One Last Hug
Anindia tidak pernah mengira kalau fase kehamilannya bisa separah ini. Well, tidak separah itu sebetulnya. Tapi rasanya, tubuh Anin jadi mudah lelah, seperti sekarang. Pinggangnya terasa remuk hanya karena terlalu lama membungkuk saat berusaha membuat cookies sendiri tadi sore. Dia bisa saja membeli di luar, tapi Anin ingin cookies buatannya sendiri. Alhasil, terlalu lama membungkuk di depan pemanggang listrik di dapur dan segala halnya membuat Anin harus kesulitan tidur karena rasa pegal yang mengganggu tubuhnya.
Langkah kecilnya membawa Anin ke arah dapur, seperti kata Aksara, minum segelas susu mungkin bisa membantu walaupun sebetulnya Anin tidak terlalu yakin. Gaun tidur berbahan satin yang memeluk tubuhnya ia biarkan menjuntai menyapu lantai, langkahnya sedikit mengendap-endap ke arah dapur.
Saat kakinya sudah memijak lantai ruangan itu, Anin dikejutkan dengan lampu kecil di ujung ruangan yang menyala terang benderang. Ada Jeandra di sana, dengan sebotol wine yang teronggok mengenaskan di atas meja. Botol itu belum dibuka, Jean tampak mengerahkan seluruh dunianya hanya untuk menatap botol itu sampai dia tak menyadari kalau Anin ada di sana.
“Jean?” panggil Anin.
Jean mengangkat kepala, kemudian mempertemukan kedua iris mereka dalam satu garis pandangan. Tatapan lelaki itu sayu, Anin mengerutkan dahi ketika sadar kalau mata yang biasanya menyorot tajam ke arahnya itu kini terlihat lelah dan tampak polos.
“What are you doing here?” Jean bertanya sambil beranjak dari tempat duduknya. Sosok tinggi dengan kedua lengan kemeja yang digulung hingga siku itu berjalan perlahan menghampiri Anin, sebelum kemudian berhenti dan membuat keduanya berhadapan dengan jarak hanya sejengkal tangan.
“Kenapa belum tidur?” Jean bertanya lagi.
Anin menggigit bibir bawahnya, kedua kakinya melemah hanya karena suara serak dan kalimat Jean yang jauh dari kesan kasar, tidak seperti yang biasa lelaki itu berikan padanya. Tak ada nada sinis dalam pertanyaan Jean, dan Anin bersumpah kalau dia merindukan nada itu ada di kalimat yang Jeandra tunjukkan untuknya.
“I need some water,” jawab Anin akhirnya.
Jean mengangguk paham, kemudian melangkah ke arah dispenser di ujung dapur dan mengambilkan segelas air putih sebelum menyerahkan benda itu kepada Anin.
“Ini aja, jangan air dingin.”
Anin mengangguk. Tangannya terangkat mengarahkan gelas ke arah permukaan bibirnya, wanita itu minum dengan kecanggungan yang menyelimuti. Tatapan sayu Jeandra sama sekali tidak terlepas dari sana, iris sehitam malam itu enggan melepas pemandangan Anin di depannya. Bahkan ketika Anindia telah selesai dengan urusan minumnya, Jean masih setia memaku tatap pada wajah di depannya.
“Can I hug you?” tanya Jean tiba-tiba.
Membuat Anin kehilangan kemampuan untuk mengolah kata, sebab sebelum dia sempat mengangguk ataupun menggeleng tanda persetujuan, tubuh Jean sudah maju ke arahnya dan membawa tubuh mungilnya ke dalam sebuah pelukan.
Pelukan yang erat, hangat, dan cukup lama.
Anin bahkan sudah lupa bagaimana rasanya berada dalam rengkuhan Jean, dan rasanya, pelukan kali ini menjadi satu di antara jenis pelukan yang selalu dia inginkan dari Jean.
Kedua tangan Jean melekat erat di sisi pinggang Anin, telapaknya mengelus di sana dengan hati-hati. Seakan gerakan sekecil apapun dapat membuat tubuh mungil di dekapannya itu hancur berkeping-keping.
“Satu menit, let me hug you for one minute only. I'll let you go kalau udah selesai.”
Anin tidak tahu rasa macam apa yang menghampiri dirinya saat Jean mengeratkan pelukan di pinggangnya. Tapi yang jelas, ketika tubuh mereka berada dalam jarak nihil seperti sekarang, Anin paham kalau sosok kecil yang ada di dalam dirinya kontan langsung berhenti gelisah.
Anin tidak pernah tahu rasanya menjadi seorang ibu, dia baru mulai belajar sejak empat minggu yang lalu ketika sadar kalau ada sosok kecil yang hidup bergantung padanya. Makanya, saat beberapa kali dirinya merasa kalau dia punya ikatan dengan makhluk kecil yang tumbuh di perutnya itu, Anin tahu kalau apa yang dia rasakan, dapat langsung dirasakan oleh dia yang ada di dalam sana.
Sebab saat tubuhnya direngkuh erat oleh Jeandra, baik Anin ataupun dia, seketika dilanda ketenangan. Rasa yang kembali dia dapatkan setelah berhari-hari lelah dan kebingungan mencari tahu soal kenapa bayinya seakan tidak membiarkannya beristirahat dengan tenang. Sebab sekarang, Anin rasa dia sudah punya jawabannya.
Tapi sayangnya, ketika rasa tenang dan aman itu semakin kuat melanda. Anin menyadari sesuatu sehingga menarik diri dari rengkuhan Jean.
Kalau dia tidak ingin jatuh lagi pada sosok yang sama. Kalau dia tidak akan lagi berkutat pada keadaan yang sama oleh orang yang sama. Di detik saat Anin sadar kalau satu pelukan Jeandra tidak dapat disamakan dengan semua rasa sakit yang lelaki itu berikan, Anin menarik diri dari sana. Meninggalkan Jean yang mematung dalam kebingungan.