Pendahuluan – Dari Tama
CW // Harsh words , Family conflict
Halo, ini Tama.
Sebagian dari kalian mungkin udah paham sama jalan cerita hidup gue yang rumit ini, sebagian lagi mungkin belum. Untuk itu, izinkan gue menceritakan sedikit soal hidup gue, sebelum nanti ke depannya, kalian jadi saksi bagaimana hidup gue perlahan berubah dari sesuatu yang rusak menjadi sesuatu yang meriah penuh sorak.
So, here we go.
Waktu umur gue 17 tahun, orangtua gue bercerai dan memutuskan untuk gak sama-sama lagi. Cinta yang mereka bilang bakal selamanya ada di dalam rumah nyatanya lenyap gak bersisa. Yang mereka bilang bakal selalu sama-sama baik dalam suka atau duka, nyatanya cuma omong kosong belaka. Keluarga yang gue kira bakal selalu jadi tempat bersandar, ternyata harus berakhir hancur bahkan tanpa timbang rasa.
Gue kacau.
Hidup gue berantakan sejak saat itu. Papa nikah lagi dan suatu hari, beliau datang ke gue dengan membawa sebuah fakta pahit yang harus gue telan secara paksa sampai dada gue sesak bukan main.
“Ini adik kamu, adik kandung kamu.” Itu kata Papa di hari gue pertama kali tahu kalau ada sosok lain yang membawa darah Papa di dunia ini. Bukan adik tiri, bukan anak bawaan istri barunya, atau anak yang dia adopsi dari panti asuhan manapun. Adik kandung, murni anak hasil hubungan Papa yang ternyata terjalin belasan tahun lamanya sama wanita simpanannya yang sekarang adalah istrinya.
Yang artinya, Mama gue udah diselingkuhi selama belasan tahun, tepatnya 16 tahun. Bahkan sejak tahun pertama pernikahan orangtua gue, Papa ternyata udah gak lagi menaruh hatinya di rumah. Bahkan sejak satu tahun pertama hidup gue sebagai anak mereka, Papa ternyata gak lagi memandang Mama dengan rasa yang sama.
Sejak saat itu, gue benci Papa. Benci banget sampai rasanya gue bisa aja membanting semua barang yang gue lihat di depan mata dan melempar semua benda itu ke arah dia. Gue mual tiap kali menatap mata yang sialannya, terlalu mirip dengan mata gue. Gue marah tiap kali melihat kaca dan menemukan wajah gue yang terlampau mirip sama dia, bahkan waktu gue mencoba tersenyum, gue benci itu karena senyum yang gue punya sama persis dengan punya Papa.
Maka sejak saat itu, gue memutuskan untuk gak pernah menunjukkan senyum gue lagi, sama siapapun dan dalam keadaan apapun.
Seakan dunia belum cukup menghukum gue, di hari lain ketika umur gue tepat menginjak 21 tahun, gue harus menemukan Mama terkapar dengan darah di seluruh badan. Yang lebih parah, dokter dan polisi bilang Mama diperkosa. Sampai akhirnya berbulan-bulan setelah itu, Mama mengandung. Gue gak tahu harus sekacau apa lagi hidup yang gue jalani karena bahkan setelah ditimpa berbagai jenis omong kosong yang diciptakan dunia, gue dipertemukan dengan adik kandung gue dan harus terjebak dengan obsesinya yang gila.
Anak itu punya perasaan yang gak seharusnya ke gue, dan setelah berkali-kali mencoba menjelaskan hal itu ke Papa, laki-laki sialan itu gak percaya dan malah menawarkan sebuah perjanjian ke gue.
Katanya, gue harus jadi penjaganya Adara—nama adik gue—dan Papa bakal menjamin kalau 30% saham perusahaan yang saat ini beliau pimpin bakal jadi milik gue. Gue menolak tentunya, bahkan tanpa berpikir dua kali. Gue gak mau terjebak di antara Papa dan Adara, gak akan pernah mau. Lagipula, menurut gue saham sebanyak itu gak akan berguna buat hidup gue yang gak punya tujuan.
Tapi satu minggu kemudian, saat gue lagi di perpustakaan fakultas dan lagi gabut-gabutnya jadi mahasiswa, seseorang muncul di hadapan gue dan bikin keputusan gue berubah total.
Iya, kalau kalian menebak itu Ageeta Meraki, 100 buat kalian.
Ageeta muncul di hadapan gue sebagai cewek yang gue cap aneh—tapi lucu—karena nyari buku cerita anak-anak di deretan buku khusus referensi teknik geologi. Gue gak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh di pandangan pertama, menurut gue itu bullshit yang diciptakan orang-orang untuk melebih-lebihkan cinta.
Tapi waktu mata gue manatap langsung ke netra bulat milik Ageeta, gue menarik kata-kata gue. Gue jatuh cinta, tepat di pandangan pertama.
Ageeta Meraki bikin gue melanggar kalimat yang gue katakan sendiri. Ageeta Meraki bikin gue diam-diam mengulum senyum sampai pipi gue pegal karena tingkah dia yang lucu. Ageeta bikin percaya kalau gue masih bisa memperbaiki hidup yang terlanjur berantakan. Ageeta bikin gue secara impulsif datang ke Papa dan mengiyakan perjanjian yang sebelumnya gue sebut konyol.
Cuma buat satu tujuan, yaitu bikin dia senyum dan memenuhi semua yang dia jadikan mimpi. Gue mungkin gak punya tujuan hidup, tapi sejak ada Ageeta, mimpi dan semua hal yang berkaitan dengan dia mulai jadi tujuan gue.
Ageeta bikin gue yakin, kalau bahkan hidup yang gue anggap terlampau hancur pun masih bisa dibenahi. Ageeta dan semua hal soal dia bikin gue menemukan hidup yang selama ini hilang. Gue mungkin terdengar berlebihan, tapi sejujurnya menurut gue, gak akan pernah ada kata “cukup” buat Ageeta, gak akan pernah.
Maka di sinilah gue, jadi satu di antara banyak orang yang terkadang jadi konyol karena rasa sayang yang gue punya ke satu cewek. Kalian mungkin udah bisa menebak kalau cerita ini akan dipenuhi oleh bagaimana gue berjuang buat meyakinkan Ageeta sebelum kami melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Iya, gue udah ngelamar dia.
Tiga kali dan semuanya ditolak.
Kalau kalian pikir, seorang Ageeta akan langsung menjawab “iya” ketika gue lamar, maka kalian salah. Gue dibuat ketar-ketir sebanyak tiga kali karena dia yang selalu overthinking dan masih punya banyak pertimbangan buat menerima gue.
Gue bisa aja mementingkan ego sebagai laki-laki dan bersikap sok superior dengan bilang ke dia kayak gini; Ada banyak cewek yang ngantri di belakang kamu dan mau kulamar saat ini juga. Oke, ini kedengerannya terlalu narsis tapi gue berani sumpah kalau dua hari lalu, salah satu suster yang merawat Mama sempat flirting ke gue dan menunjukkan gestur tertarik.
Tapi masalahnya, ngomong begitu ke dia cuma bakal bikin gue dikasih silent treatment selama berhari-hari. Masalahnya lagi, gue gak mau orang lain dan cuma mau dia.
Jadi, tiga kali ditolak gak akan bikin gue menyerah. Gue bakal mencoba lagi, lagi, dan lagi. Sampai gue mendapat anggukan dari dia, gue gak akan mundur. Jadi dalam cerita ini, kalian mungkin bakal melihat bagaimana pada akhirnya, gue lah yang jadi bucin tolol buat Ageeta.
Sekian,
Tama.