So, Here is the Deal
TW // Harsh words , verbal sexual harassment , slut shaming
“Anjing, si Rangga ada di depan.”
Sabrina berujar panik setelah mendapatkan pesan dari pemilik kos yang sepertinya sedang duduk di halaman depan rumah itu. Kanina yang sedang mengunyah makanannya pun langsung melotot dan ikut melihat isi percakapan antara Sabrina dan Bu Riti, si ibu kos yang sedang memberitahu soal keberadaan Rangga. Sabrina mengetikkan sesuatu di ponselnya, jantung perempuan itu menggema gila-gilaan karena terlampau panik menunggu jawaban dari si ibu kos yang entah mengapa, terasa seperti berabad-abad.
“Ada si Bapak juga, kan, di luar?” tanya Kanina sambil menepuk pelan punggung temannya, mencoba menenangkan Sabrina yang benar-benar terlihat tegang. Apapun yang berkaitan dengan Narangga Adiwijaya selalu membuat Sabrina ketakutan, Kanina benar-benar mengutuk Rangga karena telah membuat temannya sampai harus bersembunyi begini.
“Ada, harusnya kalau udah dihalangin sana si Bapak, Rangga bakal kapok, sih.” Sabrina menjawab sambil terus melihat ke arah ponselnya, menunggu jawaban dari si ibu kos sambil berharap bahwa Rangga tidak akan berbuat nekat.
“Lo mendingan cuci tangan dulu, biar gue yang nunggu jawabannya si Ibu.” Kanina angkat bicara, tangannya menunjuk ke arah pintu kamar mandi Sabrina yang tertutup cukup rapat. “Biar kalau ada apa-apa, at least tangan lo udah bersih dan siap tonjok-tonjokan sama Rangga. Oke?” ujar Kanina kemudian.
Sabrina mengangguk, perempuan itu kemudian langsung bangkit dari lantai dan berlari kecil menuju kamar mandi. Dengan gerakan secepat kilat, Sabrina mencuci kedua tangannya menggunakan air dan sabun, lalu langsung keluar terburu-buru setelah selesai dengan urusannya di sana. Sabrina langsung menahan napas ketika suara notifikasi pesan masuk terdengar berkali-kali, tubuhnya semakin menegang. Perempuan itu menghampiri Kanina, kemudian ikut duduk untuk meraih ponsel miliknya. Dengan tangan yang sedikit gemetaran, perempuan itu membuka pesan yang masuk dengan perasaan cemas.
Bu Riti (Ibu Kos)
Mbk tlg cepat,,,
Bapak sdg berdebat dg Ms Rangga n Ms Rangga kelihatan emosi,,,
Sy takut suami sy ditonjok Mbk
Cepet ya Mbk
Mbk Sabrina
Mbk Sabrina tlg cepat..
Melihat pesan itu, Sabrina dan Kanina langsung berdiri. Kanina menyempatkan diri untuk meraih ponsel Sabrina yang tadinya tertinggal di lantai, kemudian mengambil ponsel miliknya sendiri untuk dibawa. Dua anak manusia itu kemudian langsung berlari dengan panik ke arah ruang tamu untuk melihat apa yang terjadi. Dan benar saja, suara Rangga yang lantang meminta agar dibiarkan menemui Sabrina langsung terdengar dan membuat Sabrina hampir kehilangan nyalinya.
“Rangga,” panggil Sabrina ketika sudah melihat Rangga dengan jelas. Laki-laki itu langsung mengangkat kepala dan memandang Sabrina, sebuah senyum miring muncul di wajahnya yang menyebalkan. Sabrina langsung dapat merasakan cairan di lambungnya naik ke tenggorokan, bahkan hanya menatap Rangga sudah berhasil membuatnya mual bukan main. “I’ve told you to stop bothering me, haven’t I?” ucap Sabrina dengan nada muak setengah mati.
“Oh, there you are, Princess. Aku tahu kalau kamu pasti ada di dalam, but this old bastard right here kept telling me to go and said that you’re not home yet.” Rangga maju dengan langkah lebar, melewati pasangan suami-istri pemilik rumah kos yang Sabrina tempati sambil melemparkan tatapan tajam ke arah dua orang itu, seolah memberi peringatan keras untuk tidak mencampuri urusannya dengan Sabrina melalui tatapan itu.
“Maju satu langkah lagi dan gue pastikan lo benar-benar mendekam di penjara besok pagi,” ucap Sabrina dengan nada dingin yang tak kalah menusuk. “I’ve told you many times that we’re over, gue nggak mau berurusan sama orang gila kayak lo lagi. Please, apa sesusah itu buat bikin lo paham kalau gue udah benar-benar muak sama kelakuan lo?” ucap Sabrina sambil menatap tepat ke arah kedua iris cokelat gelap milik Rangga, sejenak bertanya-tanya bagaimana bisa dirinya pernah jatuh cinta pada sosok kejam dan gila di depannya itu dulu.
“Fine.”
Rangga berhenti melangkah dan mengangkat tangan. “Ayo ngobrol di tempat lain kalau kamu nggak mau di sini. Take it or I’m gonna do something terrible, you better be good to me, Sabrina.”
Sabrina menatap ke sekeliling, termasuk kepada sosok Kanina yang berdiri sekitar dua meter di belakangnya. Sabrina bertanya pada perempuan itu melalui tatapan matanya, mencoba mencari dukungan moral pada Kanina dan mendapatkan sebuah anggukan pelan. Nggak apa-apa, begitu kiranya jawaban yang Kanina berikan. Sabrina kemudian memandang pemilik kosnya, merasa bersalah karena sudah membuat keributan dan membiarkan dua orang itu harus menghadapi kebrutalan Rangga. Sabrina menarik napas panjang, meyakinkan diri bahwa segalanya akan baik-baik saja dan Rangga tidak akan berani bertindak macam-macam.
“Gue udah ngasih tahu cowok-cowok kos sebelah kalau lo kemungkinan butuh bantuan. Nanti kalau ada apa-apa, teriak yang kencang, oke? Mereka lagi pada ngumpul di gazebo depan sana dan bakal siap bantuin lo kalau lo butuh.” Kanina mendekat ke arah Sabrina dan membisikkan hal itu agar Sabrina bisa merasa sedikit tenang. Kanina sengaja tidak meminta rombongan anak laki-laki di kos sebelah yang dia maksud untuk langsung bertindak. Rangga itu orang gila, laki-laki itu tidak akan segan menyakiti Sabrina kalau merasa terancam dan Kanina tidak ingin membuat segalanya menjadi lebih runyam. Selain itu, Kanina sejujurnya tidak seberani itu untuk membantu Sabrina secara langsung. Nyalinya tidak sebesar Sabrina, jadi perempuan itu lebih memilih untuk membantu temannya dengan cara lain.
“Let’s talk, tapi gue nggak mau bicara di tempat lain selain di dekat sini.” Sabrina menyanggupi, perempuan itu kemudian berjalan mendahului Rangga dan mencoba mencari tempat yang aman untuknya bicara dengan Rangga.
Mereka berdua kemudian sampai di depan sebuah taman yang sepi, tempat itu terletak kira-kira dua meter dari rumah kos Sabrina, tidak terlalu jauh dan masih dapat dijangkau oleh pandangan. Sabrina kemudian mendudukkan diri di sebuah ayunan di sana, dengan sengaja melebarkan kaki dan tangannya hingga tidak ada lagi tempat kosong untuk Rangga duduk. Dia biarkan laki-laki itu berdiri di sisi ayunan, benar-benar merasa enggan jika harus berada di dalam jarak dekat dengan Rangga.
“Lo mau ngomong apa lagi?” tanya Sabrina tanpa basa-basi. Perempuan itu benar-benar sudah terlihat muak dengan eksistensi Rangga.
Rangga memperhatikan perempuan di depannya itu dengan tatapan tertarik, laki-laki itu kemudian mengudarakan tawa sarkastik yang membuat Sabrina semakin harus menebalkan sabar. “First of all, tolong berhenti addressing diri kamu dengan kata ganti lo-gue. It doesn’t suit you, Sweetheart. Kamu kedengaran kayak bukan Sabrina yang aku kenal,” ucap laki-laki itu sebagai pembukaan.
“Oh, please. Kalau lo cuma mau bilang sesuatu yang nggak penting begitu, gue bakal pulang. Stop wasting my time and get straight to the point, gue muak lihat muka lo.” Sabrina menyanggah dengan berani, tidak peduli kalau Rangga kemungkinan akan menjadikannya sasaran empuk untuk meluapkan emosi setelah ini. “And the way I’m addressing myself with lo-gue is not your business at the very first place, lo nggak punya hak untuk mengatur cara bicara gue.”
“Damn, I didn’t know that you could be such a brat. Nggak apa-apa, I kind of love this side of you. It turns me on, you know?” ucap Rangga sambil menatap Sabrina seolah perempuan itu adalah seonggok daging lezat yang siap disantap kapan saja.
“Straight to the point, asshole.”
Rangga tertawa kencang. “Oke, maaf.”
Laki-laki itu kemudian meluruskan posisi berdirinya. “Siapa orangnya?” tanya Rangga, kali ini dengan nada yang benar-benar serius. Berhasil membuat Sabrina merinding hingga seluruh tubuhnya menegang takut.
“What do you mean?”
Rangga berdecak. “Kamu nggak mungkin minta putus tanpa alasan, Sabrina. Aku bukan orang tolol yang bisa kamu tipu seenaknya, alasan kamu ngajak putus itu benar-benar nggak masuk akal.”
Sabrina langsung mengangkat kepalanya agar bisa bertatapan langsung dengan Rangga. Sabrina heran, kemana sebenarnya otak Rangga yang pintar itu pergi? Bagaimana bisa laki-laki itu memiliki gelar mahasiswa berprestasi kalau untuk urusan memahami hal sesederhana ini saja Rangga tidak bisa?
“Lo memang selalu tolol kayak gini, ya?” tanya Sabrina.
Rangga mendesis menahan kesal. Laki-laki itu sampai harus memejamkan mata dan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosi yang dengan cepat naik ke kepala karena karena cara bicara Sabrina yang benar-benar kasar.
“Damn, how far did that bastard change you actually?” Rangga menggeleng tidak habis pikir, membuat Sabrina yang mendengar itu langsung menunjukkan ekspresi bingung. Rangga kemudian melanjutkan, “Apa aja yang sebenarnya selingkuhan kamu ajarkan sampai kamu berubah jadi perempuan kasar kayak gini? Tell me, sejauh mana bajingan itu udah merusak otak kamu?”
Astaga, laki-laki ini benar-benar sudah gila sepertinya. Sabrina mengerang frustasi, diam-diam berharap kalau ada sebuah batu besar yang bisa digunakan untuk melempar Rangga dengan keras, Sabrina mungkin sudah melakukan itu sejak lama. Masalahnya, batu terdekat yang bisa dilihatnya saat ini berada sekitar sepuluh langkah dari tempatnya duduk dan Rangga pasti akan bisa membaca gerakannya jika Sabrina mencoba melakukan hal itu.
“Gue nggak selingkuh, Bangsat. Lo paham bahasa manusia nggak, sih? Gue mau putus karena lo kasar dan gue nggak tahan sama temperamen lo yang kacau itu, mana bagian yang lo nggak ngerti?!”
Rangga tertawa semakin kencang, wajah bengisnya benar-benar terlihat menakutkan dan Sabrina semakin marah dibuatnya.
“Perempuan murahan kayak kamu nggak mungkin bisa bertahan hidup tanpa laki-laki, Sabrina. Kamu nggak mungkin bisa lepas dari aku kalau belum menemukan orang lain yang bisa gantiin posisi aku. You’re a weak little slut, kamu itu lemah dan butuh dilindungi, nggak mungkin kamu berani melangkah ke dunia di luar sana tanpa seseorang yang bisa bikin kamu merasa aman. Tell me, siapa orangnya sekarang?”
Sabrina benar-benar ingin memukul wajah itu sekarang juga. Perempuan itu benar-benar hampir melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah Rangga, tapi gerakannya terhenti ketika Rangga kembali bersuara.
“Sebutin namanya dan biar aku ketemu sama dia, kalau memang selingkuhan kamu itu jauh lebih baik dari aku, I’ll let you go. Aku bakal membiarkan kamu bebas kalau memang selingkuhan kamu bisa unggul dari aku dalam banyak hal.”
Oh, Sabrina melihat sebuah kesempatan untuk kabur dari Rangga karena mendengar kalimat itu. Kemudian dengan akalnya yang hanya tersisa setengah, Sabrina menatap Rangga dengan tatapan berapi-api, menantang Rangga seolah tidak ada lagi ketakutan yang menghuni dirinya. “Kalau dia memang lebih baik dari lo, apa lo bakal benar-benar enyah dari hadapan gue selamanya?” tanya Sabrina dengan nada berani.
Rangga tersenyum. “See? Kamu mengaku dengan sendirinya kalau kamu selingkuh. What a pathetic little whore you are, Sabrina. Aku nggak menyangka kalau selama ini, perempuan kesayanganku ternyata semurah ini.”
Dan sepertinya, Sabrina memang sudah benar-benar kehilangan kewarasannya. “Jawab pertanyaan gue, kalau memang selingkuhan gue jauh lebih baik daripada lo, apa lo bisa menjamin kalau lo bakal pergi dari hidup gue selamanya?”
Laki-laki itu mengangguk dan memperhatikan wajah Sabrina secara keseluruhan. Tatapan kejamnya semakin jelas terlihat ketika menemukan bahwa tidak satupun rasa takut yang bisa dia temukan di wajah Sabrina. Perempuan itu benar-benar menantangnya, membuat Rangga sekali lagi mengudarakan tawa sebelum kembali bicara. “Kalau memang iya, aku nggak akan mengganggu hidup kamu lagi.”
Sabrina hampir bersorak di tempatnya kala mendengar kalimat itu. Namun niatnya batal karena Rangga yang kembali bicara dan kali ini, sebuah ancaman mengerikan laki-laki itu lemparkan dengan santai. “Tapi kalau nggak, you’ll get the consequences. Aku pastikan kamu bakal menyesal dan merangkak di tanah biar bisa balik lagi ke aku. Aku bakal bikin kamu nggak mau melirik orang lain lagi selain aku, aku pastikan kamu memuja tiap bekas langkah kakiku sampai aku mau memaafkan kamu.”
Gilanya, Sabrina langsung mengangguk setuju.
“Gue pastikan dia jauh lebih baik dari kamu, pegang omonganku.” Perempuan itu bangkit dari ayunan yang dia duduki dan menatap Rangga sambil tersenyum lebar. “Atur waktunya biar kalian bisa ketemu, gue pastikan dia nggak akan kalah dari lo dari segi apapun.”
Sabrina gila. Perempuan itu benar-benar sudah gila.