga. Hema tampak kacau dan sebagai orang yang bertahun-tahun mengenal lelaki itu sebagai teman, Jean mengaku kalau ada retak yang mengganggu hatinya ketika melihat bagaimana berantakannya lelaki di depannya itu.

“Lo mau kemana?” tanya Jean.

Namun bukannya menjawab pertanyaan Jean, Hema malah balik bertanya. “Apa kabar, Je? Lo kelihatan baik-baik aja.”

Pertanyaan itu datang dengan nada canggung yang tidak terelakkan. Jean sampai mengerutkan keningnya saking tidak nyamannya berada dalam situasi semacam itu dengan Hema. Mereka belum pernah secanggung itu sejak terakhir kali bertemu.

“Harusnya gue yang nanya, Hema. Apa kabar? Lo kelihatan ngga baik-baik aja and I swear, lo ngga kelihatan kayak Hema yang gue kenal selama ini.” Jean mengambil jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya seraya memperhatikan Hema dari ujung kaki hingga kepala. “I was looking for you for these couple of days, gue rasa kita perlu bicara setelah apa yang terjadi di hari Anin keguguran itu.”

Hema mengerjapkan mata berkali-kali. “Anin... keguguran?”

Jean mengangguk pelan, dadanya tiba-tiba dihantam nyeri tak berujung kala mengingat hari terakhir dimana dia melihat Hema dan hari dimana Anin kehilangan satu janin di dalam rahimnya itu.

“Bayinya kembar and we lost one of the babies that day. Anin luar biasa kacau karena kejadian itu dan yah, banyak yang terjadi setelahnya. Lo dan Karin menghilang dan gue berupaya nyari kalian buat meluruskan hal-hal yang terjadi di masa lalu. Termasuk perkara minta maaf ke Karin dan ngasih penjelasan ke dia dengan detail soal kejadian tiga tahun lalu.”

Hema menatap Jean dengan tatapan yang tidak bisa Jean artikan. Seperti ada luka dalam dan rasa bersalah yang menyelimuti bola mata bulat yang dulu sering melemparkan kesan jahil itu.

“Lo ngga benci gue setelah kejadian itu?” tanya Hema.

Jean tidak menggeleng dan tidak juga mengangguk. Lelaki itu memilih untuk diam dan menyandarkan punggungnya di kap mobil. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku, matanya terarah pada Hema dengan tatapan sendu.

“Gue sempat membenci lo sepenuh hati setelah hari itu, terutama di masa-masa pemulihan Anin. Tapi Anin bilang, lo ngga harus mendapat kebencian karena cinta sama seseorang, jadi gue memutuskan untuk memaafkan dan gue juga sadar kalau masalah ini ngga akan terjadi kalau gue ngga mengambil keputusan dengan gegabah dan bodoh.”

Ada panas yang kontan merambati kedua mata Hema ketika mendengar kalau Anin bicara begitu tentang dirinya. Rasa bersalah yang awalnya hanya mencubit ujung hatinya kini semakin besar dan membuat Hema sampai harus menarik napas panjang demi membuat dadanya terasa sedikit longgar.

“Gue ngga pantas dimaafkan semudah itu, Je.” Hema menunduk dalam, kemudian tanpa dikomando setitik air mata jatuh membasahi ujung sepatu yang dia kenakan. Hema melanjutkan, “Kalau aja gue ngga main-main di belakang lo, Anin pasti ngga perlu semenderita itu sampai harus kehilangan satu bayinya. Lo juga ngga harus menanggung beban yang lebih berat kalau gue jujur dari awal kalau gue dan Karin punya hubungan di belakang lo. Kalau gue jujur dari awal soal itu, lo pasti punya kesempatan untuk ngejar Anin lebih awal dan bikin dia jadi punya lo lagi tanpa harus terluka sebanyak ini.”

Jean menggigit bibirnya, ada sesak yang melanda dadanya tiap kali nama Anindia disebut oleh Hema. Ada yang terasa hancur lebur tiap kali kalimat Hema keluar dari belah lidahnya, sebab seiring dengan kata demi kata itu terucap, Jean diam-diam mengamini kalimat itu agar menjadi nyata.

Agar Hema jujur padanya lebih awal supaya Jean tidak perlu merencanakan hidupnya dengan Karin terlalu jauh. Agar Hema mengaku padanya lebih awal supaya Jean tidak perlu menyakiti Anin sebanyak itu.

Tapi yang dia aminkan hanya sekedar kalimat kosong. Segalanya sudah terjadi. Bahkan mengaminkan hal itu seribu kali pun tidak akan mengubah satupun yang sudah terjadi. Anindia sudah terlanjur sakit, hidup Jean sudah terlanjur berantakan. Jadi, mau satu juta kali pun diaminkan, kalau sudah terjadi maka terjadilah.

“Gue—”

Jean baru berniat membalas kalimat Hema ketika ponselnya berdering nyaring. Nama Anin muncul di layar dan tanpa basa-basi, Jean menggeser layar ponselnya untuk menerima panggilan itu.

“Halo, Sayang?”

Namun, yang Jean dengar bukan suara Anin yang menyapa, melainkan suara asisten rumah tangganya yang bersuara.

Pak Jean!

Suara wanita itu terdengar panik dan hal itu membuat Jean ikut panik.

“Iya? Kenapa? Anin mana?!”

Napas wanita itu terdengar berantakan, tampak kentara kalau wanita itu tengah dilanda panik. “Halo? Bu? Kenapa? Anin kenapa?”

Jean luar biasa panik.

Bu Anin, Pak... Bu Anin pingsan, ada darah yang ngalir di pahanya dan sekarang lagi dibawa ke rumah sakit sama sopirnya Pak Jean. Saya nemuin Bu Anin di kamar mandi dan Ibu udah dalam keadaan pingsan.

Detik itu, ponsel Jean terhempas dari tangan lelaki itu.

-