Her
Harusnya, Anin tahu sejak awal kalau dirinya tidak perlu merasa sedikit senang atas kehadirannya dan Jean di tempat ini. Harusnya, Anin bersikap seperti biasa. Dia hanya menemani Jean karena lelaki itu tak punya pilihan lain, harusnya dia menanamkan itu sejak pertama kali datang kemari.
Sebab kala dia tengah berdiri memerhatikan punggung tegap Jean yang tengah berbincang dengan salah satu pekerja, Anin menangkap sebuah rasa panik yang membumbung tinggi kala Jean memutar tubuh.
Di detik itu, Anin tahu dengan jelas dan pasti, kalau Karinina pasti menjadi alasan di balik raut khawatir itu.
“Kita ke rumah sakit sekarang, Karin kecelakaan.”
Langkah lelaki itu terburu-buru, bahkan tak lagi menunggu Anin yang jauh tertinggal di belakangnya. Maka di kala dia menyadarkan diri, Anin menghembuskan napas pelan. Ia berusaha menyamarkan getar yang secara tiba-tiba merambat, membuatnya merasa tidak nyaman secara seketika.
Lalu di dalam hati, Anin tergelak sendiri kala kembali memutar kalimat yang seseorang katakan padanya.
“Anindia, kalau cuma mewariskan penderitaan, mau setulus apapun kamu mencinta, ngga akan ada gunanya.”
Sebab sekarang, Anin kelewat paham, kalau hanya ada Karinina, dan tak akan pernah ada kata Anindia di kepala Jeandra.