Runtuh
“Muka kamu kenapa?” Itu suara Papa, seluruh tubuh Anindia menegang kala suara berat itu menyapanya saat baru hendak mendudukkan diri di mobil.
Dia baru saja menangis, kemungkinan sisa sembab masih menjejak di wajah padahal Anin sudah memastikan dia mencuci muka dan menutup bengkak di bawah matanya dengan benar. Dia bahkan dengan sengaja menggunakan masker dan menunduk, tak ingin Papa menyadari raut murung sama sekali tak bisa lepas dari sana.
“Anindia, liat Papa.”
Ini buruk, sebab suara lelaki setengah baya itu mulai mengeras. Anin dengan ragu menolehkan kepalanya ke arah Papa, rahang lelaki itu mengetat ketika menangkap betapa kacau wajah mungil di hadapannya ini.
Rasanya, segenap hatinya ikut hancur ketika melihat iris bulat milik Anin mengarah padanya sendu. Rasanya, semesta menghantamkan seluruh isi dunia ke arahnya kala memandang bagaimana binar di manik kembar itu menghilang entah kemana alamatnya.
Tanpa kata, Papa melepas sabuk pengaman yang sebelumnya terpasang rapi. Lelaki itu maju lalu merangkum Anin dalam dekapan. Membiarkan tubuh kecil di dalam pelukannya itu perlahan luruh, melepas getar hebat yang kemudian berkuasa di seluruh badan.
Tidak, tidak akan ada kata “Kenapa?” yang dia lemparkan. Tidak akan ada.
Sebab bahkan tanpa Anindia beritahu pun, nama Jeandra sudah terpaku terlampau kuat di benak. Bahkan saat suara tangis serak milik Anin memenuhi seluruh mobil, lelaki setengah abad itu hanya mengeratkan peluk dan menggerakkan tangan menuju surai lembut sang puteri, mengelus di sana seolah memintanya menumpahkan segala kesah.
Saat Anindia hanya mampu berkata lewat tangis lirih, dia paham kalau ada yang luruh dari sosok mungil yang paling dia jaga itu. Saat bibir tipis yang dulu selalu dia jawil gemas itu hanya bisa mengadu lewat erangan menyakitkan, dia paham kalau hari itu, Anindia telah runtuh.