Plot Twist – Dari Anindia

Halo, ini Anindia.

Harusnya pagi ini saya sudah bertolak ke rumah sakit, berjaga di ruangan dan menunggu lampu emergency di dekat pintu keluar-masuk berubah warna menjadi merah sebagai tanda kalau tugas saya dimulai. Tapi ternyata setelah semalam untuk pertama kalinya Jeandra membawakan sesuatu yang tidak pernah saya duga, saya bahkan tidak sanggup berjalan.

Katanya, tidak apa-apa kalau sekali kesempatan saya absen dari rutinitas itu. Saya menurut, karena sejujurnya saya memang butuh istirahat dari rumah sakit dan tetek bengeknya.

Mengingat rumah sakit dan pekerjaan, saya terpikir sesuatu. Saya ini dokter, saya sudah lihat banyak kisah lebih dari sebagian orang. Saya ini dokter, saya sudah sering melihat banyak jenis wajah cemas, yang betul-betul cemas sampai memucat atau yang hanya sekedar penasaran soal keadaan pasien.

Ada banyak yang sudah saya lihat, mereka semua kekal dalam ingatan di kepala. Kadang membuat saya tersiksa, sebab saya jadi lebih peka dan sensitif pada keadaan sampai kadang harus pura-pura tidak peduli. Hasilnya tidak selalu bagus, saya kadang harus ikut terbebani kala mengingat raut-raut cemas yang saya tangkap melalui mata.

Saya menulis ini sewaktu mendengar ponsel milik suami saya berdering, bunyinya memekakkan telinga. Sungguhan masuk ke dalam rungu saya saat sebetulnya hening tengah menyelimuti di antara dekapan saya dan Jean.

Saya mulai menulis ini sewaktu nama Hema terlantun dari bibir tipis Jean, bibir yang semalam membuat saya melayang sampai ke bumbungan teratas bumi. Jemari saya mulai mengetik satu persatu kata ini ketika melihat air muka Jeandra berubah panik.

Sepanik waktu dulu dia mendengar saya terluka.

Saya kurang paham apa yang terjadi, tapi setelah Jean bangkit dan meninggalkan saya sendirian di dalam kamar, saya sadar situasinya mulai berbeda.

Tolong, jangan lagi. Pikir saya sendiri.

Jean bergerak cepat mengambil kemeja kusut berwarna hitam yang tergeletak lunglai di ujung tempat tidur, lelaki itu bahkan sama sekali tidak punya waktu untuk sekedar melirik atau mengucap kata pamit pada saya. Sama sekali. Sampai akhirnya saya mendengar suara pintu tertutup rapat, cukup menggelegar sampai saya terlonjak, padahal saya sudah menebak sedari awal kalau bantingan pintu itu akan menghasilkan suara keras.

Saya hanya paham sampai sana, otak saya menolak untuk menebak lebih lanjut.

Padahal baru beberapa menit lalu kehangatan mengungkung saya. Padahal baru beberapa menit lalu Jeandra bilang enggan bangkit dari sana karena saya masih belum mampu berjalan. Padahal, bahkan tak sampai satu menit lalu lelaki itu bilang akan tetap berada di rumah sampai sore.

Saya menolak paham, tidak mau berpikiran menyimpang soal alasan suami saya terburu-buru meninggalkan kamar.

Saya... takut kalau alasannya adalah Karin.

Saya terlalu takut.

Saya ini penakut, terutama soal Jean dan semua hal tentang lelaki itu. Saya masih berusaha mengurung prasangka kalau saya ditinggal karena urusan pekerjaan. Saya masih berkeras diri kalau Jean akan menghubungi saya segera, memberi pesan dan menjelaskan kenapa dia pergi terburu-buru.

Kami baru saja memulai, kan?

Iya, kami baru memulai beberapa hari lalu. Jean tidak mungkin membuat saya kacau lagi, kan?

Tapi sepertinya, ketakutan saya terjadi lagi. Ponsel saya bergetar dan nama Hema muncul di sana. Saya ragu untuk membuka, tapi sepertinya saya harus. Sebab nama Hema terus-terusan muncul di layar, seakan memaksa saya untuk mengintip ke dalam.

Hema Anin, gue tau lo ngga suka denger ini. Tapi Jean lagi nyusul Karin, taksinya ketabrak truk pengangkut barang dan sekarang kondisinya kritis.

Tolong, jangan lagi. Saya menggumamkan itu berkali-kali tapi tidak ada yang terjadi. Pesan itu masih di sana, isinya juga masih sama.

Saya sudah bilang sebelumnya, kan? Saya ini dokter, saya sudah lihat banyak raut khawatir dari orang-orang yang menunggu kabar dari sosok yang disebut pasien. Saya ini dokter, dan sebagai dokter, saya tahu kalau raut cemas Jeandra memang betul-betul datang dari bagian terdalam di diri lelaki itu.

Saya ini dokter dan saya paham dalam sekali tatap, kalau suami saya betulan khawatir pada sosok lain di luar sana.

Kadang, inilah yang membuat saya benci pada fakta kalau setelah jadi dokter, saya menjadi lebih peka terhadap situasi. Saya benci pada fakta kalau otak saya paham jika Jean sedang khawatir.

Saya benci fakta kalau pada akhirnya, saya ditinggalkan karena sosok yang sama.

Detik itu, saya memutuskan untuk berhenti menulis surat ini.