Second Meeting

Keesokan harinya, saya mengantar Ibun ke sebuah cafe tempat dirinya dan Tante Lilian berjanji untuk bertemu. Kami butuh waktu setengah jam untuk menuju ke tempat itu sampai akhirnya, mobil saya terparkir rapi di depan bangunan itu. Bangunan cafe itu cukup luas, cukup untuk menambah beberapa meja dan kursi di luar untuk pelanggan yang ingin mencoba makan ditemani dengan bisingnya jalan raya. Ibun turun dari mobil terlebih dahulu, meninggalkan saya yang masih sibuk menyimpan karcis parkir yang sialnya jatuh ke bawah kursi pengemudi. Setelah berhasil mendapatkan benda kecil itu lagi, saya langsung turun dari mobil dan menyusul Ibun yang ternyata sudah berada di ambang pintu utama cafe.

Saya mengekor dari belakang bak seekor anak ayam yang tengah mengikuti sang induk, kemudian saat saya dan Ibun sudah berada di dalam dan berdiri setidaknya tiga langkah dari orang yang saya sangat yakini merupakan Tante Lilian, saat itulah seseorang lain menoleh ke arah saya dan membuat jantung saya hampir jatuh ke dasar perut.

Anindia duduk di sana, perempuan itu tengah di seberang Tante Lilian. Iya, Anindia yang itu. Anindia yang beberapa bulan lalu saya lihat presensinya di rumah sakit milik Ayah. Anindia yang beberapa bulan lalu menjadikan seekor anak kucing sebagai pasien dadakan hingga rela menjadi bulan-bulanan kemarahan dokter residen yang berjaga saat itu. Anindia yang saya eksistensinya hanya saya ketahui sebatas nama dan tempat bekerjanya. Anindia yang meskipun hanya saya ketahui namanya tapi berhasil membuat saya kasmaran selama berhari-hari setelah menyaksikan aksi heroiknya di rumah sakit hari itu.

Saya terpana, hingga tidak mampu menggerakkan kaki padahal Ibun sudah jauh lebih dulu maju dan memeluk Tante Lilian. Dua orang itu bahkan sudah sama-sama menumpahkan air mata dan membuat beberapa orang lain di meja sebelah menoleh untuk melihat apa yang terjadi. Anindia yang tadinya duduk kini sudah berdiri di sisi meja, sebuah senyum tipis muncul di wajah perempuan itu dan saya sampai harus menahan napas karena pemandangan sederhana itu.

“Ayo duduk dulu, kita ngobrol santai sambil makan. Jean, ambil buku menunya ya, nanti bawa ke sini biar kita pesan.” Saya baru bisa kembali pada kenyataan saat Ibun mengatakan hal itu. Saya mengangguk dan berdiri, kemudian bergerak untuk mengambil buku menu dari salah satu meja yang diletakkan dekat dengan kasir. Saya langsung kembali ke tempat dan menarik salah satu kursi untuk duduk. Saya memberikan buku kecil itu kepada Ibun sembari melirik ke arah lain untuk mendistraksi pikiran dari perempuan bernama Anindia itu.

“Ini Anindia ya?” tanya Ibun dengan suara lembutnya yang khas.

Anindia tersenyum dan mengangguk sopan. “Iya, Tante.”

Singkat dan padat, tapi berhasil membuat Ibun tampak terkesima dengan pembawaan lembut perempuan itu. Dalam hati, saya mendukung respon Ibun sepenuhnya, diam-diam setuju dan memaklumi tatapan terpesona yang Ibun lemparkan saat mereka berdua lanjut berbincang mengenai pekerjaan Anindia sebagai seorang dokter. Sialnya, Anindia tampaknya sama sekali tidak menyadari kalau kehadirannya di tempat ini membuat tidak hanya membuat Ibun terkesima, melainkan ada saya yang harus bersusah payah mengatur jantung agar tidak berdetak berlebihan. Perempuan itu sejak tadi duduk kursi di seberang saya dengan santai seakan yang dilakukannya itu adalah sesuatu yang biasa. Well, teknisnya memang biasa. Namun dampak yang ditimbulkan oleh hal itu membuat saya sampai harus mengarahkan pandangan ke tempat lain.

Saya menarik napas pelan, meyakinkan diri kalau ini bukan pertama kalinya saya berhadapan dengan seorang perempuan seperti ini. Saya pernah berada dalam jarak yang lebih dekat dengan perempuan lain di masa lalu, saya bahkan pernah hampir menjalin hubungan serius dengan beberapa orang. Jadi, harusnya menghadapi Anindia dalam jarak ini bukanlah masalah besar bagi saya. Benar, Anindia bukan masalah besar.

“Have you told your father about this meeting? Mama lupa kasih tahu Papa kamu kalau Mama ajak kamu ke sini, takutnya dia panik nyariin kamu di rumah tapi kamunya nggak ada.” Tante Lilian mengatakan hal itu pada Anindia, perempuan itu mengecek ponsel miliknya sejenak sebelum kembali memandang Anindia dengan tatapan sedikit khawatir.

“I’ve told him about this many times, Ma.”

Nyatanya, usaha saya untuk tidak memperhatikan perempuan itu berakhir gagal total. Pandangannya saya pada akhirnya tetap tertuju pada perempuan di seberang saya itu dan saya pada akhirnya tetap gagal mendistraksi diri. Suara lembut miliknya masuk ke telinga saya seperti alunan sebuah lullaby pengantar tidur, saya lagi-lagi harus menahan napas. Kemudian saat pandangan kami bertemu selama hitungan detik, dada saya seketika terasa penuh. Saya bahkan bisa mendengar suara detak jantung sendiri dari dalam sana, menggema gila-gilaan seperti tengah dipaksa mengikuti lomba lari jarak jauh dalam waktu singkat. Saya menatap kedua bola mata kembar itu lekat, kemudian Anindia menjadi yang pertama memutus kontak. Perempuan itu memandang ke arah lain, berbeda dengan saya yang masih betah memandang wajahnya dengan tatapan intens.

Saya selalu beranggapan kalau di dunia ini, tidak ada yang lebih cantik daripada Ibun. Tidak akan ada nomor dua untuk kategori yang saya tetapkan ini, Ibun memenuhi baik posisi satu, dua dan tiga dan tidak menyisakan satupun tempat untuk orang lain. Namun memandang Anindia seperti ini membuat saya diam-diam memberi trofi tak kasat mata itu pada perempuan itu. Di dalam kepala saya sendiri, saya diam-diam memaksa Ibun untuk memberikan ruang pada posisi nomor dua untuk diberikan pada Anindia tanpa dua perempuan itu sendiri ketahui.

Anindia hanya duduk di sana, perempuan itu hanya sesekali mengedarkan pandangan ke arah lain dan hanya dengan gerakan itu, saya dibuat kagum bukan kepalang. Hari itu, Anindia tidak lagi memakai pakaian khas petugas rumah sakit, perempuan itu tampil lebih rapi dengan sebuah kemeja putih kebesaran yang membuat tubuh mungilnya semakin tenggelam. Saya benar-benar penasaran sependek apa tubuh kecil itu kalau berdiri bersebelahan dengan saya. Rambutnya tidak lagi dikuncir asal-asalan sepertinya yang terakhir kali saya lihat di rumah sakit. Rambut berwarna cokelat itu digerai rapi, ada sedikit bagiannya yang dibiarkan jatuh di depan dahi dan menambah kesan manis di wajah perempuan itu. Lingkaran hitam di sekitar matanya sudah tidak terlihat, wajah Anindia benar-benar segar hari itu dan saya bersumpah, kalau seumur hidup belum pernah ada yang pernah membuat saya sampai kesulitan bernapas hanya karena pemandangan sesederhana itu.

Saya hampir berhenti bernapas saat pandangan kami kembali bertemu, saya menyadari sesuatu. Bahwa ternyata sejak tadi Anindia juga menahan napas hingga kedua pipinya tampak seperti kelopak mawar merah muda. Warna merah muda merona itu juga bersambung hingga ke ujung telinganya, begitu menggemaskan sampai saya tidak dapat menahan diri untuk mengembangkan senyum kecil di kedua sudut bibir.

“Ibun sama Mamanya Anin mau ke bagian depan cafe dulu ya, mau ngecek interiornya beneran masih sama kayak dulu atau nggak kayak yang orang-orang bilang.” Suara Ibun membuat saya kembali ditarik ke realita.

Saya mengangguk tanpa berniat menoleh ke arah lain, pemandangan Anindia yang tengah merona seperti ini jauh lebih menarik daripada apapun yang terjadi saat ini. Kemudian saat Ibun dan Tante Lilian sudah meninggalkan meja dan hanya tersisa saya serta Anindia di sana, saya mulai kehilangan kendali atas diri sendiri, terutama setelah perempuan itu tersenyum tipis ke atas saya, murni karena kami tak sengaja bertatapan dan saya yakin kalau hal itu dilakukannya hanya agar kami tidak terlalu canggung. Jantung saya hampir berhenti berfusngsi.

Nyatanya, menghadapi Anindia seperti ini adalah sebuah masalah besar. Jatuh untuk perempuan itu terjadi begitu cepat dan di detik itu juga, saya tahu bahwa saya berada di dalam masalah besar. Namun bukannya berusaha untuk menghindar, yang saya lakukan adalah menantang diri sendiri dan terjun ke dalam masalah itu tanpa persiapan. Nyatanya, jatuh cinta pada Anindia memang semudah itu dan kalau memang jatuh untuk perempuan itu adalah sebuah kesalahan, saya tidak akan keberatan.