Home
Waktu pertama kali menginjakkan kakinya di halaman rumah Ageeta, Tama langsung memantapkan tatapan pada sosok yang tengah duduk di pagar pembatas balkon. Ageeta tengah duduk di sana, dengan baju tidur satin berlengan panjang miliknya. Gadis itu tampak tidak punya petunjuk apapun soal kehadiran Tama, napasnya tampak teratur dengan tatapan menuju jalanan kosong di depan.
Damn, what does he get in his entire life that this angel belongs to him?
Begitu pikirnya dalam hati.
Wajah tanpa riasan itu membuat degup jantungnya yang sedari tadi berdetak kencang perlahan menemukan tenang. Satu titik hitam di hidung mungilnya membuat Tama kembali merasa hidup.
Tama mengeluarkan ponsel, mengetikkan beberapa kata hingga ia bisa melihat Ageeta bergerak memeriksa ponsel miliknya.
Beberapa menit berbincang lewat kotak percakapan, Tama memutuskan untuk menghubungi gadis itu lewat sambungan telepon. Yang seketika, membuat Ageeta menundukkan pandangan dan iris mereka bertemu. Mata itu menyelam dalam, seakan mengatur diri agar jatuh makin jauh ke dalam warna hitam legam milik Tama yang mengunci.
Detik itu, senyum yang sedari tadi Tama tahan perlahan mengembang. Cukup kecil hingga tak bisa kentara dan tersembunyi temaramnya malam.
“Kamu ngapain?”
Suara Ageeta menggema di telepon. Suara itu mengalun ke telinganya, dan Tama bersumpah kalau dirinya amat haus dan rakus akan semua hal perkara Ageeta Meraki.
“I'm home, I miss you.”