She Lost – Dari Anindia

Di sana, Karinina berjalan menuju ke arahnya. Langkahnya angkuh dengan dagu terangkat. Wajahnya masih secantik biasanya, tapi Anin bersumpah kalau wajah itu membuat rasa mual dan gejolak di perutnya terasa makin parah.

Saya tidak pernah tahu kalau seorang wanita bisa melakukan apapun demi yang dia inginkan, apapun. Betul-betul apapun, bahkan dengan cara sekotor menjebak wanita lain.

Waktu pertama kali bertemu Karinina, mata besar dan bulat miliknya membuat saya terpanah. Karin itu cantik, saya mengakui itu. Gadis muda itu punya tubuh yang bagus, wajahnya seperti boneka. Wajar kalau banyak merk produk kecantikan dan pakaian ingin merekrutnya menjadi wajah yang mewakili mereka. Saya pertama kali bertemu Karinina di hari pernikahan saya dan Jeandra, dia duduk di barisan ketiga. Entah bagaimana wajah itu bisa tertangkap oleh mata saya begitu saja, tapi melihat raut sarat luka dan dendam yang gadis itu berikan membuat saya sadar kalau ada yang tidak beres dari hari itu.

Dan tebakan saya ternyata benar.

Sebab saat semua tamu sudah pulang ke tempat masing-masing dan hanya tersisa beberapa orang di venue resepsi, saya menemukan Jeandra memeluk gadis itu kelewat erat di ruang istirahat yang diperuntukkan untuk pengantin, tempat yang harusnya hanya diisi oleh saya dan Jean.

Pemandangan yang saya lihat menjawab semuanya, termasuk pertanyaan seputar mengapa Jeandra memutuskan untuk pergi dari saya secara tiba-tiba tiga tahun lalu.

Karinina jawabannya.

Saya kehilangan Jeandra dan Karinina mendapatkan lelaki itu.

Saya kalah, baik tiga tahun lalu saat Jean mengucapkan kata pisah atau di hari pernikahan saya sendiri. Saya sudah kalah dua kali, dan penyebabnya adalah Karinina.

Maka saat saya mendengar suara langkah nyaring dari ujung koridor dan saya melihat pelakunya adalah Karin, otak saya mengajukan sebuah pertanyaan lantang.

Apa kali ini saya akan kembali kalah?

Kalimat Hema kembali terputar di benak, Karin berencana melakukan sesuatu pada saya. Entah rencana apa, tapi Karin kali ini terlihat amat siap melancarkan rencana yang dia siapkan. Gadis cantik bak boneka hidup itu terlihat amat bersemangat, dan saya bertanya-tanya rencana apa yang ada di balik kepala rupawan itu.

“Halo, Kak Anin.” Suara Karin terdengar manis, saya bahkan tidak bisa menyangka kalau anak semanis itu bisa menjadi alasan utama kehancuran saya.

Karin tersenyum, dan yang bisa saya lakukan hanyalah menerka arti senyum yang dia tunjukkan pada saya. Saya lelah, kepala saya terasa pening luar biasa. Saya tidak yakin bisa memberi perlawanan kalau di menit berikutnya Karin memberi serangan fisik seperti yang Hema katakan, walau sebetulnya saya juga tidak terlalu yakin gadis itu akan sanggup sebab dia belum sepenuhnya pulih.

“Kamu sehat?” tanya saya. Yang kemudian saya sesali sendiri karena masih sempat peduli setelah melihat bibir pucat dan cara berjalannya yang masih sedikit pincang.

Karin tertawa pelan, langkahnya berhenti tepat di depan saya.

“Baik, dan bakal tambah baik karena abis ini, gue bisa dapetin bahagia yang udah lo rampas dari gue,” katanya.

Salah, Karinina. Bahagia itu milik saya, yang kamu rampas dan kamu buat jadi milik kamu. Saya sangat ingin berkata begitu, tapi bibir saya hanya bisa menampilkan seutas senyum dan membuat saya semakin membenci diri sendiri.

Saya hendak membuka suara, tapi kejadian berikutnya sama sekali tidak saya duga.

Dua detik berikutnya, kaki saya bergetar luar biasa. Sebab dalam waktu sekejap, Karin berteriak kencang. Teriakannya tidak bisa saya sela, sebab gadis itu mengikutsertakan isakan yang terdengar pilu dan menyedihkan.

Kemudian, Karin mendudukkan diri di lantai rumah sakit. Otak saya membeku, saya tiba-tiba kehilangan kemampuan berpikir. Lolongan dan isakan keras Karin terus berlanjut, saya bahkan menundukkan badan berniat menolong gadis itu.

“Astaga, Karinina.” Saya panik, kedua tangan saya berusaha menggenggam tangan Karin yang tampak melindungi kepalanya.

“Jangan, Kak Anin. Aku minta maaf udah bikin Jean minta cerai sama kamu, tapi tolong jangan kayak gini, Kak. Kita bisa bicarain baik-baik tanpa kekerasan kayak gini.”

Saya membeku, dengan kedua tangan masih menggenggam tangan milik Karin.

Lalu, saat kerumunan orang-orang mulai mendatangi kami dan mulai berbisik-bisik, saya menyadari keadaan. Kata mereka, Dokter Anin barusan melakukan tindak kekerasan pada salah satu pasien rumah sakit. Kata mereka, Dokter Anin barusan menjambak seorang gadis berwajah pucat yang tengah sakit. Kata mereka, kata mereka, dan kata mereka. Sesak mulai menguasai saya, saya kebingungan.

“Karin!”

Kacau, sebab saat telinga saya mendengar teriakan Jeandra dari arah kerumunan, saya tahu kalau saya kembali kalah. Matanya berkilat penuh kemarahan, saya paham kalau Jean pasti menyalahkan saya karena membuat Karin kesayangannya menangis sampai terduduk di lantai.

“Lo kalau ada masalah sama gue, selesain sama gue. Jangan kayak anak kecil begini, Anindia. Lo bikin gue malu baik sebagai pemilik rumah sakit atau sebagai suami lo.”

Kalimatnya menusuk, saya paham kalau Jean betul-betul marah pada saya.

Apa tadi yang saya bilang soal wanita yang rela melakukan apapun demi mendapat yang dia wanita? Awalnya saya kira kalau seorang wanita tidak akan melakukan itu, sebab saya yakin kalau kami adalah makhluk paling punya hati yang diciptakan Tuhan. Tapi sekarang, saya tarik kembali keyakinan itu.

Karena saat saya masih dilanda sesak dan kebingungan atas apa yang terjadi barusan, saya kehilangan segalanya.

“Dokter Anin, anda bisa diberi sanksi pemecatan karena sudah berperilaku tercela di lingkungan rumah sakit dan merusak martabat serta kehormatan profesi kedokteran.”

Itu kalimat yang saya dengar ketika 10 menit kemudian, saya dibawa ke ruang rapat bersama banyak dokter pimpinan yang biasa saya temui di lain waktu. Saya kehilangan arah, terutama ketika mata saya menangkap sosok Jeandra duduk di kursi utama.

Mau tahu apa yang membuat saya semakin hancur hari ini?

“Saya suaminya dan pemilik rumah sakit, jadi saya punya hak untuk memutuskan apa yang jadi hukuman buat Dokter Anin.”

Iya, Jeandra mengeluarkan saya dari rumah sakit miliknya. Tidak dengan gelar dokter yang saya punya, dia tidak melakukan apapun dengan gelar itu karena tidak punya wewenang lebih untuk hal itu. Tapi saya tidak tahu apa hal itu bisa saya syukuri atau tidak, sebab berhenti bekerja di rumah sakit ini adalah mimpi buruk.

Saya betul-betul kehilangan segala yang saya punya.

Baik Jeandra atau pekerjaan saya, semuanya hilang dalam sekejap. Saya tidak tahu bagaimana Karin sekarang, saya bahkan tidak sempat berpikir. Bagi saya, yang paling membuat frustasi saat ini adalah tatapan dingin nan menusuk yang Jeandra sematkan buat saya.

Hari ini, saya tahu kalau saya kalah. Hari ini, saya tahu kalau lagi-lagi, Karinina membuat saya kalah untuk yang ketiga kalinya.