Surprise
TW // Self harm , Mention of blood
Suara keran yang terdengar amat jelas dari depan pintu kamar Anin membuat Aksara mengerutkan dahi. Lelaki itu menempelkan telinganya di daun pintu, mencoba menerka-nerka apa yang Anin lakukan di dalam sana sampai suara keran air bisa terdengar sebesar itu. Tangannya spontan meraih ponsel, mencoba menghubungi Anin berkali-kali namun tidak ada jawaban dari sosok mungil itu.
Kalau ditanya soal mengapa bisa Aksa tahu letak kamar Anin, Aksa mengetahui letaknya karena kejadian kemarin. Dia menggendong Anin sampai tempat tidur, meletakkan tubuh kecil di gendongannya itu dengan gerakan panik namun berusaha dia tutupi. Makanya hari ini, Aksa memutuskan untuk kembali mengunjungi Anin demi melihat kondisi wanita itu.
“Anin?” panggilnya sekali lagi.
Nihil, Anin masih tidak memberi respon apapun. Aksa baru hendak mengetuk pintu di hadapannya ketika tubuhnya tersentak, suara teriakan dan tangisan terdengar dari dalam. Itu suara Anin, dia sedang tidak baik-baik saja.
Aksa sontak menendang pintu di hadapannya sekuat tenaga. Melupakan rasa sakit yang menjalar di tungkai kaki dan lengannya karena berusaha mendobrak pintu berbahan jati itu seorang diri. Teriakan Anin menghilang, namun tangisannya belum reda.
Aksa semakin kalap, dia kembali menendang benda di depannya sekuat tenaga, tanpa memikirkan apapun di kepalanya sebab Anin saat ini adalah prioritas. Tak lama kemudian, usahanya membuahkan hasil. Rasa sakit di bahunya tidak dia pedulikan, Aksa langsung menerobos masuk dan pandangannya terarah pada bilik kamar mandi yang sudah mulai menggenangkan air di depan pintu yang terbuka lebar. Aksa berlari tanpa berhati-hati, kakinya bahkan hampir terpeleset jika saja keseimbangannya tidak dia jaga.
“ANINDIA!” Lelaki itu berteriak panik, matanya membola ketika menemukan Anindia terduduk di lantai, dengan darah menggenang di sekitarnya.
“God, please...“
Aksa langsung menghampiri tubuh itu, napasnya sedikit terasa lega saat menangkap lirikan lemah Anin saat dia berada tepat di depan wanita itu. Setidaknya Anin masih bernapas dan Aksa bisa bernapas sedikit lega.
“Let me do this,” ucap Anin dengan suara serak, Aksa bahkan hampir tidak bisa mendengar kalimat itu dengan jelas. Aksa menggeleng, tanpa dia sadari kedua matanya memanas.
“What did I do, Aksa? Saya salah apa sampai harus begini?”
Aksa kembali menggeleng, tangannya membawa Anin bangkit dari sana, menggendong tubuh kecil itu hingga keluar dari kamar mandi dan membaringkannya di atas ranjang. “Kamu ngga salah, Anin. Kamu ngga salah apa-apa,” katanya.
“Kenapa kamu bawa saya ke sini? Saya bahkan ngga punya alasan buat hidup lagi.”
Aksa menggeleng sekali lagi, tangannya sibuk menyeka darah yang terus mengucur dari luka di pergelangan tangan Anin. “Kamu punya, ada banyak alasan buat hidup. Kamu punya itu, jangan sekali-sekali berpikir buat bunuh diri kamu sendiri kayak gini.”
“Saya ngga punya, Aksa. Saya udah kehilangan banyak hal, kalau saya tetap hidup, memangnya saya bisa kehilangan apa lagi? Saya—”
Aksa memotong ucapan Anin, mengatakan sesuatu yang membuat kesenyapan menyusup di antara mereka. Lalu setelah kalimat Aksa terselesaikan, tangis Anin kembali pecah dan dia kembali hancur.
“Kamu punya alasan, Anin. Bahkan untuk seribu rasa sakit yang kamu punya, alasan satu ini akan bisa gantiin semua itu.”
Aksa melanjutkan, “Kalau ngga bisa hidup buat diri kamu sendiri, tolong tetap hidup buat bayi kamu. There's someone else living in your belly right now, tolong bertahan seenggaknya buat dia. Saya mohon sama kamu, tolong bertahan buat dia, sekali ini aja.”