Midnight Talks

CW // Mention of death

Pukul dua belas lebih lima menit. Semilir angin terdengar menabrak kaca jendela kamar cukup kencang dan menimbulkan suara yang berisik. Tak ada yang bersuara di antara mereka, yang terdengar oleh rungu hanyalah deru napas masing-masing dan tetes demi tetes air hujan yang mulai menyerbu tanah. Sesekali, cahaya terang dari kilat yang menyambar tertangkap oleh mata melalui sela tirai putih bersih yang menggantung di dekat jendela.

Di tengah hujan yang mulai deras menyapa, sebuah pikiran tentang Anindia menyambangi kepala Jean yang sedari tadi memang hanya diisi oleh nama wanita itu. Terutama kala seluruh indera penciumannya diserbu oleh wangi bunga segar yang bersumber dari aroma shampo di helai rambut milik Anin, Jean sampai harus menahan napas agar otaknya berhenti berputar pada satu nama dan beralih memikirkan hal lain. Namun nyatanya, Jean gagal.

Anindia masih memenuhi kepala, rasanya penuh sampai Jean harus memejamkan mata dan memaksa bibirnya melafalkan nama-nama hewan agar dirinya terdistraksi. Tapi bahkan setelah puluhan nama hewan dia lafalkan sepelan mungkin agar suaranya tidak mengganggu sosok di pelukannya itu, Jeandra berakhir mengacau dan malah menyebut nama beberapa hewan berulang kali secara repetitif.

Hela napas panjang Jean keluarkan. Dia hembuskan napasnya sepelan mungkin agar gerakan naik dan turun dari dadanya tidak membuat gerakan yang dapat membangunkan Anin dari lelapnya mimpi. Matanya mengerjap berkali-kali, mencoba menahan diri agar tidak menggerakan lengannya yang saat ini tengah menjadi bantal hidup bagi kepala Anin yang terbaring tepat di sebelahnya. Meskipun tak sampai dua detik berikutnya, Jean bisa merasakan gerakan kecil dari Anin yang ternyata tetap saja terbangun.

Sontak, rasa bersalah langsung merasuk ke dalam diri Jean karena tarikan napasnya mungkin menjadi alasan Anin terjaga di tengah nyenyaknya tidur. Kemudian, Jean miringkan tubuhnya dan dia tarik tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhan. Satu tangannya dia letakkan di punggung Anin, sebelum kemudian dia berikan tepukan pelan di sana dengan tujuan agar Anin segera kembali jatuh dalam kubangan rasa kantuk.

“Jean?”

Namun ternyata, si cantik di dekapannya itu sudah sepenuhnya terjaga dan malah memilih untuk menggeliat kecil agar pegal kabur dari sendi-sendinya. Jean mengangguk sebagai jawaban, pelukannya ia longgarkan agar dapat menatap wajah Anin yang masih menyisakan kantuk.

“Keganggu ya?” tanya Jean dengan dengan suara serak.

Anin menggeleng pelan. “Aku pengen buang air kecil.”

Ini yang ketiga malam ini. Sejak mengandung, Anin memang sering mengeluh soal perutnya yang selalu terasa tidak nyaman dan kemampuannya untuk menahan keinginan buang air kecil yang amat buruk. Jean memaklumi itu, lelaki itu bahkan selalu siap siagar ikut bangun dan menemani Anin ke toilet tanpa sekalipun protes.

“Aku temenin, tunggu bentar.” Usai berkata begitu, Jean bangkit dan berjalan menuju toilet yang letaknya masih di dalam kamar. Kemudian ketika sudah berada di ambang pintu toilet yang dia buka, Jean dengan hati-hati memeriksa lantai toilet, berusaha memastikan kalau keramik berwarna putih itu dalam keadaan kering dan tidak ada air yang mungkin berpotensi membuat Anin terpeleset dan berakhir terjatuh. Kemudian setelah memastikan lantai toilet aman, Jean kembali berjalan menuju Anin. Tangannya terulur untuk membantu Anin bangkit.

“Aku sendiri aja,” ucap Anin menolak untuk ditemani.

Jean mengangguk, paham kalau Anindia sebetulnya benci dikhawatirkan sebegitunya. Jadi, dia biarkan Anin berjalan menuju toilet sendiri dan ketika pintu tertutup rapat, Jean bawa dirinya berdiri di depan sana. Durasinya cukup lama, sampai pada akhirnya pintu terbuka dan menampilkan Anin dari balik pintu. Wajahnya tampak lebih segar dari sebelumnya, Jean dapat melihat air jatuh dari ujung hidung runcing itu dan senyum kecil langsung terpatri di bibir Jean.

“Lucu banget kamu kayak anak kucing,” ucapnya sambil terkekeh pelan.

Bibir Anin melengkung ke bawah, entah kesal karena mendapat panggilan berupa kucing atau karena menemukan Jean menunggunya di depan pintu toilet. Jean yang paham langsung mengangkat kedua bahunya, berusaha menyangkal bahwa sedari tadi dirinya memang berdiri di sana untuk memastikan kalau Anindia tetap aman di dalam sana.

“Aku ngga nungguin kamu, aku juga mau ke toilet,” katanya sambil berjalan masuk ke dalam toilet dan berakhir menutup pintu. Walaupun sebetulnya setelah tubuh tingginya sudah sepenuhnya berada di dalam toilet, Jean hanya menyalakan keran dan berdiri di sisi wastafel tanpa melakukan apapun. Dua menit kemudian, Jean baru keluar dari sana setelah mematikan keran dan tak lupa membasahi kedua tangannya.

Matanya memandang lurus ke arah ranjang, di sana dia temukan Anin yang juga mengarahkan pandangan ke arahnya. Tatapan si mungil itu terlihat amat polos, sampai Jean menahan diri agar tidak terkekeh lagi dan membuat Anin kembali sebal.

“Kamu kenapa belum tidur?” tanya Anin setelah Jean sudah kembali ke tempat tidur dan mengambil tempat kosong di sisinya.

“Tadi ngerjain sesuatu dulu, terus aku minum kopi jadinya ngga ngantuk.”

Anin mengangguk paham. Wanita itu kemudian membawa dirinya untuk ikut berbaring di sebelah Jean dan berusaha mencari posisi terbaik agar si mungil di dalam perutnya tetap merasa nyaman. Jean ikut membantu, lelaki itu bangkit untuk mengambil dua bantal untuk diletakkan di sisi kanan dan kiri tubuh Anin sebagai penyangga.

“Kamu masih ngantuk ngga? Mau tidur lagi? Perlu aku bikinin susu?”

“Nanya satu-satu, Jeandra,” ucap Anin sambil tersenyum simpul. Dia kemudian melanjutkan, “Aku udah ngga ngantuk dan jangan bikinin apa-apa, aku takut nanti malah pengen ke toilet lagi karena perutnya penuh.”

Jean memandangnya ragu. “Tenggorokannya ngga kering emang?”

Anin menggeleng. “Kamu mending tidur, besok masih harus masuk kantor.”

Jean tak punya pilihan lain selain menggeleng, matanya sama sekali tidak disapa rasa kantuk, apalagi tadi Jean sempat bersentuhan dengan air di toilet yang membuatnya semakin enggan memejamkan mata.

Kemudian tanpa dikomando, keduanya sama-sama menutup mulut. Keheningan menguasai, membuat suara hujan di luar terdengar semakin jelas di telinga. Baik Jean dan Anin sama-sama tenggelam di dalam pikiran masing-masing.

“Kamu pernah ngga, sih, kepikiran soal kenapa kita selalu terikat walaupun udah berkali-kali mencoba menjauh satu sama lain?”

Pertanyaan itu sukses membuat Jean mengerutkan dahi. Kepalanya sontak terangkat, yang kemudian dia topang dengan satu tangan dan badannya dimiringkan hingga menghadap Anin yang tengah menatap langit-langit di atas mereka.

“Kenapa nanya gitu?” Jean balik bertanya, bingung dengan pertanyaan Anin yang terkesan terlalu tiba-tiba.

Anin diam sejenak, kedua alisnya terangkat sebelum kemudian kepalanya menoleh dan matanya terarah pada sosok Jean yang tengah menatapnya serius. “Ngga tau, aku tiba-tiba kepikiran nanya begitu.”

“Menurut kamu kenapa?” lanjutnya.

Jean diam, sama sekali tidak berekspektasi kalau sosok di sampingnya itu akan menanyakan hal demikian. Kepalanya kosong, sebelum kemudian dadanya dihantam sesak ketika sadar makna dari pertanyaan bernada polos itu.

Anindia kembali membuka suara, masih dengan nada yang sama. Datar, polos penuh rasa penasaran seolah pertanyaan yang dia ajukan hanya berupa pertanyaan sederhana yang mampu Jean jawab tanpa perlu berpikir panjang. “Aku pernah seyakin itu kalau kamu bakal tetap sama aku dan ngga akan pernah bilang selamat tinggal, tapi ternyata lima tahun kemudian, aku bahkan ngga tau apa aku bisa lihat kamu lagi besok dan seterusnya. Menurut kamu kenapa kita kayak gitu?”

Mendengar kalimat panjang yang terlantun melalui suara halus Anindia, Jean menarik bibirnya ke dalam sebuah garis lurus. Bukan, bukan karena tersinggung mendengar kalimat yang Anin tuturkan. Hanya saja, menyadari kalau pertanyaan yang sebelumnya terlempar membuat Jean seketika merasa kalut.

“Kamu inget ngga waktu kita putus, kamu bilang tolong lupain semua soal kita, tolong pura-pura ngga kenal in case kita ngga sengaja ketemu dan tolong lupain kalau kamu pernah menjanjikan banyak hal ke aku?”

Jean mengangguk terpatah, lelaki itu tentu mengingat dengan jelas tiap bait kalimat yang dia ucapkan pada Anin tiga tahun lalu. Kalimat itu masih terngiang walau Jean berusaha keras menghalau ingatan itu karena sejujurnya, dia benci mengingat bagaimana dingin dan menusuknya nada yang dia gunakan saat mengucapkan kalimat itu.

“Aku turutin kamu setelah itu. Aku pura-pura ngga kenal kamu padahal kamu sering kunjungan ke rumah sakit. Aku juga ngga pernah nyebut nama kamu sekalipun di depan orang-orang. Bahkan waktu aku pertama kali lihat kamu setelah rencana perjodohan dikasih tau sama Ibun, aku bersikap seolah kamu benar-benar orang baru dan kita ngga pernah ketemu.” Anin kembali merangkai cerita, kali ini tubuhnya ia baringkan menghadap ke arah Jean.

Gerakan kecil itu membuat Jean dengan sigap meraih bantal yang sejak tadi sudah menyangga tubuh Anin di belakang dan menarik benda itu lebih dekat ke arah Anin.

“Bentar, ceritanya pending dulu kalau mau tidur miring begini. Nyaman ngga?” tanya Jean.

Anin sedikit bergerak menyamankan posisinya, sebelum kemudian mengangguk pelan. “Udah, aku boleh lanjut?”

Jean mengangguk, telinganya terpasang lebar-lebar untuk mendengar kalimat selanjutnya yang akan terudara dari bibir tipis itu.

“Waktu itu, aku berusaha sebisa mungkin supaya ngga terlibat lagi sama kamu, karena itu yang kamu mau. Tapi ternyata kita masih harus terlibat satu sama lain meskipun lewat perantara Ibun. Terus setelah nikah, aku berusaha bersikap seolah kamu itu benar-benar laki-laki yang baru pertama kali kutemui, kayak cerita klasik perjodohan yang pernah kubaca. Tapi Hema datang dan terus menerus bikin aku ingat soal kita dulu. Bahkan ada Aksara, yang aku ngga tau gimana caranya bisa jadi bagian dari cerita kita dan akhirnya aku sadar kalau sebetulnya, mau sekeras apapun aku berusaha lari dari kamu, aku nyatanya cuma jalan di tempat.”

Anin menatap tepat di mata Jean, dimana dia temukan raut lembut penuh pengertian namun juga dibayangi kekalutan terpancar di sana. “I didn't expect that I would see your eyes staring at me like this again.

Sebab dulu di awal mereka menikah, tatapan lembut itu seolah tak bersisa. Yang dapat Anin temukan dari kedua mata milik Jeandra hanyalah sorot benci dan penyesalan, tajam menatap ke arahnya seolah Anin adalah sial yang paling sial dalam hidup lelaki itu. Makanya, menemukan mata itu memandangnya dengan cara yang 180 derajat berbeda membuat Anin sampai berkata demikian.

“Kukira kamu bakal selalu ngasih tatapan benci buat aku selama sisa hidupku.” Kalimatnya setenang air, seolah yang barusan keluar dari bibirnya bukanlah rangkaian kata berarti yang patut dipusingkan.

Padahal jauh di dalam kepalanya sendiri, Jean merasa seperti ada sebuah gong raksasa yang dipukul dan membuat suara berdenging menyusup ke gendang telinga.

“Padahal sejak awal, aku berusaha kabur dari kamu. Tapi Tuhan selalu punya cara buat bikin aku lagi-lagi balik ke kamu, selalu kayak gitu.” Anin kembali menyatakan isi kepalanya.

Jean masih diam, lidahnya kelu. Entah dengan kalimat macam apa dirinya harus memberi jawaban untuk Anin. Dadanya dirubungi sesak, rasanya sakit seolah ada sebuah tangan besar yang meremas jantungnya dan membuatnya kesulitan bernapas dengan benar. Namun sepasangan netra gelapnya masih dia arahkan pada Anin, dia coba sekuat mungkin agar yang terpancar dari irisnya hanyalah pancaran rasa yakin yang dia harapkan bisa membuat Anin merasa nyaman menceritakan semua yang wanita itu sembunyikan dalam kepala. Meski sebetulnya yang Anin lihat hanyalah pancaran mata ketakutan diselingi kekalutan.

Nyatanya, meski Jean berusaha sekeras mungkin agar matanya terkesan tenang, Anin masih bisa menelisik keresahan yang terbayang di pupil kembar itu. Nyatanya, Anindia masih jadi yang paling ahli dalam menebak segala hal yang Jean sembunyikan, bahkan hanya dengan menatap mata lelaki itu sekilas.

“Jeandra?”

“Hm?”

“Kalau kali ini aku berusaha lebih keras supaya bisa kabur dari kamu, ngga apa-apa ya?”

Pertanyaan itu sukses membuat Jean kehilangan kemampuan mengolah kata. Kalau Anindia berusaha melarikan diri darinya sekali lagi, apakah Jean keberatan? Kalau Anin betul-betul melangkah pergi meninggalkannya, apa Jean akan baik-baik saja? Kalau pada akhirnya Anindia memang menghilang dari jangkauannya, Jean harus apa?

“Aku ngga mau jalan di tempat terus, aku mau maju. Aku capek lari tapi pada akhirnya terus-terusan jatuh di kamu. Aku capek lari jauh tapi ujung-ujungnya tetap tetap sampai di tempat yang sama. Aku capek, Je, aku kasihan lihat diri aku sendiri yang kayak begini.”

Tanpa Anin sendiri sadari, kedua tangannya mulai mencari pegangan dengan meremas pakaian yang Jean gunakan. Kedua tangannya bergetar, matanya memanas dan bulir bening mulai terbentuk membendung di bawah kelopak mata.

“Jadi kalau nanti setelah Makaila lahir, aku nyoba buat kabur dari kamu lagi, ngga apa-apa, kan?”

Telak.

Jeandra betul-betul kehilangan kemampuannya untuk mengolah kata. Lidahnya betul-betul kaku dan dadanya semakin terasa sesak. Hanya satu hal yang terpikirkan olehnya, jadi Jean upayakan agar suaranya kembali muncul ke permukaan untuk memberi jawaban.

“Aku...ngga tau.”

Anin menghela napas pelan. Tubuh mungilnya kemudian ia bawa mendekat ke arah Jean dan membuat jarak mereka hanya berupa satu kepalan tangan. Lalu tanpa berkata apapun, Anin membawa tangan kanannya melingkar di tubuh besar Jean, memeluk lelaki itu dan menenggelamkan wajah di dada Jean sambil memejamkan mata. Napasnya tertarik dalam-dalam, aroma kayu cedar dan tembakau memenuhi indra penciuman.

Are you okay?” tanya Jean khawatir. Anin sama sekali belum pernah memeluknya lebih dulu, dan pelukan kali ini membuat Jean sampai keheranan. Hela napas Anin terdengar berat, Jean bahkan dapat mendengar desah napasnya yang berantakan dan sedikit terburu-buru.

After you ruined my life? What do you think?”

Jean terhenyak, napasnya tertahan di tenggorokan. Bukan itu yang Jean maksud, bukan jawaban itu yang dia kira akan dia terima.

“Aku capek, Je.”

Suaranya terdengar bergetar. Tenggorokannya tercekat, seakan ada segumpal batu yang bersarang di sana dan membuat Anin kesulitan mengatur diri. Panas merambati mata, sesak semakin merajam dada.

“Aku rasanya kayak mau mati, tapi aku sadar kalau ada Makaila yang masih harus aku jagain dan masih ada Papa yang bakal sedih kalau aku ngga ada. Tapi kalau terus-terusan begini, rasanya ngga ada bedanya mau aku mati atau hidup sekalipun.”

Jean sontak menggeleng kuat. “Jangan sebut kata mati. I'm begging you, kamu bisa bilang apapun tapi tolong jangan sebut kata itu.”

Suaranya terdengar bergetar, telinganya berdenging kuat. Kata yang keluar dari bibir tipis Anin barusan membuat seluruh tubuh Jean bergetar, sendi dan tulang belulangnya seketika terasa ngilu sampai Jean harus meremat bagian dada kirinya demi menghalau rasa sakit yang muncul.

“Jangan sebut kata mati, Anin, tolong....”

Sebab jauh di dalam pikirannya, Jean betul-betul punya pengalaman buruk dengan kata itu. Ibun pernah hampir meninggalkannya dengan bermain terlalu lama dengan kata itu. Anindia bahkan pernah berada amat dekat dengan kata itu dan hampir betul-betul melangkah menjauh dari kehidupannya. Satu buah hatinya bahkan betul-betul berteman akrab dengan kata yang satu itu.

Sudah cukup.

Mendengar kata itu satu kali lagi rasanya terlalu kejam untuk Jean. Sudah cukup, jangan lagi. Jean benar-benar tidak akan mengampuni dirinya sendiri jika Anindia sekali lagi berdekatan dengan kata itu.

“Kamu boleh kabur dari aku dengan cara apapun, tapi tolong jangan dengan cara yang itu. Kamu boleh pergi dari aku kapanpun, tapi ngga dengan cara menghilang dan pulang ke Tuhan. Ada banyak cara, jadi tolong jangan dengan cara mati.”

Kemudian tanpa berkata apapun, Anin mengeratkan pelukannya pada tubuh besar Jean. Wajahnya dia kubur di dada Jean dan hidungnya dia biarkan menghirup aroma kayu cedar yang merebak di sana, dia biarkan kepalanya terasa penuh karena hanya Jeandra dan wangi tubuh lelaki itu menguasai.

Jean ketakutan dan Anin bisa merasakan itu.

Lalu yang bisa Jean lakukan hanyalah memeluk Anin lebih erat dari sebelumnya. Dia lingkarkan kedua tangannya di pinggang Anin dan dia istirihatkan kepalanya di atas kepala Anin, membuat keduanya hanya punya jarak setipis benang sampai Jean mampu merasakan hembusan napas hangat yang Anin tarik dan buang secara perlahan.

Setelah cukup lama saling merengkuh erat, Jean perlahan merenggangkan pelukan mereka agar matanya bisa bertemu dengan iris cokelat milik Anin yang juga tengah mengarah padanya.

Don't die. Kamu boleh pergi kapanpun dan dengan cara apapun, tapi tolong jangan mati.” Jean kembali merapalkan kalimat itu seolah hanya rangkaian kata itulah yang mampu keluar dari pita suaranya yang tercekat.

Anin mengangguk di sela pelukan mereka. Tangan kanannya ia bawa menuju punggung lebar milik Jean, berinisiatif memberikan gerakan naik dan turun agar tubuh Jean berhenti bergetar dan napasnya berhenti memburu.

I won't die, aku ngga akan pergi dari kamu dengan cara mati. Jadi biarin aku kabur dari kamu dengan cara apapun and I promise you my way of leaving you won't be dying. I'll go in the most peaceful way that I can, and all you have to do is just...let me find the way.

Setelah kalimat itu tersampai, pilihan yang Jean punya hanyalah mengangguk. Jantungnya tak lagi bergema berisik, namun dadanya masih terasa sakit seolah seluruh jiwanya tertarik. Napasnya tak lagi memburu, namun paru-parunya masih terasa seperti dibakar hingga menjadi abu.

Leganya mengalir seiring luka.

Nyatanya, meski kata mati tak akan membayanginya lagi, Anindia akan tetap pergi. Nyatanya, meski tak akan pergi karena perkara nyawa, Anindia pada akhirnya akan tetap menghilang dari hidup dan ceritanya Jeandra.

-