Him
“Gue boleh liat Karin sekarang?”
Suara Jeandra menggaung ke seluruh ruangan kala lelaki itu masuk ke dalam ruangan Anin. Wajahnya penuh harap, seakan amat ingin diberi kata “Iya” sebagai jawaban. Matanya terlihat lelah, tapi suara lelaki itu menyiratkan keinginan yang membumbung tinggi hingga Anindia terpaku dibuatnya.
“Jangan dulu, Karin masih harus diperiksa secara intensif. Masih ada beberapa tes yang mesti dijalanin.”
Kening Jeandra terlipat, menunjukkan kebingungan yang kentara.
“Benturan pasca kecelakaan kemungkinan besar bakal bikin dia punya luka memar di bagian dalam tubuh, jadi harus ada beberapa tes dan rontgen buat mastiin keadaannya secara keseluruhan.”
Perlahan, bahu Jean merosot. Kakinya kemudian ia bawa mendekat ke arah Anin yang tengah duduk di sofa ruangannya. Sampai akhirnya, lelaki itu ikut duduk di sana dan kepalanya ia sandarkan ke kepala sofa, matanya memejam erat dengan kedua tangan merenyam helai rambutnya.
Refleks, Anin memajukan tubuh, tangannya kemudian berusaha melepas cengkeraman jemari besar Jean dari surainya. Hingga saat jari itu terlepas dari sana, Anin membawa sepuluh ruas itu ke dalam genggaman eratnya, mencoba agar Jean merasa tenang dan membagi rasa risaunya pada Anin.
“Jangan nyakitin diri sendiri,” ucapnya singkat.
Tangannya lalu melepas genggaman, beralih mendorong sebuah kotak makanan ke arah Jean.
“Makan dulu, kamu belum makan apa-apa dari tadi siang.”
Jean mengangguk pelan.
Lelaki itu mulai membuka kotak makanan dan menyendok satu persatu yang dia lihat. Hingga saat beberapa sendok terakhir hendak dia lakukan, perhatian Jean tersita oleh Anin yang meminta izin padanya untuk keluar.
“Aku mau ketemu dokter lain dulu. Makanannya diabisin, oke? Nanti aku balik ke sini lagi.”
Jean mengangguk sekali lagi, dan membuat Anin menegakkan tubuhnya dan melangkah menuju pintu keluar. Namun, saat hendak menjangkau gagang pintu, Anindia terhenti oleh satu pertanyaan Jeandra.
“Gue beneran belum boleh liat Karin?”
Anin membalikkan tubuhnya, menunjukkan kekehan singkat sebelum menggeleng pelan.
“Karin masih harus dirawat intensif, oke? Nanti kalau dia udah siuman, baru boleh dibesuk. Kalau kamu besuk sekarang, nanti yang ada malah pengobatannya keganggu. Kamu mau Karin makin lama sembuhnya?”
Jeandra menggeleng keras.
“Nanti dulu, oke? Besok pagi kamu baru bisa besuk.”
Kalau kamu liat dia sekarang, aku ngga tau bakal sebesar apa rasa kecewa yang kamu punya. Jadi, tahan dulu ya, Jeandra.