Her Ex

TW // Intimidating scene , Violence , Harsh words

“Sabrina?”

Sabrina benar-benar panik saat suara berat milik seseorang yang sudah hampir enam bulan ini tidak menyapa telinganya kembali terdengar. Sabrina tidak ingin menoleh, kedua tangannya saling meremas kencang dan gadis itu bisa merasakan kalau perlahan, tubuhnya mulai gemetar tanpa bisa dikontrol. Terutama ketika dia bisa merasakan kalau tangan orang itu kini sudah berada di salah satu bahunya, menepuk pelan seolah meminta Sabrina untuk memutar tubuh ke arahnya.

“Sabrina?” panggil orang itu sekali lagi.

Kali ini, tubuhnya benar-benar diputar paksa hingga mata mereka bertemu. Di sana, di depannya, seorang lelaki dengan rambut panjang dan tindikan di salah satu telinga sedang berdiri dan tengah memasang wajah puas seolah sudah mendapatkan seekor ikan besar setelah lama memancing di danau.

“Rangga—”

Suara Sabrina tercekat, gadis itu benar-benar ketakutan sampai napasnya tersendat. Tarikan napasnya berantakan, Sabrina benar-benar tidak dapat menahan diri untuk tidak gemetaran sekarang. Lelaki di depannya itu tampak semakin melebarkan senyum, seolah senang melihat presensi Sabrina yang ciut tanpa nyali di hadapannya.

Long time no see, cantik.”

Kalimat itu sama sekali tidak membuat Sabrina merasa tinggi karena dipuji. Mendengar kalimat itu malah membuat Sabrina ingin berteriak mengeluarkan seluruh takut dan gelisahnya, membuatnya ingin memuntahkan seluruh isi perutnya di depan lelaki itu saat ini juga. Sabrina masih menunduk, lebih memilih untuk menatap lantai di bawah kakinya daripada bersinggungan pandangan dengan lelaki di depannya.

“Aku paling gak suka kalau kamu gak lihat mataku pas aku ngomong, remember that? Where's the good girl attitude, sweetheart?” ucap lelaki itu dengan nada lembut.

Suaranya lembut, tapi berhasil membuat Sabrina bergidik ngeri. Namun meski seluruh tubuhnya hampir tumbang karena rasa itu, Sabrina tetap memilih untuk bersikap keras kepala. Kepalanya masih tertunduk dalam, kedua matanya terpejam erat hingga kemudian bisa dia rasakan ujung jemari lelaki itu menyentuh dagunya. Lelaki itu memaksanya untuk mengangkat kepala hingga wajahnya bisa ditatap sepuas mungkin.

“Buka matanya, sayang.”

Namun Sabrina masih menolak, matanya terus terpejam erat. Gadis itu diam-diam merutuk di dalam hati, memaki dirinya sendiri karena tidak memilih untuk pulang lebih cepat hari ini. Kalau saja tadi Sabrina menolak tawaran teman-temannya untuk berdiskusi mengenai salah satu tugas di kantin, padahal tugas itu masih punya tenggat waktu yang cukup lama sebelum dikumpul, Sabrina pasti tidak harus berhadapan dengan Rangga saat ini. Wangi parfum lelaki itu menyengat hingga menusuk hidung, membuat Sabrina merasa pening dan mual mulai menyerangnya. Jarak mereka terlampau dekat, hanya butuh satu langkah dan Rangga mungkin sudah bisa meraih wajahnya ke dalam genggaman tangan lelaki itu.

“Buka matanya, Sabrina. Kamu tahu sendiri aku gak suka dibantah,” titah Rangga sekali lagi. Namun Sabrina masih belum menurut hingga Rangga harus mengulangi kalimatnya. “Buka matanya selagi aku masih baik, babe.”

Sabrina belum membuka matanya.

“Sabrina—”

“Gue bilang jangan pernah sentuh Sabrina pakai tangan kotor lo lagi, brengsek.”

Kalimat itu datang bersamaan dengan sebuah tendangan keras melayang ke arah punggung Rangga. Romeo adalah pelakunya, dan Sabrina bersumpah kalau dirinya tidak pernah merasa sangat bersyukur melihat lelaki itu datang ke hadapannya seumur hidupnya. Ini adalah pertama kalinya dan Sabrina benar-benar tidak bisa mengungkapkan bagaimana leganya dia ketika mendapati Romeo sudah berada di depannya.

“Romeo....”

Stay there, jangan kemana-mana. Gue mau ngasih pelajaran ke bajingan satu ini dulu.” Romeo melarang Sabrina untuk bergerak sembari menarik tubuh Romeo menjauh dari gadis itu.

Sabrina sontak membeku, kakinya benar-benar lemas dan tidak dapat bergerak kemana pun. Terutama saat matanya menonton bagaimana Romeo mulai memberi satu pukulan lain ke arah wajah Rangga. Romeo terlihat kehilangan kewarasannya, mata lelaki itu menggelap dan tampak tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Rangga yang menjadi bulan-bulanan pukulan Romeo pun tidak tinggal diam. Tangan Rangga terangkat, kemudian dia berikan tonjokan keras ke arah dagu Romeo yang berhasil membuat Romeo tersungkur ke belakang.

Sabrina yang melihat itu tidak dapat melakukan apapun selain menonton dengan seluruh tubuh gemetaran. Bibirnya kelu, matanya terasa panas dan bulir bening siap jatuh dari sana sekali saja Sabrina mengerjap. Kemudian saat Sabrina sudah siap menjatuhkan diri ke lantai, gadis itu ditahan oleh lengan seseorang. Ada Daffa di sana, lelaki itu datang tergesa-gesa dan langsung membantu Sabrina untuk kembali berdiri tegak.

“Lo minggir sekarang, gue mau misahin ini dua belalang sembah.” Daffa memberi kode pada Sabrina untuk menjauh, tapi Sabrina benar-benar tidak dapat menggerakkan kakinya.

“Minggir ke dekat motor gue, Sabrina.”

Lalu tanpa berkata apapun lagi dan tanpa peduli kalau Sabrina mematuhi kalimatnya atau tidak, Daffa segera maju dan menarik tubuh Romeo hingga menjauh dari Rangga. Romeo memberontak, Daffa bahkan sampai hampir terjatuh kalau saja lelaki itu tidak kuat menahan tumpuan kakinya.

“Eh, orang gila! Lo mau di drop out dari kampus atau gimana, hah?!” seru Daffa dengan segenap emosi. “Si Rangga mah enak, ini bukan kampusnya dia dan dia gak akan dapat masalah kalau ada yang lihat kalian berdua berantem. Lah, elo? Berhenti sekarang sebelum ada satpam yang lihat dan lo diseret ke dekanat.”

Namun Romeo masih terlalu emosi untuk mendengarkan. Romeo kembali maju dan kali ini memberikan tendangan ke arah perut Rangga. Rangga yang tidak siap dan masih berada dalam posisi terduduk di lantai pun tidak bisa melakukan apapun selain menerima tendangan Romeo dan meringis. Suara dari sentakan kaki Romeo di perut Rangga terdengar benar-benar menyakitkan, Sabrina sampai semakin ketakutan kala mendengar suara itu.

Daffa yang melihat itu semakin kalut, lelaki itu terlihat benar-benar frustasi sampai harus mengacak rambutnya sendiri. Daffa kemudian menoleh ke arah Sabrina, meminta bantuan pada gadis itu untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat Romeo berhenti melayangkan pukulan ke arah Rangga.

“Sab, ngomong. Apapun itu lo harus ngomong sesuatu biar si bandit rambut pirang satu itu berhenti ngehajar anak orang. Si Rangga bakal mati kalau Romeo gak berhenti sekarang juga,” pinta Daffa dengan suara yang benar-benar terdengar frustasi.

Sabrina menggeleng kencang, dia juga ketakutan setengah mati. Romeo yang saat ini berada di depannya benar-benar bukan Romeo yang biasa dia kenal. Sosok tengil yang biasanya selalu bercanda itu lenyap, digantikan dengan Romeo yang menatap lawannya ganas dan penuh amarah.

“Demi Tuhan, Sabrina! Kalau lo gak ngapa-ngapain sekarang juga, Romeo beneran bisa dikeluarin dari kampus dan orangtua Romeo bakal memandang dia lebih rendah dari sebelumnya,” sentak Daffa sekali lagi.

Orangtua Romeo bakal memandang dia lebih rendah dari sebelumnya.

Sepertinya, kalimat itu cukup untuk membuat Sabrina sadar dan menumbuhkan keberanian dalam dirinya.

“Romeo,” panggil Sabrina pelan.

Romeo belum merespon, tangannya masih erat mencengkram kerah baju Rangga dan sudah berniat memukul lelaki di bawahnya itu sekali lagi.

“Romeo Putra Erlangga.”

Lalu ketika sadar kalau yang memanggil nama lengkapnya saat ini bukanlah Daffa melainkan Sabrina, Romeo seketika berhenti. Cengkeramannya di kerah Rangga mengendur meski napasnya masih tersengal.

“Gue takut. Please, gue beneran ketakutan sekarang, jangan ngapa-ngapain lagi.”

Semudah itu.

Membuat Romeo teralihkan dari amarahnya ternyata semudah itu. Daffa mendengus sebal, menyesali keputusannya mengorbankan diri hanya demi memisahkan dua orang yang memiliki tubuh lebih besar darinya itu hingga kedua lengannya kini terasa sakit. Kalau tahu efek dari Sabrina ternyata akan sedahsyat itu dalam membuat Romeo keluar dari pusaran amarah, Daffa tidak akan repot-repot maju.

Tatapan mata Romeo yang awalnya dingin menusuk langsung berubah lembut ketika menemukan kalau Sabrina masih bergetar ketakutan di depan sana. Lelaki itu lalu menyingkir dari tubuh Rangga, membiarkan Rangga terkapar dengan dada naik turun dan penampilan yang berantakan akibat bergumul di lantai dengannya tadi.

“Lo gak apa-apa? Ada yang luka?” tanya Romeo saat sudah berdiri di hadapan Sabrina. Mata lelaki itu memindai Sabrina dari ujung kepala hingga kaki, memeriksa setiap inci kulit Sabrina yang tidak tertutup oleh pakaian untuk memastikan kalau gadis di hadapannya itu baik-baik saja.

“Lo... lo berdarah. Astaga, Romeo, lo berdarah.”

Sabrina panik bukan main. Sudut bibir Romeo robek dan mengeluarkan darah segar. Ada aliran darah kecil yang terlihat keluar dari lubang hidung bangir lelaki itu dan pemandangan itu membuat Sabrina semakin resah.

Tangannya yang gemetar mencoba menyentuh wajah Romeo, tapi gerakannya tertahan oleh Romeo yang malah mengambil tangannya untuk digenggam.

Ssshh, gue gak apa-apa.”

Namun kalimat itu sama sekali tidak membuat Sabrina bisa tenang. Bagaimana mungkin? Ada luka di beberapa bagian wajah lelaki itu. Kemeja yang Romeo pakai juga terlihat benar-benar berantakan, hampir seluruh kancingnya terlepas. Romeo benar-benar kacau, meski sebetulnya Rangga terlihat lebih kacau.

Your hands are shaking. Damn, I'm sorry for making you feel scared,” ucap Romeo dengan nada menyesal.

Genggaman Romeo di tangan Sabrina terasa erat tapi tidak sampai menyakitinya. Romeo kemudian mengelus permukaan kulit Sabrina dengan gerakan teramat berhati-hati, seolah takut kalau gadis itu akan hancur dalam hitungan detik.

“Pulang sekarang, biarin si monyet satu itu Daffa yang ngurus.” Romeo kembali menggenggam tangan Sabrina dan menarik gadis itu menjauh dari sana. Sabrina tidak menolak. Langkahnya mengikuti Romeo yang tergesa menuju area parkir.

“Lo berdua mau kemana, anjing?!”

Daffa membuat keduanya berhenti dan menoleh. Romeo berdecak sebal, menyempatkan diri untuk memperhatikan bagaimana Rangga masih memejamkan mata dan terkapar di lantai.

“Lo urusin si bajingan itu, anterin balik atau gimana pun terserah. Mau lo buang ke sungai juga gak apa-apa, gue ikhlas lahir batin.”

Kemudian tanpa mengucapkan apapun lagi, Romeo kembali menarik Sabrina sampai mereka berdua sampai ke dekat motor milik Daffa. Romeo lalu menjalankan kendaraan itu seolah benda itu adalah miliknya sendiri. Samar-samar dari arah belakang, Sabrina bisa mendengar suara teriakan Daffa.

“KALAU MOTOR GUE LO BAWA, TERUS GUE PULANGNYA GIMANA, BRENGSEK?!”

Romeo menoleh ke belakang dan balik berteriak.

“NAIK BURAQ!” ucapnya.

-