Tell Her

CONTENT WARNING : Mention of sexual harrashment, mention of violence, mention of traumatic event, mention of mental health issues, some kissing scene

“Tidurnya nyenyak?”

Suara Tama memasuki rungunya pertama kali saat Ageeta membuka mata. Kedua netranya mengerjap untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke area pupil, sebelum kemudian dapat melihat dengan jelas sosok Tama yang berdiri tegap di samping ranjang rumah sakitnya dengan tangan yang sibuk merapikan sesuatu.

You slept for almost two hours.

Ageeta mengerjapkan mata canggung. Mengingat kembali bagaimana dirinya yang memaksa Yudhistira untuk menghubungi Tama dan menyampaikan bahwa dia rindu.

Miss me?” tanya Tama dengan santai. Tanpa mempedulikan rona kemerahan yang langsung menyerbu Ageeta, menutupi wajah pucatnya yang bersih dari riasan.

Kangen banget, anjrit.

“Kamu ngapain di sini?”

“Nungguin kamu.”

Lelaki itu kemudian menarik kursi di samping tempat tidur Ageeta, membenahi posisinya agar dapat melihat Ageeta seutuhnya.

“Ada yang sakit?”

Gee mengerutkan dahinya, merasa tidak terbiasa dengan atmosfer yang tercipta antara dia dan Tama.

“Aku nanya, Gee.”

Ageeta mengangguk pelan. “Kepala aku pusing, pengen muntah, dan kakiku kebas. Tangan aku juga ngga bisa berenti gemetar.”

Dalam waktu dua detik setelah mendengar pengakuan itu, kedua tangan Ageeta sudah berada di genggaman hangat milik Tama. Telapak besar itu merangkum miliknya hingga tertutup sebagian besar. Jemari Tama mengelus buku-buku jarinya, mengantarkan rasa nyaman dan ribuan kupu-kupu ke dalam diri Ageeta.

“Tama,” panggil Ageeta.

“Iya?”

“Kita masih putus, kan?”

Tama terkekeh pelan hingga menampilkan deretan giginya.

Dan Ageeta yang pada dasarnya selalu lemah pada tawa dan senyum Tama pun langsung takjub melihatnya.

“Mau dengar cerita?”

Tanpa ragu, Ageeta mengangguk.

“Adara itu adik aku.”

Kalimat pertama dan pembuka, namun sudah mampu membuat Ageeta terkejut. Matanya tidak bisa berbohong, kalimat Tama barusan terlalu ambigu dan membingungkan.

“Maksud kamu?”

“Kamu mau tau soal keluarga aku, kan?”

Ageeta mengangguk pelan.

“Awalnya aku kira, menyembunyikan soal masa lalu adalah bagian dari privasi dan hak aku untuk ngga bagi semua itu ke kamu. Thanks a lot, Gee. Karena udah ngga pernah memaksa aku untuk terbuka soal itu selama setahun lebih.”

Ageeta masih kebingungan dengan arah percakapan yang Tama bawa.

“Kamu percaya sama aku selama ini, but when it comes to Adara, kamu mulai kehilangan kepercayaan itu. Did it feel useless to believe me over the whole year and find out that I probably cheating on you?

Ageeta mengangguk.

I'm sorry.

I lost my family when I was 18.

Ageeta baru tahu fakta ini.

“Mama sama Papa cerai, aku ikut Mama dan Papa ngga pernah ada kabar. Long short story, setelah beberapa tahun Papa balik lagi dan ngenalin keluarga barunya ke aku sama Mama.”

“Adara ada di situ, posisinya bukan sebagai anak tiri atau anak bawaan. Tapi ternyata sebagai anak kandung. Yang artinya, Papa udah selingkuh bahkan sejak tahun pertama pernikahannya sama Mama. It hit my Mom so bad, Mama ngerasa ngga berguna sebagai wanita.”

“Waktu aku ulang tahun, I found out my Mom left home. Aku ngga bisa nemuin Mama dimana pun.”

Mata Ageeta mulai memanas. Sedangkan Tama semakin mengeratkan genggaman tangannya.

“Setelah dua bulan, Mama balik lagi ke rumah dan hal yang bahkan lebih buruk terjadi.”

Ageeta menyela, “Kamu bisa berhenti cerita kalau berat. Jangan dipaksa.”

Gee tahu betul tangan milik Tama bergetar saat kata demi kata keluar dari mulutnya. Tapi Tama memilih untuk menggeleng.

“Biar aku lanjut.”

Tama berdeham singkat sebelum menyambung ceritanya.

“Mama... balik ke rumah dalam keadaan berantakan.”

Ada lirih dan getar samar di ujung suara lelaki itu. Ageeta pun menyadari kalau lelaki itu menahan tangis sekuat tenaga.

“Bajunya sobek dan bau alkohol. I didn't know that things goes wrong sampai kemudian Mama divonis hamil sama dokter.”

Ageeta seperti ditampar saat sebuah bulir bening lolos dari mata Tama. Lelaki itu menangis.

Tanpa berpikir dua kali, Ageeta langsung melingkarkan kedua tangannya pada leher lelaki di hadapannya. Dirinya kemudian menarik Tama agar mendekat, lalu tanpa ragu menjemput bibir ranum Tama dengan bibirnya.

Air mata lolos dari netra Ageeta, berbarengan dengan lumatan dan hisapan halus yang dia berikan pada bibir Tama yang masih terpaku.

Di tengah kecupan, Ageeta berusaha merangkai kata.

Was it hard to suffer alone?

Tama bukannya menjawab, namun malah mengeratkan dekapannya pada Ageeta. Bibirnya mengambil alih cumbuan dan membuat Ageeta mengerang pelan.

I miss you, girlie. I miss you so bad.

Kecupan halus yang Tama berikan membuat Ageeta merasakan tubuhnya merinding.

Terlebih kala lidah basah milik Tama ikut mengambil peran, membelai lidah dan langit-langit mulutnya hingga rasa geli mendominasi.

Tama menyelesaikan cumbuannya kala tersadar kalau Ageeta mulai membutuhkan udara. Benang saliva terbentuk kala bibir mereka terlepas. Kemudian, ibu jari Tama secara impulsif bergerak menyapu belah bibir bawah Ageeta yang basah oleh saliva mereka.

“Lanjut ceritanya dulu.”

Gee mengangguk.

We passed nine months of the pregnancy dengan cukup berat. Mama sering ngamuk, mecahin banyak barang dan nangis berjam-jam. She was mentally unstable.

I tried very hard untuk jaga Mama dan kandungannya. Cause... It was just a baby, the purest creature ever.

“Dan waktu hari dimana Mama melahirkan, Mama nyetir tanpa sepengetahuan aku. Mama kecelakaan, dan bikin dia punya partial amnesia sama PTSD. Beruntung, bayinya bisa selamat walaupun dia kemungkinan bakal punya cacat permanen di kepala.”

“Bayinya dimana?”

“Di panti asuhan yang sering kita datengin. Namanya Garda.”

Ageeta berpikir sejenak sebelum tersadar.

“Jadi...”

“Iya, Sayang. Bayi yang hari itu kamu gendong dan kamu mandiin.”

Ageeta tidak tahu kenapa dirinya langsung menangis detik itu juga.

“Jangan nangis dulu, Gee. Kamu belum denger soal Adara.”

Saat mendengar nama itu, Ageeta berusaha menahan tangisnya hingga membuat Tama gemas.

“Jadi Adara siapa?”

Tama memperbaiki posisi duduknya sebelum kembali menjelaskan.

“Adik aku yang punya masalah kejiwaan, she suffers DID.

Then what's the problem?

The problem is she falls in love with me.

“Sinting.”

Tama mengangguk, “Sinting, memang.”

Cerita itu kemudian dilanjutkan dengan perjanjian antara Tama dan papanya, namun dengan menghilangkan bagian 'mimpi yang dia punya' sebab bagaimana pun, ini adalah Tama yang punya gengsi setinggi langit.

Kemudian, tanpa rasa ragu Tama kembali mendekatkan diri pada Ageeta. Bibirnya kembali menjemput ranum gadis itu dan mencecap semua rasa yang ada. Ciuman itu menjadi penyalur rindu dan resah yang mereka lewati selama berbulan-bulan. Banyak yang berusaha Tama sampaikan melalui decapan dan kecupan yang dia berikan.

I love you, Gee. I love you so bad.

Ageeta memejamkan matanya dengan napas tidak beraturan.

“Ayo baikan,” pinta Tama.

Sayang, Ageeta menggeleng pelan.

“Ayo istirahat dulu. Kamu capek dan aku capek. Nanti, kalau semua udah selesai, kalau semua udah jelas, baru kita melangkah lagi ke sana.

Untuk sekarang, ayo perbaiki diri kita dulu. Kamu yang harus belajar berbagi masalah dan beban, kamu yang harus istirahat dari semua beban yang kamu tanggung. Dan aku yang harus belajar lebih sabar dan lebih dewasa.

Kalau nanti kita sama-sama siap, ayo baikan dan ayo balikan.”

-