Romeo, Damkar dan Kebebasan
TW // Violence
Romeo itu orang gila.
Harusnya, Sabrina sudah mengetahui hal itu sejak awal dan memutuskan untuk mencari orang lain yang bisa membantunya agar bisa lepas dari Rangga. Harusnya ketika melihat bagaimana anehnya cara Romeo membalas pesannya di Tinder kemarin, Sabrina mencari orang lain yang bisa ia jadikan pacar pura-puranya.
Tebak apa yang Romeo lakukan di hari perjanjiannya dan Rangga itu?
Romeo diantar oleh sebuah mobil pemadam kebakaran.
Sabrina hampir pingsan ketika melihat laki-laki itu turun dari mobil besar berwarna merah itu sambil melambai riang ke arah petugas di dalam mobil sambil mengucapkan terima kasih. Dengan gayanya yang sok keren, Romeo menghampiri Sabrina dan Rangga yang sudah duduk saling berhadapan di area outdoor di depan cafe yang sama tempat Romeo dan Sabrina bertemu tadi malam.
Rangga datang lebih dulu pada pukul sembilan pagi dan Sabrina menyusul sepuluh menit kemudian. Dua orang itu sempat berdebat karena mulut Rangga yang menyebalkan dan mengundang emosi seperti biasanya. Rangga menuduhnya berbohong, tapi Sabrina tetap mencoba meyakinkan laki-laki itu bahwa pacar baru yang ia maksud sebentar lagi benar-benar akan datang.
Sabrina sudah mengirim belasan pesan pada Romeo, bertanya pada Romeo kapan laki-laki itu akan sampai karena demi Tuhan, berhadapan dengan Rangga saat ini benar-benar membuat Sabrina merasa sesak bukan main. Rasa mualnya benar-benar hampir naik ke permukaan dan hampir membuat Sabrina muntah di hadapan Rangga.
Masalahnya, Sabrina sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan mendengar suara sirine yang memekakkan telinga yang datangnya dari sebuah mobil pemadam kebakaran yang tampak melaju ke arah mereka. Sabrina awalnya mengira kalau mobil itu hanya akan melewatinya, tapi jantungnya langsung terasa merosot ke perut ketika mobil itu berhenti tepat dua meter dari tempatnya duduk. Romeo keluar dari sana dengan percaya diri, seolah aksinya barusan merupakan sebuah adegan dari sebuah film action.
“Bunda!”
There’s no way he just said that….
“Maaf Ayah baru dateng ya, Bunda. Ada yang minta tolong turunin kucing dari pohon mangga, tapi Om-Om Pemadam Kebakarannya nyasar, jadi Ayah bantuin mereka nyari titiknya dulu soalnya Ayah hafal daerah sini. Bunda udah nunggu lama?”
Sabrina benar-benar ingin menangis detik itu juga.
Sedangkan Rangga, laki-laki itu memasang ekspresi seolah baru saja melihat hantu. Rangga menatap bergantian ke arah Sabrina dan Romeo, mencoba menilai laki-laki yang baru saja memanggil Sabrina dengan panggilan Bunda itu dari ujung kaki hingga kepala sebelum kemudian tertawa sinis.
“Ini pacar baru kamu? Anak alay ini?”
Romeo langsung menatap tajam ke arah Rangga, ekspresi semringahnya langsung berubah masam ketika memandang Rangga. “Iya, gue pacar barunya. Kenapa? Nggak seneng?” ucapnya menantang. “Dan lo pasti cowok brengsek yang udah bikin cewek gue tersiksa selama kalian pacaran, kan?”
Romeo kemudian maju dan menjulurkan tangannya ke depan. Wajah angkuhnya terlihat benar-benar menyebalkan, satu tangannya yang berada di belakang tubuh pun membuat kesan sombong yang Romeo coba tampilkan semakin terasa kental. “Kenalin, Romeo. Gue pacarnya Sabrina sejak satu bulan belakangan dan gue dengar dari cewek gue, lo masih berusaha ngejar-ngejar dia padahal jelas dia udah minta putus dari lo.”
Rangga hanya memandang uluran tangan Romeo dengan tatapan jijik, kemudian mengalihkan tatapannya pada Sabrina yang masih terlihat shock. “Sabi, Baby, aku nggak nyangka kalau selera kamu turun sedrastis ini. I thought that you really found someone perfect, bukannya jamet nggak jelas kayak gini. Padahal—”
“Call her with that baby again and I’ll break your legs.”
Romeo memotong kalimat Rangga tanpa ragu. Rangga terkejut, Sabrina jauh lebih terkejut. Romeo dengan wajah seriusnya kemudian maju dan menarik pelan tangan Sabrina agar perempuan itu berdiri di belakangnya, menyembunyikan tubuh kecil Sabrina dari jangkauan Rangga dan menjadikan dirinya tameng di antara dua orang itu.
Rangga tertawa mengejek. “Lo dibayar berapa sama Sabrina biar mau ngaku jadi pacarnya di depan gue?” tanya laki-laki itu dengan nada merendahkan. “Lo lagi butuh duit, kan? Biar gue yang kasih, gue pastikan jumlahnya tiga kali lipat dari yang Sabrina kasih buat lo, jadi lo bisa berhenti bersikap sok keren kayak gini dan berhenti mencampuri urusan gue sama dia.”
Mendengar kalimat itu, Sabrina tanpa sadar meremas bagian belakang baju yang Romeo kenakan. Rangga bisa mencium gelagatnya yang aneh, Sabrina mulai takut sekarang. Namun di luar dugaannya, Romeo bermain peran lebih baik dari yang ia duga. Laki-laki itu juga terkekeh, kekehannya santai tapi Sabrina bisa langsung melihat wajah jengkel Rangga karena suara tawa Romeo yang menyebalkan.
“Lo sombong begini punya apaan, sih, memangnya?” tanya Romeo. “Bapak lo yang punya negara, iya? Atau bapak lo yang punya Jakarta? Heran, sombong amat jadi manusia sampai bisa-bisanya lo menganggap Sabrina sebagai samsak tinju yang bisa dipukulin kapan aja.”
Merasa terhina karena kalimat Romeo, Rangga mengepalkan kedua tangannya sampai buku-buku jemari laki-laki itu memutih. “Kalau gue mau, gue bisa bikin lo dikeluarin dari kampus lo sekarang juga, berengsek.”
Romeo memiringkan kepalanya. “Terus? Lo pikir gue takut gitu? Damn, lo benar-benar kayak katak dalam tempurung, lo kira dengan status bokap lo sebagai pemilik satu kampus, lo jadi bisa bikin gue dikeluarin dari kampus seenaknya, gitu? Bokap lo bukan penguasa bumi, Narangga. Ini negara hukum, bukti kejahatan lo ada dimana-mana dan gue bisa dengan mudah bikin lo dipenjara, bahkan orang tua lo yang katanya punya kuasa itu pun nggak akan bisa mengeluarkan lo dari sana dengan mudah.”
Kalimat itu terdengar benar-benar mengancam. Sabrina bahkan sampai harus menahan napas mendengarnya. Perempuan itu menatap Romeo, penasaran dengan siapa sebenarnya laki-laki yang secara acak ia mintai bantuan ini sampai Romeo bisa dengan berani mengatakan kalimat semacam itu tanpa beban. Belum sempat Sabrina mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, Romeo kembali bersuara.
“Gue dengar nyokap lo punya butik yang udah buka cabang di Singapura dan Bangkok, kan? Coba tanya sama beliau, seberapa berpengaruh apa orang yang namanya Helanina Agni Dayasha ke bisnis nyokap lo. Itu Oma gue dan kalau gue mau, gue bisa minta ke beliau buat cabut semua bantuan yang dia kasih ke nyokap lo biar bisnisnya bangkrut. Lo bikin gue keluar dari kampus, gue bikin keluarga lo bangkrut. Gimana? Impas?”
Romeo kemudian melanjutkan, “Bajingan kayak lo nggak pantas dapetin Sabrina, Narangga. Sampah masyarakat kayak lo sama sekali nggak pantas menyentuh Sabrina sedikit pun dengan tangan lo yang kotor itu. Lo butuh dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, Rangga. Kelakuan lo ini bukan lagi kelakuan manusia, tapi kelakuan binatang.”
Tak lama kemudian, suara teriakan kencang milik Sabrina terdengar karena Rangga yang maju dan meninju wajah Romeo dalam satu gerakan kilat. Mengingat janjinya untuk melindungi Romeo jika Rangga mulai berbuat macam-macam, Sabrina langsung berdiri di hadapan Romeo dan menghalangi Rangga.
“Mundur, jangan gila, Sabrina.” Romeo memberi peringatan dengan suara mendesis menahan sakit.
Sabrina menggeleng. “Gue udah janji bakal pasang badan buat lo,” jawabnya.
“Dan lo kira gue bakal biarin lo dipukulin sama orang gila ini sekali lagi? Mundur, karena kalau sampai lo kena pukulan dia lagi, gue benar-benar bakal ngamuk dan lo nggak akan bisa menghentikan gue sampai gue bikin muka bajingan itu nggak berbentuk.”
Maka pagi itu, ketika Sabrina dipaksa untuk mundur oleh Romeo agar tubuhnya tidak lagi terkena sasaran pukulan Rangga, dikisah rumit antara mereka dimulai. Tanpa satu pun dari mereka sadari, benang takdir di antara mereka mulai merambat mendekat dan mencari cara agar bisa terikat.