Kata Aksara; Sepertinya, Saya Mau Anindia

Aksara Restupati tidak pernah merasa seaneh ini.

Lelaki dengan profesi sebagai dokter bedah itu biasanya selalu merasa dirinya terlalu sibuk untuk hal-hal remeh, waktunya terlalu berharga. Bahkan lima menit menganggur pun biasanya akan dia pakai untuk melakukan sesuatu yang berguna, dia lebih memilih untuk memeriksa laporan perkembangan pasien daripada duduk menyeduh kopi dan bersantai tanpa melakukan apa pun.

Dia terlalu apatis, bahkan untuk dirinya sendiri.

Tapi bertemu dengan Anindia membuatnya merasa aneh, sangat aneh. Wanita itu membuatnya mau berbasa-basi melalui aplikasi percakapan, sesuatu yang sangat dia hindari sebab menurutnya berkomunikasi face to face jauh lebih efektif. Mau tahu sesuatu? Nama Anindia bahkan menjadi satu-satunya kontak yang dia simpan di luar keluarganya. Ada nama Mama, Papa, dan nama adik laki-lakinya di daftar kontak, selama ini hanya tiga kontak itu. Tapi di hari dia bertemu sosok mungil itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada nama orang lain yang masuk ke dalam daftar kenalannya di ponsel.

Anindia membuatnya merasa aneh, dan lelaki itu ingin membuktikan keanehan yang dia rasakan hari ini.

Astaga, dia bahkan mau-mau saja membuang 15 menit berharganya karena Anindia yang belum menunjukkan wujud di kafe ini. Dia duduk diam menyesap Americano miliknya yang sudah datang 15 menit lalu. Matanya berkali-kali melirik kotak percakapannya dengan Anindia, berharap dalam diam kalau wanita itu akan memberi satu kabar saja padanya.

Di luar hujan lebat, jadi Aksa berusaha maklum. Anin mungkin butuh waktu lebih untuk sampai sebab jalanan yang licin, atau dia tidak bisa menemukan taksi untuk dipesan. Harusnya tadi dia menjemput Anin, tapi keputusan wanita itu tetap nomor satu.

Rasa pahit di lidah membuat Aksa mengerutkan dahi. Ah, sepertinya memesan minuman ini adalah keputusan yang salah, sebab Aksa biasanya hanya akan memesan minuman biasa seperti lemonade atau teh. Baru hendak meletakkan cangkir kopi di tangannya ke atas meja, Aksa dibuat terkesiap ketika suara lonceng yang diletakkan di depan pintu utama berbunyi nyaring, tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Melainkan, sosok Anindia yang muncul dari balik pintu dengan sebagian pakaiannya yang basah kuyup.

Aksa mengerutkan kening, panik seketika merambat ke seluruh tubuhnya ketika menyadari kalau tubuh mungil Anindia bergetar hebat. Wajah cantiknya terlihat pucat dan Aksa paham kalau hal itu bukan pertanda baik.

Refleks, Aksa bangkit dari duduknya dan berlari dengan wajah panik yang tidak dapat dia sembunyikan. Lelaki itu menghampiri Anindia yang menatapnya bingung, seakan bertanya lewat tatapan mata mengenai raut khawatir di wajah Aksa yang terlampau kentara.

What happened?” tanya Aksa ketika tubuhnya sudah berada tepat di depan Anin. Tanpa peduli kalau belasan pasang mata ikut menyaksikan bagaimana lelaki itu berlari cepat ke arah Anin yang masih berada di ambang pintu utama kafe, Aksa memindai tubuh Anin dari ujung kaki hingga rambut, memastikan kalau tubuh mungil itu tidak terluka.

Anin masih kelihatan kebingungan. “You look so panic,” katanya.

Sadar kalau nada reaksinya berlebihan, Aksa berdehem canggung. Tangan kanannya bergerak mengacak rambut frustasi, dalam hati merutuki kebodohannya yang kembali jadi manusia aneh jika berhadapan dengan Anindia.

I'm sorry, I thought that you had an accident. Wait, you didn't get any accident, did you?

Anin mengenggeleng, gelengannya tampak ragu. Aksa pada akhirnya mengajak Anin berjalan ke arah meja yang tadi dia tempati. Lagi-lagi tanpa sadar, Aksa bertingkah di luar kendali.

Tanpa dia sadar, tangannya membantu menarik kursi yang akan ditempati Anin sebelum wanita itu sempat menariknya lebih dulu. Aneh, sebab Aksa belum pernah melakukan hal semacam itu kepada siapa pun kecuali Mamanya. Anindia lagi-lagi membuatnya mempertanyakan diri sendiri.

Ada yang datang dengan kecepatan kilat berlabuh di dalam dadanya, membuat rongga napasnya terasa penuh dan terasa membuncah. Ada yang terasa terisi ketika matanya menangkap sosok Anindia berdiri pertama kali di depan pintu tadi, dan Aksa tidak menampik kalau rasa penuh serta membuncah itu membuatnya sedikit lebih hidup.

“Kamu udah lama nunggu ya?”

Lamunannya buyar ketika suara lembut diiringi getar itu mengalun, Aksa mengangkat kepalanya dan menemukan Anin tengah menggenggam kedua tangannya seerat mungkin. Anin kedinginan.

Not really, saya baru dateng dua menit sebelum kamu,” jawabnya.

Tanpa dia duga, tawa manis keluar dari bibir pucat Anin. Aksa terdiam sejenak, otaknya berusaha keras memproses bagaimana gelak halus itu memasuki rungunya dan sukses membuatnya terpaku.

Please lie better, minuman kamu bahkan hampir habis. Saya telat banget, I'm really sorry. Something unexpected happened, I couldn't drive fast,” jelas Anin. Lalu dia melanjutkan, “Saya telat berapa lama?”

“Ngga terlalu lama, 15 menit.”

“Itu lama, Dokter Aksa. 15 menit bisa dipakai buat check up satu pasien luka ringan kalau di rumah sakit.”

Aksa tersenyum sebagai respon. “Well, let say begitu. Jangan dibahas lagi, kamu mau pesan apa? Bills on me.

“Teh aja, tapi biar saya yang bayar.”

Tak ada bantahan, sebab Aksa bahkan tidak tega melanjutkan perdebatan ketika sadar kalau getar di tubuh Anin akan semakin parah kalau dia malah membawa argumen soal siapa yang akan membayar makanan masing-masing. Melihat itu, Aksa melepaskan jaket yang dia pakai dan menyerahkan benda itu kepada Anin.

“Apa?” tanya Anin.

“Ini, dipakai dulu. You're freezing cold,” jawab Aksa. Merasa kalau Anin tidak kunjung menyambut ulurannya, Aksara meletakkan jaketnya langsung di tangan Anin, memintanya untuk tidak menolak. “Jangan ditolak, kamu bisa sakit kalau kedinginan lebih lama.”

Anin pada akhirnya mau memakai jaket itu di tubuhnya. Walaupun terlihat kebesaran dan membuatnya sedikit tenggelam di dekapan jaket itu, Anin tampak lebih baik dari sebelumnya.

Thanks.

Aksa menganggu sebagai balasan. “Are you sure you're okay?

Anin menoleh, kepalanya mengangguk pelan. Penuh ragu, sebab dia sendiri tidak dapat memungkiri kalau dingin masih menusuk. Sebagian besar bajunya basah akibat guyuran hujan ketika hendak keluar dari mobil menuju kafe, padahal jaraknya tidak terlalu jauh, namun sepertinya Anin harus menerima kalau kemeja abu-abu tua yang dia pakai sudah tampak sangat mengenaskan karena basah di bagian bawah.

“Saya lari dari parkiran ke sini, jadi wajar kalau masih sempet kena hujan.”

“Kenapa ngga minta sopir taksinya buat drop kamu langsung depan pintu?”

“Saya ngga jadi naik taksi, I drove by myself.”

Aksa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Keduanya diam sambil menunggu pesanan Anin datang. Kecanggungan menyelimuti, tapi Aksa bersumpah kalau canggung yang menjebak mereka kali ini jauh lebih baik dari atmosfer mana pun. Dia bisa memaku tatap pada Anindia yang memandang jendela luar dalam hening. Wajah kecil itu terbingkai oleh surai panjang yang dia biarkan tergerai menghalangi sebagian permukaan kulit, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Aksara, dia mengakui kalau wajah dan tatapan lembut seseorang bisa membuatnya kewalahan.

Dalam dua menit membiarkan iris tajamnya menghafal tiap sudut wajah Anindia, Aksara paham kalau dirinya akan terus-terusan menggumamkan kata “cantik” di tiap gerakan kecil yang wanita itu buat, akan terus begitu sampai waktu yang tidak ingin dia tentukan.

Sayang, lamunannya buyar ketika suara gemuruh terlampau nyaring dan menggelegar datang secara tiba-tiba. Petir dan kilat datang bersahutan, seperti tidak diberi jeda oleh langit sembari menumpahkan lebih banyak air ke muka bumi. Aksa memandang gelap pekat yang mewarnai awan-awan tebal melalui jendela, yakin kalau hujan akan berlangsung lebih lama dan jauh lebih lebat.

Lalu saat pandangan matanya kembali terarah ke depan, Aksa menemukan Anindia yang menutup kedua telinganya sendiri dengan tangan. Seiring dengan gemuruh dari langit yang terus terdengar, Anin semakin menekan telapak tangannya ke telinga. Tubuhnya terlihat semakin bergetar, tak lagi sempat dia tahan seperti yang sebelumnya.

Maka dalam sekali pandang, Aksa bisa menarik satu kesimpulan; Anindia punya tidak suka suara petir. Lalu benaknya mencoba menyambungkan pemandangan itu dengan keterlambatan Anin dan alasan kalau dia menyetir sendiri. Hasilnya masuk akal, Anin tidak bisa mendengar suara petir yang kuat dan wanita itu harus menyetir sendiri. Detik itu, Aksa bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana raut ketakutan dan kepanikan yang menguasai Anin ketika berusaha datang ke sini.

Lalu saat satu lagi suara gemuruh muncul lebih menggelegar, Aksa spontan maju dan membantu Anindia mengeratkan tangkupan di telinganya. “Saya izin bantu tutup telinga kamu, saya ngga bawa earphone buat ngehalangin suara petirnya, this is the very least thing I can do to make it better.” Kalimat itu serupa bisikan, Aksa mencoba menenangkan Anin yang semakin meringkuk di atas meja sempit itu. Tangannya berada di atas tangan Anin, dia tekan sekuat yang dia bisa namun tetap memastikan kalau gerakannya tidak akan menyakiti Anin, berharap kalau yang dia lakukan dapat sedikit meredam suara keras yang datang menyerbu itu.

You're gonna be safe, that's okay...” Aksa mengucapkan kalimat itu berkali-kali. “*I'm holding you, don't be scared.” Serta kalimat-kalimat lain yang serupa mantra, yang dia ucapkan seraya berusaha mengeratkan jaket miliknya agar tidak lepas dari tubuh mungil Anin.

Seakan semesta mendukung, saat Aksa menundukkan pandangan pada Anin, si cantik itu mengangkat kepalanya dan membuat iris mereka bertemu dalam satu jalur tatapan. Aksa tidak tahu apa yang ada di dalam mata itu, tapi yang pasti ketika Anindia mengatakan sebuah kalimat dengan suara lirih dan getar di ujung kalimatnya terdengar amat jelas, Aksa menyimpul dirinya sendiri.

Can you hold me tighter, please?” pintanya.

Telak, Aksara kalah telak. Sebab di detik yang sama ketika kalimat itu terudara dan matanya menangkap gurat penuh luka di iris kelam milik Anindia, Aksara mendeklarasikan diri kalau terhitung sejak saat itu, dia mau Anindia.

-