Pain, Pain, Pain
Ada banyak hal yang menghuni kepala Anindia kala wanita itu sampai di rumah sakit. Sebagian besar adalah Jeandra, entah kapan nama itu akan keluar dari pikiran Anin dan membebaskannya dari rasa sakit. Pening menderanya sejak malam, Anin bahkan tidak sanggup membuka mata saat terjaga dari kantuknya. Rasa mual menyerang, Anin ingat kalau selama dua hari, dia tidak sempat menelan satu sendok nasi pun karena menyibukkan diri dengan dokumen-dokumen perusahaan yang bulan depan akan diperkenalkan kepadanya. Kalau Papa tahu, lelaki itu pasti akan marah. Makanya pagi ini, dia memutuskan untuk langsung mengenakan masker untuk menutup bibirnya yang pucat.
Rasa pening itu semakin menjadi saat di tengah jalan, kemacetan menjebak. Anin menyetir mobilnya sendiri, sopir keluarganya sedang mengambil cuti beberapa hari karena sang istri akan melakukan proses persalinan, dan mencari taksi akan terlalu merepotkan. Tumpukan kendaraan dan suara klakson memekakkan telinga, khas ibukota, serta panas yang menguar memasuki jendela mobil membuat kepalanya seakan berputar ke segala arah, Anin bahkan harus mengeratkan cengkeramannya pada kemudi karena rasa mual terus-terusan mengganggu.
Oh, pendingin udara tidak dia nyalakan. Wangi bunga lavender yang biasanya menjadi penenang di kala resah itu mendadak berubah menjadi bau menyengat yang mengundang perutnya bergejolak lebih parah. Anin merasa aneh, tapi semua keanehan itu dia kesampingkan karena urusan pekerjaan baginya jauh lebih penting.
“Bu Dokter?”
Anin menoleh, ada Hema di sana. Lelaki itu berjalan memasuki lobi rumah sakit dengan beberapa box berwarna putih yang dia jinjing di tangan kanan dan kiri. Anin mengerutkan kening, kedatangan Hema sungguh di luar ekspektasinya.
Well, berhari-hari hanya bergelut dengan dokumen-dokumen perusahaan dan laporan pasien, serta pikiran-pikiran soal Jean tentunya, membuat Anin melupakan orang lain. Hema sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya, maka saat lelaki itu menampakkan diri setelah satu minggu tidak terlihat dimanapun.
Hema mendekat ke arahnya, senyum sumringah ia tunjukkan pada Anin sebagai sambutan selamat pagi. Tangannya terangkat, memamerkan kotak berisi makanan yang dia bawa untuk Anin. “Lo udah sarapan?” tanya Hema.
Anin menggeleng pelan.
“Ayo sarapan, gue bawa banyak makanan.”
Hema berjalan mendahului Anin, melangkah menuju ruangan milik Anin yang berada di ujung koridor sebelah kiri. Hema seakan sudah menghafal tempat itu di luar kepala, dia bahkan membiarkan Anin tertinggal di belakang dan berakhir mempercepat langkah untuk menyusul.
“Kamu kenapa ke sini?” Anin bertanya saat tersadar kalau kedatangan Hema terlalu tiba-tiba. Walau sebetulnya Hema memang selalu datang tiba-tiba, tapi mengingat percakapan terakhir mereka yang sedikit dibumbui emosi, Anin sama sekali tidak menyangka kalau lelaki itu masih mau menemuinya.
“Kangen sama lo,” jawab Hema sambil terkekeh pelan.
Anin menipiskan bibirnya menjadi satu garis lurus, candaan Hema sama sekali tidak memengaruhinya. “Saya tanya serius, Hema.”
Hema meringis. “Ngga apa-apa, gue udah lama ngga ketemu lo. Sekalian tadi lewat daerah sini sambil meeting sama orang, yaudah mampir.” Hema menjelaskan sembari kedua tangannya sibuk menyusun kotak karton makanan yang tadi dia bawa di atas meja. Mereka berdua sudah berada di dalam ruangan dua menit lalu, Hema bahkan sudah mendudukkan diri di sofa tamu tanpa meminta repot meminta izin pada si pemilik ruangan.
Anin mengangguk, meski sebetulnya masih ingin mempertanyakan alasan Hema yang terkesan terlalu basa-basi, tapi pening di kepalanya menghalangi, dia bahkan tidak sanggup bicara lebih lama.
“Masker lo ngga dilepas?” tanya Hema lagi. Anin menggeleng pelan, dia terlalu lemas untuk bicara.
“Gimana mau makan, Bu Dokter? Ayo lepas bentar, sumpah gue udah divaksin dua kali, aman kalau deketan sama gue. Plus, gue ngga nyebarin rabies,” lanjut Hema sambil menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.
“Saya ngga laper, kamu makan duluan aja. Atau nanti sisain satu box buat saya, nanti saya makan kalau udah selesai semua.”
Hema berdecak, lelaki itu memandang Anin dengan tatapan menghakimi. Tapi sedetik kemudian ketika menyadari wajah lesu Anin, Hema menghela napas.
“Gue tau lo pasti jarang makan akhir-akhir ini, jadi gue bawain makanan buat lo,” katanya dengan nada memohon. “Makan ya? Pipi lo makin tirus, dari mata lo keliatan banget kalau lo lagi ngga sehat,” lanjut Hema.
Anin tersenyum di balik masker yang dia gunakan, lalu menggeleng sekali lagi. “Saya bahkan ngga punya semangat buat hidup, Hema. Makanan ngga ada rasanya di lidah saya,” ucap Anin.
Hema membelalakkan mata, ucapan Anin barusan membuat dadanya serasa dihantam sesuatu dengan keras. Bahkan tanpa sadar, sebuah kalimat meluncur melalui bibir tipisnya. Kalimat yang kemudian membuat Anin mengerutkan kening dan tatapannya pada Hema sontak berubah tajam.
“Karin bahkan bisa makan dan tidur nyenyak tanpa gangguan, pantesan Jean sekhawatir itu dengan bilang lo pasti bakal ngga bisa makan dengan teratur setelah semua yang terjadi.” Hema mengucapkan kalimat itu. Pelan, tapi Anin masih bisa menangkap kalimat itu dengan jelas melalui rungunya.
“Kamu ke sini karena suruhan Jean?” Suara lemah itu berubah dingin dan menusuk dalam sekejap, membuat kepanikan dalam sekejap merayap di mata Hema.
“Ngga, gue salah ngomong tadi.” Hema jelas panik, suaranya yang meninggi membuat Anin bisa menyimpulkan satu hal. Kalau kehadirannya di hadapan Anin pagi ini adalah hasil dari permintaan Jean.
Anin teringat akan sesuatu, tentang Jean dan permintaan lelaki tinggi itu pada Anin untuk tidak bekerja sementara waktu. “Apa ada hubungannya sama yang Jean minta kemaren, Hema?” tanya Anin.
Hema menggeleng, tatapan marah yang sangat jelas berkilat di kedua iris cokelat Anin membuatnya kehilangan kemampuan untuk berbicara.
“Kamu kenal saya dari dulu, Hema. Saya paling ngga suka dibohongi, saya ngga bisa maafin seorang pembohong.”
Pada akhirnya, Hema mengangguk terbata. Di detik yang sama saat matanya menangkap anggukan Hema, Anin merasa kalau kepalanya semakin terasa sakit. Nama Jeandra lagi-lagi menjadi pelaku utama, dan Anin benci pada dirinya sendiri karena tidak mampu mengenyahkan nama itu meski yang mendominasi adalah resah dan denyut luka menganga ketika Jeandra kembali mengeksploitasi benaknya.
“Anin, dengerin gue. Karin mau lakuin sesuatu yang gue sama Jean ngga tau, dan targetnya adalah lo. Karin itu unexpected, gue bahkan belum bisa menebak isi kepalanya meski dua tahun kerja bareng dia, Jean bahkan nyerah dan minta gue buat lindungin lo.”
Anin diam tak memberi jawaban, wanita itu terlalu sibuk mengenyahkan rasa sakit yang menguasai kepala hingga seluruh tubuhnya.
“Jean ngga mau ada hal buruk yang terjadi sama lo, Karin bisa aja main fisik dan itu bakal parah banget. Lo inget ngga? Dia bahkan mau repot-repot kecelakaan pura-pura dan bahayain dirinya sendiri, gue yakin dia ngga akan segan untuk berbuat lebih ke orang lain. Dia—”
“Tujuan dia apa?”
Kalimat Hema tidak terselesaikan, Anin terlebih dahulu memotong dengan pertanyaan. Senyap, Hema terjebak dalam kebingungan.
“Gue—ngga bisa jawab itu sekarang,” katanya.
“Tujuan dia apa, Hema?” ulang Anin sekali lagi.
“Gue ngga bisa kasih tau lo, maafin gue.”
Anin tertawa pelan, suaranya terdengar parau dan hal itu mengundang rasa khawatir bagi Hema. Gelak yang Anin keluarkan terdengar rapuh, Hema bisa menebak itu melalui tatapan Anin yang menyaratkan lelah.
“Jeandra nganggap saya selemah itu ya?”
Hema sontak menggeleng. “Bukan begitu. Sumpah, Anin, gue bahkan bisa menjamin kalau lo adalah wanita terkuat yang pernah gue kenal, tapi masalahnya ngga sesepele itu.”
Anin kembali bersuara, dan kali ini, Hema tidak lagi mampu menjawab.
“Mau masalahnya serunyam apa pun, kalau ada hubungannya sama rumah tangga saya, itu artinya bukan urusan kamu, Hema.”
Hema tidak mampu melawan, argumen yang sudah dia siapkan untuk melawan Anin kembali tertelan dalam.
“Kalau memang Karin mau lakuin sesuatu ke saya dan alasannya karena Jeandra, urusannya bukan sama kamu, tapi langsung sama saya.”
Hema memberanikan diri membuka suara, walaupun terdengar seperti cicitan. “Anin, lo ngga paham—”
“Saya memang ngga paham, saya ngga akan pernah paham kalau kamu dan Jean masih terus sembunyi kayak begini dari saya. Jadi selama kamu dan Jean masih belum punya niat buat meluruskan semuanya dan jelasin ke saya terang-terangan, berhenti bersikap seolah kalian berdua peduli sama saya.”
“Jean peduli sama lo, gue juga peduli sama lo.”
Anin memasang senyum miring, kalimat Hema sungguh terdengar lucu di telinganya. “Kalau kamu dan Jean peduli, dari awal ngga akan ada Karin di antara saya dan Jean, atau ngga akan ada saya di antara Jean dan Karin. Kamu jelas paham maksud saya.”
Anin melanjutkan, kali ini suara paraunya terdengar begitu lemah.
“Jadi, Hema. Saya mohon, berhenti bersikap seolah-olah Jeandra cuma korban. Berhenti bersikap seolah dengan kemarahan saya, Jean adalah orang yang paling tersakiti. Kamu yang paling tau masalah ini, jadi saya mohon, saya udah muak, Hema...”
Kalimat itu menjadi penutup. Anin kemudian melangkah menuju pintu dan keluar dari ruangannya, langkahnya gemetar hebat. Rasa sesak menyerbu dada, panas mengerubungi kedua netra bulat miliknya, memaksa bulir bening turun meski dia tahan sekuat tenaga.
Namun, di tengah kesibukannya menahan rasa sakit yang berkuasa di seluruh tubuh, Anin dibuat tersentak kala suara langkah kaki bergema keras di seluruh koridor. Kepalanya terangkat, dia bahkan tidak lagi punya waktu untuk terkejut kala melihat sosok lain tengah berjalan angkuh di arah berlawanan.
Di sana, Karinina berjalan menuju ke arahnya. Langkahnya angkuh dengan dagu terangkat. Wajahnya masih secantik biasanya, tapi Anin bersumpah kalau wajah itu membuat rasa mual dan gejolak di perutnya terasa makin parah.
Harusnya, saat langkah Karin semakin terdengar jelas di telinga, Anin paham kalau ada yang tidak beres dari langkah itu. Harusnya begitu, tapi ternyata Anin bahkan tidak mampu menggerakkan tubuh sebab pening di kepalanya semakin menjadi-jadi.
Harusnya begitu, sebab dalam hitungan satu menit kemudian, Anin paham kalau Karinina betul-betul mengambil segala yang dia punya.