Her – Dari Aksara
CW // Mention of death , Blood
Aksa belum pernah merasa setakut ini akan kehilangan seseorang. Seumur hidupnya, Aksa melihat begitu banyak kematian karena pekerjaan yang dia tekuni. Baik di ruang operasi atau kerabat terdekatnya, Aksa terlalu sering melihat kematian. Tapi tidak satupun di antara mereka yang berhasil membuatnya bergetar hingga ke seluruh tubuh sampai kakinya lemas.
Anindia menjadi yang pertama membuat Aksa merasa demikian. Wanita itu membuat Aksa tahu bagaimana rasanya takut kehilangan, takut ditinggalkan, takut melepaskan.
Wajah Anin pucat pasi, darah segar masih mengalir cukup deras dari sela pahanya yang terbalut dress hijau cerah, membuat gaun cantik itu dipenuhi noda merah pekat di sebagian besar area bawahnya.
“Be safe, Anindia, I beg you.” Kalimat itu berkali-kali Aksa rapalkan pelan sambil terus melirik ke arah kursi bagian belakang tempat dimana Anin direngkuh erat oleh sang ayah. Lelaki yang akrab Anin sapa dengan panggilan “Papa” itu sama sekali tidak membiarkan satu pun bagian tubuh Anin terlewat oleh elusan pelan penuh kasih sayang khas seorang ayah.
Perjalanan ke rumah sakit terasa luar biasa lambat, Aksa bahkan berkali-kali mengumpat tanpa berpikir kalau bukan hanya dirinya yang berada di dalam mobil. Sampai akhirnya, mereka sampai di hadapan rumah sakit tempat Aksa bekerja, Papa langsung membawa tubuh Anin keluar dari dalam mobil.
Aksa mengikuti langkah lelaki setengah baya itu dengan tergesa, kemudian berteriak kepada beberapa staf di sana untuk membantunya membawa Anin. Kemeja yang Aksa pakai terkena noda darah dari tubuh Anin, tapi lelaki itu tidak punya waktu untuk peduli. Ia sibuk memberi arahan kepada perawat dan beberapa dokter bawahannya, memastikan kalau semua orang bergerak cepat untuk memberi pertolongan pertama pada Anin.
Butuh setidaknya 10 menit bagi Aksa sampai semua prosedur sudah siap dan dia bisa menarik diri dari sana. Sadar kalau situasi yang terjadi kali ini bukan ranah pekerjaannya, Aksa terpaksa menyerahkan Anin sepenuhnya pada orang-orang yang bertanggung jawab atas itu.
Aksa mendudukkan diri dengan cemas di samping Papa Anin, pandangan lelaki itu lurus ke depan dengan kedua tangan bergetar. Lelaki itu mungkin jauh lebih cemas daripada Aksa sendiri, dan dia bisa memahami itu sepenuhnya.
Tanpa Aksa duga, gerakan Papa selanjutnya membuatnya tersentak. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dan tampak menghubungi seseorang melalui panggilan telepon. Fokusnya tertuju pada nama dari sosok yang sering Anin ceritakan dan dia panggil dengan sapaan “Ibun”.
Aksa hendak bertanya, namun ia urungkan sebab merasa kalau hal itu terlalu privasi dan dia tidak dapat ikut campur dalam urusan itu.
“She's bleeding, I'm so afraid that we'll lost the baby.” Itu yang Aksa dengar meski suara Papa cukup pelan. Aksa menegang dalam sekejap, dan Papa yang seolah mengerti kekhawatiran yang membayang di kedua netra Aksa memberi kode agar dia mendekat.
Percakapan di telepon masih berlanjut, sampai akhirnya dua menit kemudian, panggilan terputus. Lelaki setengah baya di hadapan Aksa itu mengangkat pandangan, menatap lurus pada Aksa dan menghela napas.
“Ibunya Jeandra harus tau soal apa yang anaknya lakuin ke Anin.”
Itu kata Papa. Aksa mengerjap, namun diam-diam setuju dengan kalimat itu. Aksa paham kalau kondisi Ibun mungkin belum sepenuhnya stabil, mengingat dirinya adalah satu dari beberapa orang saksi yang mengetahui kejadian tiga tahun lalu. Namun untuk urusan kehamilan Anin, wanita itu mungkin memang sudah seharusnya tahu.
Look, bertemu dengan Anindia sama sekali tidak pernah dia rencanakan. Takdir yang mengacak-acak mereka dan pada akhirnya membuat dirinya tanpa sengaja terlibat dengan Anin dan membuat segala kebetulan terjadi. Aksa sama sekali tidak mengetahui kalau Anin adalah orang yang disebut-sebut oleh Hema dan Jean di hari operasi Ibun, gadis yang namanya berkali-kali menjadi perbincangan antara dua orang itu dan berakhir dengan Jeandra yang menangis di ujung lorong rumah sakit.
“Gue udah ninggalin Anin.” Seingat Aksa, kalimat itulah yang terakhir kali dia dengar dari Jeandra tanpa sengaja sebelum dia memutuskan untuk berhenti terlibat lebih jauh. Aksa hanya berusaha menjalankan tugasnya sebagai dokter, ia sama sekali tidak menduga kalau pekerjaan membuat dirinya harus terlibat dengan urusan pasien walau secara tidak langsung.
Bertemu langsung dengan sosok Anin yang menjadi alasan Jean menangis di samping ranjang rumah sakit Ibun tiga tahun lalu, adalah sebuah kebetulan yang tidak Aksa duga sebelumnya. Di awal mereka bertemu, Aksa bersumpah kalau dirinya tidak pernah mengira kalau Anindia yang dia temui adalah Anindia yang sama dengan yang dulu Jean sebut.
Jatuh untuk Anin juga sama sekali tidak pernah dia duga, sama sekali. Sebab Aksa sendiri sebetulnya tidak punya rencana untuk sejatuh ini untuk seorang wanita, tapi Anindia berhasil membuatnya jatuh amat dalam hingga sulit untuk kembali bangkit.
“Saya ngga tau apa masalah yang Jean hadapi sampai harus serumit ini, tapi nyakitin Anin ngga bisa dijadikan satu-satunya pilihan,” gumam Papa.
Aksa menatap lurus pada lantai dingin rumah sakit. Dalam hati, Aksa menggumam kalau Ibun sendirilah yang menjadi akar masalahnya. Tapi mulutnya terkunci, Aksa tidak punya nyali untuk menyuarakan gumamannya menjadi kalimat nyata. Bahkan di depan Anin pun, Aksa tidak punya nyali untuk menjelaskan perihal masa lalu.
Sebab dirinya adalah orang lain, dia orang luar. Sebab masalah yang terjadi bukan hanya soal Jean yang meninggalkan Anin karena jatuh untuk orang lain, sebab yang terjadi bukan sesuatu yang mudah. Akar masalahnya berasal dari seorang ibu, yang kemudian membuat sang anak nekat berulah demi melindungi wanita itu. Kalau sudah berurusan dengan seorang ibu, Aksa mengaku kalah.
Tapi untuk urusan kehamilan Anindia, yang satu ini mungkin memang harus diketahui oleh Ibun. Aksa menyerahkan sisanya pada Anin atau Papanya, yang jelas untuk perkara satu ini, Aksa setuju kalau Ibun harus tahu keadaan Anin yang sebenarnya.
30 menit berlalu sebelum kemudian seorang wanita setengah baya datang dengan raut wajah cemas. Mereka berdua bangkit, Aksa menatap tepat di wajah wanita itu, menerka apakah wajahnya masih melekat di ingatan mantan pasiennya tiga tahun lalu itu.
“Gimana Anin?” tanya Ibun.
Dan ternyata, wajahnya terlupakan. Aksa paham, namun sebagian dari dirinya merasa sedikit aneh menghadapi sosok di depannya itu.
“Belum tau, tapi Anin pingsan sejak kembali dari rumah Jean,” jawab Papa.
Ibun mengerutkan dahi. “Rumah Jean? Maksudnya rumah mereka?”
Ah, wanita itu bahkan belum tahu kalau Anin dan Jean sudah lama berpisah tempat tinggal. Papa menggeleng tegas.
“Rumah itu bukan milik Anindia lagi,” ucap Papa.
“Anin udah cukup lama keluar dari rumah itu dan kembali tinggal sama saya,” lanjut Papa.
Wanita di hadapan mereka tampak bingung, namun masih berusaha terlihat tenang. Aksa memutuskan untuk membuka suara, menggantikan Papa yang terlihat menahan emosi saat menyampaikan kalimatnya. Aksa memberi tatapan meminta izin, sebelum maju dan menyodorkan tangan kanannya ke depan.
“Saya Aksara, teman Anin.”
Uluran tangannya disambut tanpa basa-basi. Menandakan kalau Ibun sama sekali tidak dapat mengenalnya.
“Kandungan Anin sekarang memasuki usia 12 minggu, rentang waktu kami tau kalau Anin lagi mengandung itu di hari Jean memberhentikan Anin sebagai dokter di rumah sakitnya.”
Ibun terlihat semakin bingung. “Jean...apa?”
“Jeandra memecat Anin dari jabatannya sebagai dokter, alasannya mungkin bisa langsung ditanyakan ke Jean. Yang jelas hari itu, Anin pingsan dan dokter bilang dia lagi hamil. Setelahnya, Anin sempat kembali ke rumah mereka, tapi memutuskan buat pulang ke rumah Papanya dan mengajukan tuntutan perceraian ke pengadilan, suratnya masih dalam proses.”
Informasi yang sebetulnya sudah Aksa ringkas itu tampak terlalu banyak untuk diproses oleh Ibun.
“Kita mungkin harus ngasih tau Jean soal Anin. Mau bagaimanapun, Jeandra itu ayahnya. Jadi—”
“Jangan kasih tau Jean. Jangan kasih tau dia sampai Anindia sendiri yang memutuskan mau bicara ke dia, anggap ini hukuman dari saya dan dari Anin.”
Final, Aksa tak lagi bisa berbicara. Lelaki itu mengangguk dan mempersilakan Ibun untuk duduk, kemudian mendudukkan dirinya sendiri dan menunduk dalam.
Pikirannya hanya terarah pada Anin, entah apa yang terjadi di dalam sana. Yang jelas, Aksa sadar ketika kedua tangannya mulai mengepal erat dan ia bawa kepalan itu di depan dada. Matanya terpejam, hatinya merapalkan doa. Berharap kalau Anindia diberi satu kali lagi kesempatan.
Aksa siap mempertaruhkan apapun, asal Anindia diberi satu kali lagi harapan. Apapun, Aksa mau memberikan hal itu agar Anin masih bisa melihat matahari di esok hari. Walau taruhannya adalah dirinya, Aksa tidak apa-apa, asal Anin bisa bebas dari luka, Aksa tidak apa-apa.
-