One New Step

“Papa kenapa?”

Anindia mengerutkan dahi sempitnya ketika kalimat itu terudara dari bibir tipis milik Aksa. “Papa?” tanyanya, merasa sedikit aneh mendengar panggilan yang biasa dia sematkan pada sosok sang ayah kini juga disebut oleh orang lain.

Aksa berdehem singkat, kelima jemarinya bergerak perlahan menyisir surai hitam pekat miliknya ke belakang, bingung harus berekspresi seperti apa ketika sadar kalau Anin mempertanyakan panggilan baru yang dia punya untuk ayah wanita itu.

Umm... Your father actually asked me to call him that way, do you mind?” tanya Aksa hati-hati.

Anin terperangah, mengingat sifat sosok lelaki yang dia panggil “Papa” itu amat anti mendapat panggilan itu dari orang lain selain Anin. Bahkan Papa kerap kali berdecak tiap kali Anin dulu memintanya memperbolehkan Jean untuk punya panggilan yang sama.

Tersadar jika pertanyaan Aksara masih menggantung di udara, Anin terkesiap.

No problem, dia yang minta kamu manggil kayak gitu, jadi gak apa-apa.”

Aksa mengangguk, diam-diam dalam hati mengungkapkan lega yang entah darimana datangnya dan apa alasannya.

Is he okay?” Aksa kembali memastikan.

Anin mengangkat bahu. “Dia bilang lagi ngga enak badan, makanya minta saya pulang.”

Aksara hanya merespon dengan anggukan. Hening merambati ruang hampa di antara mereka, menjadikan deru napas sebagai satu-satunya suara yang cukup kentara bersahutan di dalam sana. Anin mengarahkan pandangan pada jendela mobil, memperhatikan semuanya yang mereka lewati satu persatu tanpa jeda. Berusaha menghilangkan suara ribut yang dia dengar di dalam kepalanya dengan membaca setiap tulisan yang dia temui di badan jalan. Suara ribut tentang Jeandra, tentang rumah sakit, tentang sosok mungil nan tak terlihat di dalam perutnya, hingga suara ribut soal bagaimana dia harus menghadapi Karin selepas kepergian Ibun tadi sore.

Kepalanya terlalu ribut, hingga Anin sendiri tidak menyadari kalau tangan kanannya bergerak ke arah kepala dan mencengkram surai miliknya cukup erat. Berharap kalau cengkraman yang dia kerahkan di sana akan membantu mengusir kerunyaman yang mengerumuni pikirannya.

Go away, go away,” ucapnya tanpa sadar.

Aksa menoleh, lalu dengan sigap menjulurkan tangan kirinya dan menggenggam tangan Anin yang masih berusaha memberi jambakan lebih keras pada rambutnya sendiri.

Sshhhh, Mommy. You're hurting yourself.

Dan berhasil, tangan Anin berhasil dia genggam ke dalam rengkuhan tangan lebar miliknya. Anin berhenti mencengkram surai cokelat miliknya, meninggalkan napas yang terhela memburu tanpa jeda.

Aksa mencuri sebuah lirikan ke arah Anindia dengan rasa khawatir di ujung mata. Anin tampak kacau, hingga dia putuskan untuk menepikan mobil ke pinggir jalan yang cukup sepi dan langsung membuka seatbelt yang mengungkung tubuh kekarnya dengan ketat.

“Jangan nyakitin diri sendiri kayak gini, Anindia.” Ucapan Aksa beriringan dengan kedua tangannya yang terangkat ke arah tubuh Anin yang terlihat bergetar. Dia rapikan surai panjang wanita di hadapannya itu dengan penuh kelembutan, seakan-akan gerakan sekecil apapun bisa membuat tubuh mungil di depannya itu hancur berkeping-keping.

Anin mengangkat pandangan, membuat netra mereka bertemu dalam satu garis tak kasat mata namun terhubung secara nyata.

“Saya ini kenapa, Aksara?”

Suara Anindia bergetar penuh serak, dan Aksa bersumpah kalau mendengar suara seseorang tidak pernah terasa semenyakitkan ini sebelumnya.

Anindia yang terlihat lemah membuat Aksa mati-matian menekan sesak yang mengerubungi dadanya. Anindia yang rapuh membuat Aksa harus menahan diri sekuat tenaga agar tidak melesakkan tubuh mungil itu ke dalam satu pelukan seperti yang selalu dia putar di dalam kepalanya.

“Kamu baik, kamu ngga apa-apa,” jawab Aksa mencoba meyakinkan.

Anin menggeleng pelan. “Saya kayak lagi kehilangan arah, saya ngga tau mau kemana. Saya hilang di tengah jalan.” Getaran di suara Anin tidak lagi dapat wanita itu sembunyikan. Kedua matanya memanas, Anin benci dirinya sendiri yang jadi lebih mudah menaruh emosi pada setiap hal kecil yang dia rasakan.

“Kamu ngga hilang, Anin. Kamu masih di jalan yang benar, kamu masih di arah yang benar.”

Anin menggeleng sekali lagi. “Saya kira pulang ke rumah Jean demi bayi di dalam sini itu jalan yang benar, saya kira lambat laun saya bisa menang kalau saya terus bertahan di jalan yang saya pilih.”

Anin melanjutkan, “Saya kira kalau saya terus jalan sampai akhir, Jeandra bakal balik lagi ke saya dan saya bakal menang.”

Kali ini, Aksa yang menggeleng. “Listen, jangan lemah. Anindia yang saya kenal ngga pernah jadi wanita lemah, Anindia yang saya kenal ngga akan merasa kehilangan arah semudah ini.”

Anin memotong kalimatnya, “Masalahnya di sana, Dokter Aksa. Kamu ngga kenal saya, kamu cuma kenal Anin yang kuat dan berani, tanpa kenal lebih dahulu sama Anin yang ini, Anin yang lemah dan cengeng.”

Aksa terdiam, dia tidak punya kalimat untuk dijadikan penenang bagi Anin, yang dia yakin tengah berada dalam fase hormon naik-turun di tengah kehamilan. Aksa mengangguk paham, dia coba menggenggam tangan Anin lebih erat dan berusaha meyakinkan Anin melalui tatapan dan kalimat yang dia beri.

“Jalan yang bisa kamu ambil bukan cuma ini, bukan cuma balik ke Jean dan bertahan dengan semua rasa sakit yang dia kasih. Masih banyak jalan lain, yang kamu harus lakuin cuma putar haluan dan mulai lagi. Kalau rasanya terlalu berat, panggil saya. Ada saya yang bisa temenin kamu ambil jalan baru itu,” kata Aksa.

Anin memejamkan mata, napasnya mulai teratur. Mendengar kalimat panjang Aksa membuat ketenangan sedikit demi sedikit kembali merambati seluruh tubuhnya. Ditambah, genggaman erat Aksa belum sama sekali terlepas, masih setia merengkuh tangan Anin yang terasa dingin.

“Saya ngga pernah tau kalau hormon ibu hamil bisa bikin saya jadi seemosional ini.” Anin menggumam pelan, tangannya semakin menggenggam erat tangan Aksa yang masih bertahan di sisinya.

Aksa tersenyum tipis melihat Anindia yang mulai bisa mengendalikan diri. Hingga perlahan dia coba untuk kembali duduk tegap dan memasang seatbelt ke tubuhnya, lalu menjalankan mobil dengan satu tangan sebab tangannya yang lain masih menenangkan Anindia. Ibu jarinya bergerak naik dan turun perlahan di atas permukaan kulit Anin, berharap kalau yang dia lakukan bisa mengusir gelisah dan kepanikan yang tadi mendatangi sosok mungil itu.

“Kita pulang sekarang, mau?” tawar Aksa yang kemudian dihadiahi anggukan dari Anin.

Kendaraan beroda empat itu kembali ke jalan raya, Aksa mengemudi dengan hati-hati. Tidak ada di antara mereka yang ingin membuka percakapan, oh dan jangan lupakan tautan dua tangan mereka yang masih enggan dilepas oleh Anin. Entah si mungil itu sadar atau tidak, tapi dalam pikirannya sendiri, Aksara diam-diam mengulum senyum dan menikmati gema jantungnya yang berdetak gila-gilaan.

10 menit kemudian, mereka menapakkan kaki di halaman luas milik keluarga Anin. Tautan keduanya terlepas, Anindia sempat terkesiap lucu ketika sadar kalau selama bermenit-menit dia tidak membiarkan tangan Aksara bebas dari genggamannya.

Sosok mungil itu serta-merta masuk ke dalam rumah, tanpa kata meninggalkan Aksa yang terkekeh gemas melihat semburat merah menyembur lucu memenuhi pipinya.

“Papa?” Anin menyapa ketika kakinya pertama kali melangkah memasuki bagian utama rumah.

Suara langkah tegas Papa terdengar, lelaki berumur itu merentangkan tangan bermaksud untuk menyambut Anin ke dalam pelukan.

“Aksara mana?” tanya Papa saat tubuh kecil Anin sudah sepenuhnya terangkum dalam pelukan hangatnya.

“Masih di luar, sebentar lagi pasti masuk.”

Tak ada lagi pertanyaan, Ayah dan anak itu sepakat untuk masuk dan berbincang di sofa ruang keluarga.

“Papa beneran sakit atau ngga, sih, sebenernya?” Anin mengerutkan dahi, perawakan lelaki di depannya itu tampak terlalu sehat untuk hitungan seseorang yang bisa dianggap sakit. Papa tertawa, dan harusnya Anin sudah bisa menebak arti tawa itu.

“Papa beneran sakit, Nak. Tadi pusing sebentar tapi udah Papa minumin obat, eh udah sembuh sebelum kamu sampai.”

Anin memicingkan mata. “Kalau sampai ngaku sakit begini, pasti ada maunya, kan?”

Gelagat lelaki di hadapannya itu terlalu mudah untuk ditebak. Anin kelewat paham dengan siasat yang Papanya gunakan hampir seumur hidup.

Papa mengangguk lalu tersenyum simpul. Lalu kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir lelaki itu membuat Anindia tertegun beberapa lama.

“Papa mau bahas soal perusahaan.”

Papa memperhatikan perubahab raut wajah Anin sebelum melanjutkan. “Sebagian besar aset keluarga bakal Papa alihkan jadi atas nama kamu, termasuk kontrak kerjasama dengan beberapa perusahaan properti, baik yang baru atau yang udah lama jadi partner kita.”

Anin memucat, sebab itu artinya, dia harus bersiap terjebak dengan satu orang yang sama, lagi.

“Iya, Sayang, termasuk perusahaannya Jeandra. Minggu depan itu ada meeting sama seluruh dewan direksi, sekalian Papa mau ngenalin kamu.”

“Kalau kamu mau, minggu depan kita hadir. Tapi Papa ngga mau maksa, kamu boleh nolak buat datang dan nanti Papa bisa bilang kalau kamu berhalangan hadir karena masalah kesehatan. Urusan Jeandra, nanti biar Papa yang urus, sejauh ini anak itu kayaknya masih belum sadar kalau ada nama Papa di daftar dewan direksi perusahaan dia.”

Papa hendak kembali mengutarakan kalimatnya, berniat kembali berkata kalau Anin tidak wajib datang kalau dia enggan. Tapi kalimatnya kembali tertahan di tenggorokan karena secara tak terduga, Anindia mengangguk.

“Aku mau.”

Dan harusnya ketika kalimat dan anggukan itu terudara oleh Anin, nun jauh di sana, Laksamana Jeandra sudah punya firasat kalau sebentar lagi, akan ada kejutan yang menanti dirinya. Harusnya begitu, tapi bahkan sampai hari pertemuan itu berlangsung, Jeandra sama sekali tidak pernah menduga kalau wajah manis yang biasanya dia temukan tengah memandangnya sendu itu akan dia temukan di tempat yang sama sekali tidak dia tebak.

Hidup punya banyak kejutan, tapi kejutan yang satu ini, tampaknya akan terasa terlalu mengejutkan buat Jean. Sebab baik dia maupun Anin sekalipun, tidak pernah tahu kalau takdir bisa menempatkan mereka dalam lebih dari satu permainan. Membuat keduanya lagi dan lagi harus bertemu dan saling memaku tatap satu sama lain. Hidup punya banyak permainan, dan tampaknya, kali ini Anindia tidak ingin kalah lagi. Sepertinya kali ini, Anindia tidak mau kembali jadi pihak yang terpojok di ujung ruangan, menonton bagaimana Jeandra memimpin ronde dan meninggalkannya terpuruk di belakang.

Setidaknya, tidak untuk kali ini.

-