Her – Dari Jeandra

Laksamana Jeandra Galuhpati sama sekali tidak pernah berpikir kalau hidupnya akan jadi seberantakan ini. Jean kira, dirinya sudah cukup menghadapi kehancuran satu kali setelah kehilangan Anindia dan harus menghadapi perceraian kedua orangtuanya tiga tahun yang lalu. Dia kira begitu, tapi sepertinya dia kembali harus menghadapi kehancuran satu kali lagi.

Napasnya betul-betul berantakan ketika pada akhirnya, Jean menapakkan kaki di lantai dua rumah sakit setelah berlari kencang dari arah parkiran. Jean bahkan tidak sempat mengunci mobilnya dengan benar, lelaki itu langsung berlari memasuki gedung utama rumah sakit yang dulu pernah dia datangi pasca kecelakaan Ibun itu.

Lantai dua, lorong ke tiga.

Jean berkali-kali menggumamkan petunjuk dari Aksara itu dengan bibirnya. Lelaki itu sempat kebingungan, kepalanya terlalu penuh oleh nama Anindia sehingga membuatnya tak dapat memusatkan pikiran pada satu hal.

Kebingungan berakhir ketika sosok wanita yang amat dikenalnya muncul dari salah satu lorong, Ibun muncul dan membuat Jean sedikit bisa bernapas lega. Jean kembali berlari, dia teriakkan nama Ibun sampai wanita itu menoleh.

“Anin...” Jean menarik napas sejenak.

“Anin dimana?” sambungnya.

Ibun menatap Jean dengan mata menyipit, butuh beberapa detik baginya untuk menjawab pertanyaan Jean. “Siapa yang ngasih tau kamu kalau Anin di sini?” tanya Ibun dengan nada dingin yang sama sekali belum pernah Jean dengar keluar dari wanita itu.

Detik itu, Jean tahu kalau saat ini, Ibun menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mencercanya dengan amarah. Ibun pasti masih berusaha agar amarahnya tidak meledak sebab mereka masih berada di rumah sakit dan tak ingin mengganggu pasien lainnya. Jean tak tahu dirinya harus bersyukur atau malah takut dengan hal itu, yang jelas sekarang dia butuh bertemu Anindia.

“Ibun, kita bicara nanti dulu. Aku mau liat Anin dulu sama mau mastiin anakku baik-baik aja. Kalau Ibun mau marah, nanti. Abis ini kita pulang dan Ibun bebas mau semarah apapun sama aku, aku mau liat Anin dulu,” katanya dengan suara serak.

Jean memegang kedua bahu Ibun dengan lembut meski kedua tangannya masih bergetar, kemudian maju untuk memberi sebuah kecupan ringan di dahi sang ibu. Kakinya melangkah melewati Ibun, berniat menelusuri lorong rumah sakit dan meninggalkan Ibun sendiri demi melihat keadaan Anindia.

Namun sebuah kalimat dari Ibun membuat gerakan Jean terhenti, kakinya membeku dan seluruh tubuhnya terasa kehilangan semua sel darah yang ada. Ibun memberitahu satu hal padanya dengan suara serak nan bergetar.

We lost one of the babies,” kata Ibun.

Jean tidak tahu mana yang lebih menyakitkan baginya. Kalimat yang barusan Ibun katakan atau sebuah teriakan memilukan yang Jean tahu adalah milik Anindia yang terdengar hingga keluar ruangan.

“Bayinya meninggal, Nak. We lost one of them.

Saat itu, Jean tak lagi peduli pada hal lain kecuali teriakan Anindia yang membuatnya berlari kencang. Jean tahu kalau hidupnya berantakan dan hancur hingga tak berbentuk, tapi dia baru sadar kalau dirinya seberantakan itu ketika teriakan dan tangisan Anindia memasuki rungunya.

Jean tahu dia hancur, tapi dia juga tahu kalau Anindia jauh lebih hancur.