Kalah – Dari Jeandra
Saya tidak pernah benar-benar siap melepas Anindia, itu yang saya yakin. Bahkan di saat bibir saya berucap kalau melepas Anindia adalah jalan terbaik yang bisa saya ambil. Tapi nyatanya sesak yang menghujam dada bagian kiri saya menjadi bukti, kalau mendapati Anindia tidak lagi berada di samping saya adalah mimpi buruk yang selalu ingin saya hindari.
Saya masih ingin melihat Anindia di tiap bangun tidur, saya masih ingin melihat bagaimana si cantik itu mengomel hanya karena saya menaruh handuk tidak pada tempatnya, saya masih ingin Anindia.
Saya belum pernah merasa seputus asa ini karena perempuan, dan Anindia berhasil membuat saya hampir gila. Anindia, Anindia, dan Anindia. Nama itu membuat saya ingin melepas sebentar kepala saya dan mengeluarkan satu persatu nama miliknya agar setidaknya, kepala saya dapat terasa sedikit lebih ringan.
Tapi saya tidak bisa. Karena nyatanya, satu kali saya melupakan nama Anindia di kepala, saya berakhir kebingungan dan merasa kehilangan arah. Selalu begitu, walau sebetulnya saya sudah mati-matian melarang pikiran saya untuk membawa nama dan wajah Anin ke dalam sel-sel terkecil di otak saya. Tapi Anin tidak pernah benar-benar pergi, selalu bersarang di kepala saya sampai terasa penuh.
Makanya, saat Hema memberi saran untuk kembali memikirkan keputusan melepas Anindia dan menahannya sampai saya bisa berpikir dengan benar, saya membuat Anindia kerepotan karena saya.
Semata hanya tidak ingin Anin meninggalkan saya terlalu cepat. Dua hari lalu saya meminta Anin untuk memasak, tapi kemudian langsung pergi ke kantor tanpa mengatakan apapun. Sengaja, sebab saya kehabisan akal dalam berusaha membuat Anin bicara lagi pada saya. Bibirnya terlihat pucat dan Anin terlihat selalu kelelahan, jadi satu-satunya cara memintanya makan tanpa harus berakhir terjebak dalam adu argumen adalah dengan meminta Anin memasak. Anin itu tidak suka membuang-buang makanan, jadi saya yakin kalau dia akan makan hasil masakannya walau hanya sedikit.
Kejadian itu hanya satu dari beberapa cara yang saya lakukan agar bisa menahan Anin sedikit lebih lama. Saya belum siap kalau harus benar-benar ditinggalkan oleh sosok itu. Saya kira, siasat saya berhasil.
Tapi kemudian, saya kembali berubah pikiran.
Sebab hari ini ketika saya baru menginjakkan kaki di rumah, saya mendengar suara tangis. Tanpa perlu menebak lebih lama, saya langsung bisa mengetahui kalau suara tangis yang terdengar ditahan sekuat tenaga walau gagal itu adalah milik Anindia. Kaki saya melangkah menuju pintu kamar yang Anin huni, daun pintu tidak tertutup sempurna hingga saya bisa menyaksikan bagaimana Anin tengah duduk di tepi ranjang dengan satu tangan membekap mulut sendiri, berusaha agar tangisannya tidak terdengar hingga keluar.
Anindia menangis, sesuatu yang amat jarang saya temukan. Dan kali ini, saya yakin kalau sayalah penyebabnya. Anindia, Anindia saya, menangis dengan satu tangan memukul dada dengan harapan kalau pukulan brutalnya akan membantu menghilangkan rasa sakit yang hadir di sana.
Saya bersumpah, kalau detik itu saya amat ingin menghajar diri sendiri.
Padahal saya tahu kalau saya terlampau sering menyakiti sosok mungil yang kehadirannya teramat berharga bagi saya itu, padahal saya tahu kalau saya adalah alasan utama dari kekacauan yang terjadi. Tapi melihat Anindia menangis dengan mata saya sendiri, rasanya seperti ditusuk oleh ribuan pedang tak kasat mata. Sakit, saya bahkan hampir kehilangan keseimbangan dan hampir tersungkur di lantai. Anin tidak pernah menangis di depan saya, dan melihat tangisan itu tepat di depan mata sendiri terasa seperti hukuman.
Saya melangkah maju dan berakhir duduk berlutut di hadapan tubuh kecil yang meringkuk penuh rasa sakit itu. Mata saya memanas, namun saya tekan kuat-kuat rasa sesak yang merajam. Anin mengangkat pandangan dan membuat tatapan kami bersatu, mata sembab miliknya bisa saya lihat dengan jelas.
Detik itu, Anindia kembali menangis di depan saya. Tangisannya tak lagi dia tahan, lepas tanpa jeda dan membuat saya semakin dikuasai rasa bersalah yang terlampau besar. Kedua tangan mungil Anin mencengkram pinggiran tempat tidur, isakan yang tadi dia tahan kini memenuhi ruang kamar yang hanya berisi kami berdua.
Detik itu, semua saran Hema, keinginan saya untuk menahan Anin lebih lama, atau semua yang berhubungan dengan ego saya dalam sekejap runtuh. Saya...tidak bisa membiarkan Anin menderita lebih dari ini.
Maka saat tangisnya semakin kencang terdengar, saya raih satu tangan mungil milik Anin dan membawanya ke dalam rangkuman tangan saya. Saya menahan napas, berusaha agar suara saya tetap terdengar jelas meski sebetulnya tenggorokan tercekat seakan berisi batu-batu besar yang menghalangi.
“Let's do the divorce like you want, I won't let you suffer more than this.“
Itu kalimat terakhir yang saya katakan sebelum kemudian keluar dari kamar dan menghubungi seorang pengacara yang saya kenal dengan baik. Let's do the divorce, kalimat itu berhasil saya katakan dengan jelas dan berhasil membuat tangisan Anindia berhenti seketika.
Mungkin ini waktunya, saya berkali-kali meyakinkan diri sendiri. Melepaskan Anindia berarti memberinya ruang untuk bernapas dengan benar dan menjauhkan Anin dari kata hancur.
Hari ini, saya mengaku kalah. Dari ego, dari masa lalu, dari semua mimpi soal bangun tidur dengan Anindia di samping saya, dari harapan soal membawa saya dan dia yang dulu ke masa depan, dari semua yang berhubungan dengan Anindia. Saya kalah, kalah telak.