Pain, Pain, Pain, Go Away
Anin hancur lebur. Dia bahkan tidak dapat mendefinisikan rasa mana yang paling mendominasi. Marah, kecewa, sedih, atau sesak yang membuatnya kesulitan bernapas.
Dia kehilangan jabatannya di rumah sakit, semua orang membicarakannya seolah Anin adalah kriminal. Namanya sudah tercoreng, bersamaan dengan gosip yang dengan cepat menyebar di antara seluruh penghuni rumah sakit. Katanya, Dokter Anin yang lembut itu ternyata punya tempramen yang buruk. Katanya, Dokter Anin yang biasanya selalu tersenyum itu ternyata punya sisi lain dalam dirinya. Katanya, Dokter Anin tidak punya hati karena melakukan kekerasan pada seorang pasien yang datang padanya untuk menyapa.
Jangan lupakan bagaimana Jeandra membuatnya malu dengan berkata kalau Anin membuat lelaki itu menanggung aib sebagai suami dan sebagai pemilik rumah sakit tempatnya bekerja. Juga bagaimana Jean mencopot jabatannya sebagai dokter di rumah sakit itu di hadapan belasan dokter lain.
Anin bahkan tidak sempat menelisik satu persatu air wajah para dokter di ruangan itu, matanya terlalu terpaku pada Jean yang memasang raut penuh amarah padanya.
Kepalanya semakin terasa berputar, mual yang dia rasakan semakin menjadi. Tubuhnya terasa makin parah, ditambah masalah yang barusan terjadi membuatnya semakin yakin kalau dia sudah hancur, sehancur-hancurnya.
“Anin?”
Anin mengangkat kepalanya, Aksara berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Sontak, kedua matanya kembali berair dan terasa panas ketika menangkap sosok Aksara mendekat ke arahnya. Anin langsung berdiri dari sana, tubuhnya limbung. Aksa dengan cepat berlari dan menangkap Anin, lelaki itu tampak khawatir.
“Are you okay?” tanya Aksa yang semakin membuat Anin ingin menangis.
Anin menggeleng, dia sudah tidak sanggup berkata kalau dirinya baik-baik saja. Kalau biasanya dia akan tetap berkata kalau dirinya baik, kali ini Anin tidak mau lagi menahan sakit yang dia rasakan.
Dia terlalu marah, dia terlalu kecewa.
Dan Aksara tampaknya mengerti hal itu. Tanpa Anin minta, Aksa menarik tubuhnya ke dalam sebuah pelukan. Tanpa kata, Aksa memberinya sebuah rengkuhan hangat, membiarkan tubuh Anin yang terlampau lemah bersandar penuh kepadanya.
“I lost, Aksara. Saya kalah lagi bahkan setelah tiga kali,” katanya, sebelum kemudian tubuh Anin jatuh sepenuhnya di pelukan Aksa. Anin pingsan, kegelapan menyergapnya sebelum dia sempat melanjutkan keluhnya pada Aksa. Pandangannya menghitam, dia tidak lagi sempat mengadu lebih jauh pada Aksa.
Sedangkan Aksara panik bukan main. Suhu tubuh Anindia terasa panas di kulitnya, wajah Anin terlampau pucat. Dalam hitungan menit, Aksa membopong tubuh mungil di dekapannya untuk memasuki mobil miliknya. Aksa tidak tahu apa yang terjadi, tapi saat matanya menangkap sosok Jeandra dari kejauhan, Aksa memutuskan untuk mengurungkan niatnya membawa Anin ke dalam rumah sakit, meski jarak mereka dengan pintu utama rumah sakit itu terlampau dekat.
Saat matanya menangkap raut panik Jeandra ketika Anin terjatuh tak sadarkan diri, Aksara paham kalau lelaki itu adalah aktor utama dalam tangisan Anindia.