Talk

“Lama banget.”

Suara Jeandra menggaung ke telinga Anin kala dia akhirnya berdiri di hadapan lelaki tinggi itu. Wajah Jean tampak sedikit pucat, kentara kalau sosok itu tengah menahan gelisah.

Anin dalam diam memerhatikan raut wajah dengan kedua alis tertekuk itu, matanya menyusuri kelam hitam iris milik Jean yang menatap lurus pada dirinya. Ada sebuah sensasi asing yang terkecap di dalam dadanya kala pandangan mereka bertemu dalam satu arus, seperti secara tidak langsung membuat mereka bicara lewat sana.

Harusnya ada lebih banyak rasa yang Anin dapatkan lewat iris mereka yang bertubrukan. Harusnya, ada lebih banyak rasa baru yang dia sambut lewat kedua legam yang menyelam itu.

Harusnya, ada begitu banyak hal yang bisa Anin selami lewat tatapan netra yang memaku padanya itu.

Harusnya begitu, tapi Jeandra adalah Jeandra.

Lelaki itu segera memutus tatapan mereka dengan mengarahkan netra ke arah lain. Seakan enggan membiarkan Anin menerjemahkan satu saja bahasa matanya, membatasi raut dan binar lembut itu menyelam dalam dirinya dan menyimpulkan sesuatu. Bibirnya terkatup rapat tanpa komentar, tapi sebetulnya ada banyak gulungan benang kusut yang tak kunjung terurai di kepalanya, tertumpuk begitu saja hingga kelewat berantakan.

“Nyari minum dulu bentar,” ucap Anin akhirnya, memutus keheningan yang tercipta di antara mereka.

Di tengah terik matahari siang itu, Jeandra memilih sebuah tenda tunggal yang biasanya digunakan para pekerja untuk mengistirahatkan diri. Sebetulnya, ada sebuah wisma khusus buruh yang dibangun dan bisa dipakai untuk mereka berbincang, tapi entah kenapa Jean memilih untuk mengajaknya duduk di bawah sana.

Jean mengambil kursi plastik berwarna biru untuk dia duduki, kemudian melempar kode pada Anin agar ikut duduk di hadapannya. Anindia menurut, ia dudukkan dirinya di atas kursi, kemudian tangannya bergerak menyerahkan sebotol minuman dingin berperisa anggur.

“Mogu-Mogu?” Jean bertanya dengan kedua alis tertekuk.

“Kamu keliatan pucat, kupikir mungkin butuh sesuatu yang manis buat distraksi.”

Sebuah seringai muncul di ujung bibir Jean, yang kemudian mengundang kedua mata Anin mengerjap tak mengerti.

“Gue bukan anak kecil.”

Tapi ucapan itu berbanding terbalik dengan gerakan tangannya yang mulai memutar tutup botol yang semula tersegel rapat, hingga akhirnya terbuka dan berakhir menandaskan satu tegukan penuh.

Cairan berwarna ungu lembut itu memasuki kerongkongan Jeandra perlahan, setenggak demi setenggak ia habiskan sampai bersisa setengah dari bagian minuman. Aneh, sebab ini pertama kalinya bagi Jeandra meminum benda ini.

Rasanya seperti kembali jadi dirinya kala berada di masa remaja tanggung. Menggenggam botol minuman berbagai rasa seperti ini, hanya demi menghilangkan rasa haus. Napasnya yang tadi pendek dan tajam perlahan memanjang, napas tegang yang tadinya menguasai perlahan berubah menjadi santai dan sedikit tenang. Lalu tanpa dia sadari bahunya ikut melemas sedikit demi sedikit. Tegang tak lagi merambati kedua lengannya.

Sedangkan Anindia menonton hal itu dalam diam.

Thanks,” ucap Jean setelah sadar kalau dirinya diperhatikan oleh sosok di hadapannya.

Anin mengangguk pelan.

Matanya kemudian mengarah ke seberang mereka. Barisan papan dan seng tua berkarat serta beberapa batang besi tertancap di bagian paling ujung lahan. Area ini luas, mungkin hampir setara tiga ribu meter di jarak pandang mata. Tempat yang mereka duduki berada di area paling ujung, tepat di sisi kanan pemukiman semi permanen milih warga. Beberapa benda yang menancap di tanah itu mengingatkan Anin soal tujuannya menemani Jeandra ke sini, hingga kepalanya kembali ia tolehkan pada Jean yang tengah menunduk.

“Kukira bakal banyak yang keluar rumah dan langsung unjuk rasa di depan sini,” tukas Anin.

Jean menggeleng sebelum menjawab, “Ini lagi jam istirahat. Mereka mungkin ngerasa aman karena buruh sibuk makan dan tidur. Mereka bakal keluar rumah dan duduk di depan sana kalau alat beratnya dioperasiin lagi.” Jean menunjuk ke arah benda-benda yang membatasi antara area proyek dengan pemukiman itu.

Mendengar penjelasan singkat itu, Anin mengangguk paham.

“Lo ngerti?”

Anin mengangguk lagi. “Papa sama Mama tuh orang bisnis, jadi ngga terlalu susah buat paham hal-hal begini.”

Jean tidak menanggapi, lelaki itu justru kian menunduk dalam.

“Masih gugup?” Anin bertanya lagi.

“Lumayan.”

Lalu, tanpa Jeandra duga, Anindia bergerak lebih dekat ke arahnya. Wajah mereka cukup dekat hingga Jean bisa melihat dengan jelas raut wajah gadis itu dalam jarak ini. Kemudian, dalam kebingungannya, Jeandra menyadari satu hal.

Anindia punya mata yang teduh.

Mirip punya Ibun.

“Kalau gugup, aku biasanya tepuk-tepuk pelan dada kiriku. Terus dalam hati bilang sama jantungku buat tenang sebentar. Aku ngga tau ini berhasil atau ngga di kamu, tapi kalau aku, ini bentuk self control paling ampuh kalau lagi ngerasa ngga nyaman.”

Di sana, Anindia meraih tangan kanan milik Jean, membawa tangan itu ke arah dada kiri Jeandra dan membuat gerakan menepuk berulang-ulang.

Hingga tanpa sadar, tangan Jean masih bergerak menepuk dadanya sendiri walau Anin sudah melepas tangannya dari sana.

Mata Jean terpejam singkat, lalu kembali terbuka dan napasnya ia hembuskan pelan.

“Mumpung warga lagi ngga rusuh, coba kamu ajak negosiasi dulu. Aku bakal ikut dari belakang,” kata Anin sambil membenahi barang-barangnya.

Gadis itu berdiri dan merapikan rok yang dia pakai, sebab tampak sedikit kusut di bagian ujung. Ia menunggu Jean untuk ikut bangkit, namun yang ada, lelaki itu malah mengeluarkan sebuah kalimat yang membuat Anin tertegun dan menelan seluruh hal yang dia simpan di kepalanya.

“Anindia, jangan baik sama gue. Jangan selalu jadi orang baik, karena kadang ada beberapa orang yang pantas buat lo perlakukan buruk, dan gue adalah salah satunya.”