Pendahuluan – Dari Ageeta
Halo, ini Ageeta.
Oke, itu formal banget anjrit geli gue bacanya.
Jujur gue gak tau mau mulai dari mana, soalnya yang beginian itu bukan keahlian gue. Tapi gak-apa, mari mencoba pelan-pelan. Kita mulai dari cerita hidup gue yang biasa aja dan dan gak berkesan ini.
Gue adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adik gue laki-laki, umur 18 tahun dan sekarang udah jadi mahasiswa semester dua di kampusnya. Si tengil itu namanya Haikal, Galiandra Haikal. Anaknya songong, kalau ketemu dia di McD gak apa-apa kalau mau lo tabok ubun-ubunnya.
Singkat cerita, gue dan Haikal adalah yatim piatu. Kita gak punya orang tua, mereka meninggal di sebuah tragedi kecelakaan waktu gue masih berumur 16 tahun dan Haikal masih 12 tahun. Sejak Ayah sama Bunda gak ada, gue mengambil peran sebagai orangtua tunggalnya Haikal. Anak itu jadi tanggung jawab gue sepenuhnya, baik moril maupun materil.
Gue gak pernah terang-terangan mengeluh soal betapa capeknya jadi kakak sekaligus orangtua tunggal buat Haikal, sebab gue tahu kalau hal itu cuma bakal bikin dia sedih dan gue benci liat dia sedih. Mukanya jelek kalau murung, sumpah gue gak bohong.
Gue selalu menyimpan keluh kesah gue sendiri, gue telan semua capek yang gue rasain seorang diri. Gue gak mau Haikal menganggap dirinya sendiri beban buat gue, dia punya banyak impian dan memikirkan soal gue serta semua keluhan gak penting gue kemungkinan besar bakal bikin dia merasa gak pantas memperjuangkan mimpinya.
Selama bertahun-tahun, gue cuma hidup sama Haikal. Om dan Tante baik dari Ayah atau Bunda sebenarnya sering berkunjung dan bertanya perihal gue dan Haikal, tapi gue pribadi merasa kalau gue mampu dan gue bisa. Makanya, kalau mereka menawarkan bantuan baik uang atau apapun, gue biasanya menolak. Atau kalau memang mereka memaksa, semua uangnya gue masukin ke tabungan yang khusus gue buka buat masa depannya Haikal.
Hidup sama Haikal membuat gue terbiasa sama kehadirannya. Gue terbiasa bangun cuma dengan pemandangan Haikal pakai bokser buluk bergambar Iron Man dan singlet yang udah robek di bagian ketek kanan. Gue udah terbiasa sarapan, makan siang, dan makan malam cuma sama dia. Gue udah terbiasa hidup berdampingan dengan Haikal tanpa adanya orang lain.
Jadi, sewaktu Tama meminta gue untuk melanjutkan hubungan yang udah kami jalani selama kurang lebih tiga tahun, gue ragu.
Gue takut kalau gue bakal mengacau. Gue takut dia gak bisa menerima gue versi sepenuhnya. Tama mungkin udah melihat gue dalam versi pacarnya, tapi membuat dia melihat gue dalam versi seorang istri, gue rasanya belum siap.
Gue masih sering bangun terlambat, gue kadang masih lupa masukin garam ke masakan yang gue bikin, gue kadang ketiduran di dalam bath up pas mandi, gue agak ngorok—TOLONG GARISBAWAHI KATA “AGAK”— kalau tidur, dan lain-lain.
Gue gak yakin kalau gue siap untuk membiarkan dia melihat sisi gue yang itu. Oke, gue paham kalau yang namanya pernikahan, hal-hal semacam itu adalah konsekuensi yang harus diterima sama pasangan. Gue juga paham kalau hal-hal semacam itu sebetulnya manusiawi dan gue juga yakin, kalau Tama gak akan langsung ngeeenggg ninggalin gue dan minta cerai cuma karena gue salah masukin bumbu di makanan dia. Tapi tetap aja, gue belum siap.
Tiga kali dia melamar gue dengan tujuan yang sama, tiga kali itulah gue tolak dia.
Gue takut. Gue takut sama banyak hal, termasuk sama fakta kalau yang melamar gue ini adalah seorang Baskara Naratama. Maksud gue, coba lo nilai sendiri. Tama punya segalanya, baik tampang maupun uang. Dia baik, Tama terlalu baik. Gue takut kalau terjebak dalam pernikahan sama gue, dia bakal dipandang sebelah mata sama orang-orang. Gue gak punya apa-apa, gue cuma modal kalimat “Cinta Kasihku, aku sayang banget sama kamu.” atau kalimat-kalimat alay lainnya sedangkan dia, gue bahkan yakin dia bisa gusur satu Jakarta cuma buat gue.
Kami gak sebanding, dan itu yang gue takut. Gue takut semua yang dia kasih ke gue bakal berakhir sia-sia dan pada akhirnya, gak ada yang bisa gue lakukan karena gue yang serba kekurangan.
Gue sayang dia, gue selalu pengen bangun di samping dia tiap pagi, gue selalu pengen jadi satu-satunya orang yang bikin dia senyum. Tapi kalau mewujudkan itu semua sama aja dengan mengorbankan masa depan yang dia punya, gue rasa gue gak akan keberatan buat bilang “gak” sekali lagi ketika dia melamar gue.