Kalah – Dari Anindia
Ingat ketika terakhir kali saya bilang bahwa saya tidak ingin lagi jatuh untuk Jeandra? Itu dua minggu yang lalu. Waktu berlalu begitu cepat untuk orang-orang, tapi menjadi selambat siput bagi saya.
Di pagi hari ketika saya pada akhirnya memberanikan diri membahas kata cerai pada Jeandra, lelaki itu tidak dapat saya temukan dimana pun. Di kamar kami, yang sekarang dia tempati bersama Karin, hari itu yang saya temukan hanya sosok Karin yang masih tertidur nyenyak tanpa gangguan. Di dapur, di ruang minuman, di garasi besar di sayap kiri rumah tempat Jean menyimpan semua koleksi mobil dan motor miliknya, bahkan di kantor. Saya tidak dapat menemukan dia dimana pun selama dua hari.
Panggilan saya diabaikan, pesan yang saya kirim tak kunjung dibaca. Saya kebingungan selama dua hari, tapi tidak bisa pergi kemana pun karena kondisi saya yang tidak memungkinkan untuk berkendara. Punggung saya terasa amat pegal, saya bahkan kelelahan hanya karena berjalan dari kamar menuju dapur.
Jadi selama dua hari di dua minggu yang lalu, saya hanya menunggu kedatangan Jeandra. Sampai akhirnya, sosok yang saya cari-cari itu muncul dan saya menahan diri untuk tidak terlihat bernapas lega karena melihat Jean yang tampak baik-baik saja.
Sayangnya, Jean menolak diajak bicara.
Lelaki itu jadi lebih pendiam daripada biasanya. Matanya jadi lebih dingin dari terakhir kali kami terlibat argumen. Bibirnya terkunci rapat-rapat, bahkan bicara satu kata pada saya pun, Jeandra bersikap seolah saya tidak terlihat oleh mata.
Saya bingung, dan hari ini ketika sudah hari ke-14 dimana Jeandra berlagak seperti saya tidak pernah hadir di rumah itu, saya berada di ambang batas kesabaran yang saya miliki.
Hari ini, saya yakin kalau Jean sedang duduk di halaman belakang rumah. Sebuah kebiasaan yang sama sekali belum hilang darinya bahkan setelah bertahun-tahun sampai saya hafal di luar kepala. Dengan irama jantung yang berantakan, saya meyakinkan diri sendiri untuk berdiri di hadapan Jean dan mengatakan semua yang sudah saya simpan berhari-hari di kepala.
Cerai.
Kata itu berkali-kali memutari kepala, terasa amat memuakkan dan membuat saya hampir berteriak. Di samping fakta kalau saya bahkan tidak bisa menjamin apa-apa mengenai posisi saya di hati Jean, kata itu juga semakin sering mampir di pikiran karena saya yang sudah terlalu lelah.
Untuk memahami sesuatu, manusia setidaknya membutuhkan satu atau dua petunjuk. Memahami Jeandra mungkin akan lebih mudah jika saya punya satu saja petunjuk untuk dipecahkan, tapi sayangnya saya tidak punya. Jeandra dan semua masalahnya terlalu abu-abu bahkan hitam sepenuhnya. Saya sama sekali tidak dapat menemukan satu pun cara yang benar untuk mengerti soal lelaki yang berjanji di hadapan Tuhan akan menjaga saya itu.
Jadi, saya memutuskan untuk menyerah dan berhenti mencoba.
Kalau Jeandra menolak untuk dipahami, saya juga berhak menolak untuk memahami. Kalau Jeandra menolak menjelaskan pada saya, maka saya juga berhak menentukan kejelasan sendiri.
Maka di sinilah saya hari ini, berdiri di depan pintu utama yang menghubungkan halaman belakang rumah kami yang luas dan area ruang makan. Saya menarik napas pelan, berusaha menenangkan detak jantung yang seakan tengah memprovokasi saya bahwa hari ini adalah waktunya, waktu untuk berhenti dan kembali berdiri dengan dua kaki sendiri lagi.
Saya sudah siap dengan semua kalimat yang sudah saya susun sedemikian rupa, tangan saya meraih gagang pintu dan memutar benda itu ke bawah. Satu langkah diambil, saya bisa merasakan kalau seluruh tubuh terasa dingin dan bergetar hebat tapi saya menolak untuk tumbang.
Ketika pintu sudah setengah terbuka, mata saya menangkap sosok Jeandra yang tengah duduk membelakangi saya. Tubuh kekar itu tengah duduk di sebuah ayunan yang sudah berada di pojok kanan halaman sejak pertama kali rumah ini di bangun.
Tapi Jeandra tidak sedang sendirian.
“Dia lagi rewel akhir-akhir ini, cuma mau diem kalau kamu elus kayak gini.”
Itu suara Karin, yang saat ini tengah berada dalam rangkuman tangan Jean yang memeluk tubuh mungil itu dengan erat. Sejenak, saya merasa kehilangan kekuatan pada tumpuan kaki saya. Napas saya tersengal, dan seakan bisa merasakan yang tengah saya rasakan, sosok di dalam perut saya langsung memberi reaksi layaknya gelisah. Ada sesuatu yang terasa mengganjal dari perut bagian bawah hingga dada bagian kiri saya, yang saya yakini kalau hal itu berasal dari si kecil di dalam sana.
Dari tempat saya berdiri, saya bisa menyaksikan bagaimana tangan Jean kemudian bergerak mengelus perut rata Karin dengan gerakan teramat pelan. Gerakannya teramat hati-hati, Jean bahkan menyempatkan diri untuk membungkuk dan menghadiahkan sebuah kecupan ringan di perut Karin.
Saya kontan mengelus perut sendiri, menempatkan tangan kanan saya dengan pelan di bagian janin saya berada. Anehnya, kali ini tak ada air mata yang keluar dari pelupuk mata saya. Walaupun rasa panas secara brutal menyerang dua pupil kembar milik saya, tapi saya tidak dapat meneteskan satu bulir bening pun.
Rasanya seperti saya sudah cukup menangis, rasanya seperti saya sudah tidak sanggup menangis dengan alasan yang sama lagi. Rasanya, bahkan seluruh tubuh saya sudah menolak berkompromi dengan hati yang saat ini meminta saya menyerah dan kembali lemah.
“Kalau orangtuaku masih ada ya, mereka pasti sama senengnya kayak kita. Ya walaupun aku yakin kalau bakal dimarahin dulu karena hamil sebelum nikah, tapi gak apa-apa. Papaku baik, meskipun marah tapi ngga akan tega apalagi mau punya cucu. Terus Mamaku, Mama pasti udah heboh nyari baju-baju bayi buat persiapan.” Suara Karin terdengar halus, kekehan kecil kemudian hadir setelah kalimatnya terudara. Jean ikut tertawa pelan, lalu kembali merangkul Karin dengan erat.
Saya tidak dapat melihat wajah mereka, tapi satu hal yang saya yakini, kalau Karin saat ini tengah memejamkan mata menikmati elusan ringan dan rangkulan dari Jean.
“Terakhir kali aku ketemu mereka itu tiga tahun lalu, aku inget banget mereka pamit mau makan malam buat anniversary mereka yang ke 26 tahun. Tapi ngga sampai satu jam kemudian, aku malah nerima kabar kalau mereka kecelakaan.” Suara Karin terdengar bergetar, saya dapat menebak dengan jelas walaupun jarak terbentang cukup jauh dari dua orang yang tengah saling mendekap itu.
“Kamu capek ngga, sih, denger ceritaku soal kecelakaan itu?” Karin bertanya dan dijawab gelengan pelan oleh Jean.
“Mau kamu cerita sampai suara kamu habis juga aku ngga akan bosen dengernya,” jawab Jean yang kemudian membuat Karin tertawa sekali lagi.
Saya menjadi penonton dari semua pelukan dan percakapan itu dalam diam. Jean juga pernah mengatakan hal yang sama pada saya dulu, katanya semua cerita yang saya bagi tak akan pernah terdengar membosankan. Sama persis, tak ada yang ditambah atau dikurangi dari kalimat yang dia katakan.
Detik itu, saya paham kalau posisi saya benar-benar sudah tergantikan. Detik itu, saya paham kalau eksistensi saya benar-benar sudah tak lagi punya arti dalam hidup Jean. Harusnya saya paham hal itu sejak lama, tapi saya terlalu percaya diri kalau setidaknya masih ada satu tempat kecil di hidup Jean untuk saya. Saya terlalu yakin kalau saya masih bisa mengembalikan semua yang kami punya dulu.
Ingat ketika dulu saya pernah berkata kalau Jeandra itu milik saya?
Tolong lupakan yang satu itu, sebab hari ini saya mengaku kalah. Saya kalah telak, karena Jeandra bukan lagi untuk saya. Jeandra bukan lagi orang yang sama dan saya tidak dapat menyerahkan diri untuk rasa sakit lebih lama lagi.
“Aku kangen Mama sama Papa,” ucap Karin yang masih bisa saya dengar.
Kalimat itu membuat saya semakin menekan ego yang sempat mencuat. Karin cuma punya Jean, anak itu sama kesepiannya dengan saya. Karin bahkan jauh lebih kesepian daripada saya sendiri, dan fakta itu membuat saya semakin berlapang dada mengaku kalah.
Karin hanya punya Jean sebagai sandaran, sedangkan saya masih punya Papa dan masih bisa bertemu Mama sesekali. Anak itu butuh Jean lebih daripada saya, Karin lebih butuh bahagia daripada saya.
Saya masih bisa berdiri dengan kaki sendiri dan mencari kebahagiaan lain di luar sana. Walau saya sebetulnya ragu jika bahagia yang dimaksud di sini adalah dengan menemukan orang lain untuk saya jadikan sandaran, tapi yang jelas yang saya tahu, Jeandra dan Karinina sama-sama membutuhkan diri mereka masing-masing untuk bahagia, tanpa saya di antaranya.
Saya pernah mengira kalau takdir yang tergaris untuk hidup saya adalah bersama Jeandra. Buktinya, bahkan setelah berpisah selama tiga tahun tanpa komunikasi apapun, Jeandra tetap kembali pada saya. Bahwa yang terjadi di antara saya dan Jeandra adalah hasil dari takdir yang diundi, teracak dan berputar berkali-kali hingga akhirnya menjatuhkan nama Anindia dan Jeandra dalam satu wadah.
Tapi tampaknya, tuas pengacak tanpa sengaja terputar kembali. Hingga satu gulungan nama yang tak diundang terjatuh ke dalam wadah yang kami tempati, dan membuat segala hal berubah. Takdir yang saya harapkan hanya akan tercetak satu di wadah bersama Jeandra, ternyata harus tercampur oleh satu nama lainnya, nama Karinina.
Atau malah sebaliknya?
Atau malah sebetulnya, nama Karinina dan Jeandra sebetulnya berada di dalam satu wadah dan nama sayalah yang terjatuh tanpa diundang itu.
Kalau dulu, saya akan merasa gamang saat menjawab pertanyaan di atas, hari ini tidak akan terjadi lagi. Karena saya rasa, saya sudah menemukan jawaban yang tepat dan dapat menjawab dalam satu tarikan napas.
Bahwa sepertinya, takdir saya dan Jeandra memang betul-betul tidak pernah direncanakan untuk bersatu dalam satu wadah hingga akhir. Bahwa sepertinya, nama Karinina memang sudah terlebih dahulu ditautkan dengan nama Jean dan sayalah yang menjadi pengganggu di antara dua insan itu.
Bahwa sepertinya, saya kali ini benar-benar kalah telak tanpa bisa melawan, tanpa bisa meminta bantuan. Saya pada akhirnya benar-benar menyerahkan Jeandra dan mengangkat tangan kemudian mundur perlahan.
Bahwa sepertinya dari awal kami bertemu, Jeandra memang tidak pernah bisa menjadi milik saya, tidak akan pernah bisa.
-