Tentang Sabrina dan Masa Lalu
Catatan: Narasi di bawah ini mengandung kata-kata kasar dan tidak pantas, mengangkat isu seputar toxic relationship dan kekerasan. Mohon untuk menjadi pembaca yang bijak. Karakter Narangga dalam cerita ini tidak akan diberi face claim untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Jakarta, dua bulan sebelumnya.
Hari ini adalah hari jadi ke enam bulan bagi Sabrina dan laki-laki yang dia panggil dengan sebutan Rangga itu. Sabrina tidak tahu apa yang membuat dirinya sampai bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Menghadapi Rangga bahkan hanya untuk satu hari akhir-akhir ini sudah terasa seperti neraka, entah bagaimana bisa perempuan itu menahan diri untuk tidak kabur dari Rangga selama enam bulan. Silakan sebut Sabrina bodoh karena tidak pernah menyadari kalau sebenarnya, ada yang salah dengan Rangga selama ini, tapi serius, laki-laki itu benar-benar tidak menunjukkan tanda-tanda aneh apapun di awal hubungan mereka dimulai.
Segalanya berjalan lancar, Rangga benar-benar merupakan laki-laki idaman yang membuat teman-teman Sabrina mengeluh iri karena tidak punya sosok yang sama dalam hidup mereka. Kalau dulu, Sabrina mungkin akan langsung setuju dengan ungkapan penuh rasa iri itu tanpa harus berpikir dua kali. Namun setelah melewati waktu hampir enam bulan bersama Rangga dan melihat bagaimana sifat laki-laki itu sebenarnya, Sabrina tidak akan sungkan memuntahkan semua rasa jijiknya di depan orang-orang yang memuji Rangga dengan kalimat-kalimat baik itu.
Narangga Adiwijaya, laki-laki itu berdiri di depannya sembari menjepit sebatang rokok di antara belah bibir. Tatapan mata Rangga sama sekali tidak terarah pada Sabrina, laki-laki itu lebih memilih untuk menatap ke samping, memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka seolah perempuan di depannya itu sama sekali tidak terlihat.
Sabrina memperhatikan presensi Rangga dengan hati-hati, menyapu seluruh wajah Rangga dengan tatapan yang terlihat datar andalannya. Wajah bengis di depannya itu membuat Sabrina bergidik ngeri. Laki-laki itu bisa melakukan apa pun yang dia inginkan sekarang dan Sabrina mungkin tidak akan selamat kali ini. Pikiran untuk mundur dan menyerah mulai membayangi, Sabrina takut kalau Rangga akan melakukan sesuatu yang lebih parah daripada yang sudah laki-laki itu lakukan kemarin.
Namun rasa sakit di tulang pipinya, hasil dari tamparan keras dari Rangga dua hari lalu, membuat perempuan itu kembali dijemput logika. Rasa perih dan pening yang sampai saat ini masih terasa di kulit kepalanya akibat dari tarikan kencang yang Rangga berikan pada helai rambut hitamnya membuat Sabrina kembali dikuasai amarah. Harga dirinya diinjak seenak hati dan Sabrina tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.
Apa yang sebetulnya Sabrina cari dari laki-laki di depannya ini? Apa yang sebenarnya membuat Sabrina sampai mau bertahan selama ini? Apa yang Rangga tawarkan padanya sampai Sabrina mau menerima semua kalimat berisi hinaan yang dilontarkan dengan nada kasar itu selama beberapa bulan ini?
Sabrina mengernyit pelan karena pikirannya sendiri. Perlahan namun pasti, rasa asam dan pahit naik ke permukaan kerongkongannya dan membuat Sabrina harus menahan mual. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu membuat Sabrina ingin muntah, merasa jijik pada dirinya sendiri yang sudah dengan mudah terjerumus ke dalam lubang hitam yang Rangga ciptakan. Menyesali kebodohannya karena mau terjebak dalam jerat yang Rangga pasang dan baru menyadari hal itu setelah tubuhnya sudah terlanjur menjadi sasaran amarah laki-laki di depannya ini.
Biar Sabrina ceritakan sedikit tentang dirinya dan laki-laki yang kini tengah menatapnya dengan malas itu. Semuanya berawal dari sebuah festival musik yang diadakan oleh fakultas tempat Rangga menimba ilmu delapan bulan yang lalu. Sejujurnya, Sabrina enggan mengingat kembali kejadian itu. Ingatan soal hari itu selalu berhasil membuat Sabrina membenci dirinya sendiri karena dengan mudah memberi kesempatan pada Rangga. Namun untuk kali ini, tidak apa-apa. Seluruh dunia memang sudah seharusnya tahu soal serusak dan sejahat apa sosok Rangga yang selama ini orang-orang puji.
Sabrina bukan orang yang suka keramaian. Perempuan itu lebih suka kesunyian yang tercipta saat dirinya berada di dalam kamar sendiri, hanya dirinya yang berbaring tanpa melakukan apa pun. Namun di hari itu Kanina Gangika, temannya, meminta Sabrina untuk menemani perempuan itu datang ke sebuah festival musik yang diadakan oleh Fakultas Hukum kampus tetangga. Kalila benar-benar ingin melihat salah satu guest star yang diundang, katanya. Kanina bilang, perempuan itu benar-benar mengidolakan band indie itu tapi tidak ada satu pun orang yang bisa menemaninya hari itu kecuali Sabrina.
“Gue tahu semua kegiatan lo, Sabrina. Nggak mungkin lo punya jadwal penting di hari Sabtu kayak begini, gue adalah orang yang paling hafal sama kebiasaan lo, oke? Jangan coba-coba buat bohong sama gue dan bilang kalau lo punya sesuatu yang lain untuk dikerjain.”
Sabrina yang pada dasarnya memang tidak punya kegiatan apa pun untuk dilakukan tidak kuasa menolak. Kaninaa sudah membantunya mengerjakan tugas penting di hari sebelumnya, jadi mau tak mau dia harus mengiyakan ajakan itu. Mereka berangkat ke venue tepat satu jam sebelum acara di mulai dan masalahnya, tidak satu pun dari mereka yang punya tiket untuk masuk.
“Sumpah, lo datang ke sini semangat banget tapi ternyata sama sekali belum punya tiket?” Sabrina menggerutu kesal pada Kanina, sedangkan lawan bicaranya hanya mengangguk tanpa dosa.
“Kata mutual gue di Twitter, nanti bakal banyak anak-anak panitia yang jualan tiket on the spot. Harganya gak bakal jauh beda, kok. Paling naik sekitar sepuluh ribu atau dua puluh ribu, lo tenang aja soalnya tiket lo bakal gue bayarin.” Kanina mencoba meyakinkan Sabrina kalau mereka akan tetap mendapat tiket yang dimaksud. Perempuan berambut pendek sebahu itu mengedarkan pandangan dan pada akhirnya tatapannya jatuh pada seorang laki-laki dengan nametag panitia yang menggantung di leher.
“Nah, itu dia. Dia pegang tiketnya, lo tunggu di sini sebentar. Gue mau beli tiketnya dulu, jangan kemana-mana.”
Sabrina sama sekali tidak protes saat Kanina berlari menjauh darinya. Perempuan itu lebih memilih untuk menyingkir dan berteduh di dekat salah satu stand makanan dan minuman yang letaknya sedikit di ujung. Sabrina mengangkat kepalanya dan mengawasi keberadaan Kanina di ujung sana. Sahabatnya itu terlihat tengah berbincang cukup akrab pada laki-laki yang dia sebut sebagai panitia penjual tiket. Namun tanpa disangka, bukannya bertemu dengan tatapan Kanina, kedua mata Sabrina malah bertemu dengan laki-laki si penjual tiket yang sedang dihampiri perempuan itu. Laki-laki itu memandangnya dengan tatapan penasaran, ada sesuatu yang terpancar dari tatapannya yang Sabrina tidak cukup mengerti apa itu.
Sabrina memutus kontak mata mereka, lebih memilih untuk memandang ke arah lain dan membiarkan laki-laki itu menatapnya semakin intens. Kemudian tak lama setelah itu, Kanina kembali menghampiri Sabrina. Langkahnya terlihat riang. Namun ada yang janggal dari perempuan itu, sebab kedua tangan Kanina kosong tanpa hasil dan tidak ada satu pun tiket yang perempuan itu bawa.
“Lah, bukannya tadi lo ke sana mau beli tiket? Terus mana tiketnya?” tanya Sabrina.
Kanina terkekeh pelan, perempuan itu menampilkan tawa jahil yang sering Sabrina lihat setiap kali Kanina punya sebuah ide gila di otaknya. Senyum itu membuat Sabrina seketika merasa was-was, terutama ketika matanya kembali bersinggungan dengan tatapan laki-laki penjual tiket di ujung sana.
“Cowok yang jualan tiket di sana, lo lihat, kan?” tanya Kanina.
Sabrina mengangguk pelan.
“Katanya dia baru mau jual tiketnya ke kita kalau lo yang ambil ke sana,” ucap Kanina. Kanina kembali tersenyum jahil, perempuan itu kemudian meraih tangan Sabrina, menggoyang-goyangkan tangannya dengan gerakan manja. “Dia kayaknya naksir sama lo, deh, Sab. Samperin, gih. Biar satu kali dayung, dua pulau terlampaui. Nonton festivalnya dapet, cowok juga dapet. Siapa tahu nanti kita dikasih diskon juga, kan?”
Gagasan itu terdengar buruk dan seharusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah mendengarkan Kanina. Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah berjalan menuju si laki-laki penjual tiket dan berdiri di depan laki-laki itu dengan wajah kaku penuh gugup.
“Tiketnya masih ada, Kak?”
Laki-laki di depannya memiringkan wajah, menatap Sabrina dengan tatapan tertarik yang kali ini tidak lagi disembunyikan. Sabrina yang menerima tatapan itu kontan menelan ludah gugup, perempuan itu diam-diam memilin ujung baju yang dipakainya.
“Lo angkatan berapa?” tanya laki-laki itu.
“Hah?”
Lelaki di depannya itu berdecak pelan, ada kilat gemas yang terpancar di kedua matanya. “Gue nanya, lo angkatan berapa? Jurusan apa? Anak kampus sini juga atau bukan?”
“Angkatan 2020,” jawab Sabrina dengan suara gugup.
“Jurusan?”
“Hubungan Internasional.”
“Anak kampus sini?”
Sabrina menggeleng.
“Lo bawa hp?”
Sabrina mengangguk.
“Boleh minjem hp lo sebentar?”
Sabrina mengerutkan keningnya. “Buat apa?”
“Minjem dulu aja, nggak akan gue apa-apain. Percaya sama gue,” ucap laki-laki itu sembari mengulurkan tangan ke depan, bermaksud untuk meminta Sabrina menyerahkan ponsel yang tengah digenggam oleh perempuan itu. “Lo boleh nolak, kok. Kasih hp-nya kalau lo percaya sama gue aja. Kalau pun nanti gue bertindak macam-macam, bawa lari hp lo misalnya, lo boleh teriak. Banyak orang yang bakal nolongin lo dan gue nggak akan bisa lari kemana-mana.”
Bodohnya, Sabrina benar-benar menyerahkan ponselnya. Bahkan, Sabrina dengan enteng membukakan kunci layar ponselnya dan membiarkan laki-laki di depannya itu melakukan sesuatu di sana. Tak sampai satu menit kemudian, ponsel itu kembali berada di tangan Sabrina dalam keadaan layar yang menyala terang dan aplikasi Instagram miliknya yang terbuka.
“Itu akun Instagram gue, nanti kalau udah luang dan acara udah selesai bakal gue follow balik. Nama gue Narangga, panggil aja Rangga.” Laki-laki itu kemudian menyerahkan dua tiket yang dipegangnya kepada Sabrina sebelum kembali melanjutkan. “Ini tiketnya, nggak apa-apa nggak usah bayar. Gue percaya sama yang namanya takdir dan gue yakin, pertemuan hari ini adalah salah satu bagian dari takdir yang kita punya. Kalau memang diizinkan, kita bakal ketemu lagi dan gue bakal tagih duit tiket itu dalam bentuk lain. Makan bareng, misalnya? By the way, salam kenal ya, Sabrina.”
Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah mengizinkan rasa asing itu untuk mampir ke dalam dadanya. Harusnya, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan Rangga masuk ke dalam hidupnya dan membuatnya berada di ambang kehancuran seperti saat ini. Harusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Sebab delapan bulan setelahnya laki-laki itu malah menjadi alasan utama bagi rasa sakit yang Sabrina rasakan di bagian sana.
Padahal sebelum adanya Rangga, Sabrina baik-baik saja. Rutinitasnya sebagai mahasiswa semester enam jurusan Hubungan Internasional yang cukup aktif di kampus berjalan tanpa masalah yang berarti. Harusnya, Sabrina tidak perlu merusak hidupnya yang damai dan tenang hanya karena seorang bajingan seperti Rangga.
Rangga berdecak cukup keras, membuat Sabrina langsung ditarik keluar dari lamunannya. Perempuan itu kembali menatap Rangga seperti yang tadi dia lakukan, mendapati kalau kekasihnya itu tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan tajam.
“Mau ngomong apa?”
Kini giliran Sabrina yang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perempuan itu memperhatikan suasana gedung fakultas Rangga yang hari ini terlihat cukup ramai, dalam hati merasa bersyukur karena sepertinya, nasib baik akan berpihak padanya kali ini. Setidaknya jika terjadi sesuatu nanti, orang-orang di sekitarnya akan mampu mendengar teriakannya dan akan menolongnya dari apapun yang Rangga lakukan.
Sabrina harap begitu, dia harap semuanya akan baik-baik saja nantinya. Sabrina menarik napas panjang, mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mengatakan kalimat yang sejak tadi berputar di kepalanya sampai membuat perempuan itu pening bukan main. Kedua tangannya digenggam erat, berusaha keras agar jari-jemarinya berhenti gemetar supaya dia bisa fokus pada tujuannya kali ini.
“Aku mau putus,” ucap Sabrina pada akhirnya.
Kalimat itu berhasil membuat Rangga memusatkan perhatian pada Sabrina. Rokok yang tadi berada di antara jepitan bibirnya kini dimainkan dengan tangan, sebelum kemudian dia jatuhkan benda itu ke tanah. Dalam hitungan detik, batang rokok yang sebetulnya masih berukuran cukup panjang itu sudah berubah menjadi seonggok sampah tanpa harga. Dengan gerakan kasar, Rangga menginjak puntung rokok itu hingga tak berbentuk dan gerakan itu berhasil membuat nyali Sabrina kembali menciut.
“Kamu bilang apa tadi?” tanya Rangga dengan suara dingin yang menusuk.
Laki-laki itu maju satu langkah, dua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket yang dipakainya dan tubuhnya dibuat sedikit menunduk agar bisa menatap Sabrina tepat di mata.
“Aku—”
“Kamu mau putus? Iya?”
Sabrina mengangguk terpatah, perempuan itu benar-benar ketakutan sekarang. Wajah Rangga saat ini benar-benar terlihat menakutkan, rahang laki-laki itu mengetat dan matanya yang setajam elang itu menatap Sabrina seolah siap membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Kaki Sabrina melemah dan kehilangan kekuatan, kalau saja saat ini tubuhnya tidak sedang bersandar pada dinding di belakangnya, tubuh perempuan itu mungkin benar-benar akan jatuh terduduk di lantai. Namun meskipun begitu, Sabrina juga sadar kalau posisinya saat ini tidak benar-benar menguntungkan. Rangga berada satu langkah di depannya, membuat tubuh Sabrina terhimpit di antara laki-laki itu dan dinding dan Sabrina kebingungan harus ke arah mana dirinya berlari kalau Rangga maju lebih dekat.
“Aku kurang apa memangnya sampai kamu mau minta putus begini?” tanya Rangga dengan suara menantang. “Aku kurang royal? Iya? Apa yang udah aku lakuin buat kamu selama ini kurang? Kasih tahu aku alasan kenapa kamu sampai tiba-tiba berani minta putus.”
Sabrina memejamkan mata sejenak, mencoba meyakinkan diri kalau dia bisa melewati ini, kalau dirinya bisa membuka mata dan menatap balik sosok Rangga yang kini berdiri menjulang di depannya, kalau dirinya bisa melawan kalau saja Rangga kembali melayangkan pukulan ke arahnya. Namun belum sempat Sabrina mengatakan apapun, Rangga menginterupsinya dengan mengucapkan sesuatu.
“We’re in public, I won’t hit you. Buka mata kamu dan jangan bersikap seolah-olah kamu lagi diintimidasi, Sabrina.”
Masalahnya, Sabrina tidak bisa menyebutkan kata apapun yang cocok menggambarkan situasi itu selain dengan kata kalau dirinya merasa terintimidasi. Dengan segenap keberanian yang dia punya, Sabrina membuka mata dan menatap Rangga dengan tatapan menantang.
“Itu tadi adalah salah satu alasan kenapa aku berani minta putus dari kamu,” jawab perempuan itu. Punggungnya yang sedari tadi menempel pada dinding perlahan mendapat kekuatan untuk tak lagi bertumpu di sana.
“You hit me two times, sesuatu yang bahkan nggak pernah berani dilakukan orang tuaku. Kamu manggil aku pelacur cuma karena aku minta tolong sama teman kamu, kata itu bahkan nggak pernah aku dengar dari orang-orang di sekitarku selama aku hidup dan kamu dengan enteng manggil aku dengan sebutan itu. Kamu mau tahu? Aku menyesal karena baru sekarang aku berani minta putus dari kamu. Harusnya dari awal sejak kamu berani main tangan, aku udah lari sejauh-jauhnya dari kamu. But I was too dumb for your sweet lies, padahal yang kamu bilang itu semuanya omong kosong yang nggak sepatutnya aku percaya.”
Sabrina bisa melihat kalau rahang Rangga semakin mengetat dan kedua tangan laki-laki itu mengepal semakin erat. Kalau Sabrina masih nekat melanjutkan kalimatnya, kepalan tangan itu mungkin benar-benar akan terarah padanya seperti yang sebelumnya terjadi. Namun Sabrina sudah terlanjur kehilangan kewarasannya, bukannya berlari dan menyelamatkan diri, perempuan itu malah bertekad menerima pukulan yang kemungkinan besar akan benar-benar dia terima dari Rangga dan membiarkan laki-laki itu lepas kendali sehingga orang-orang yang lewat di sekitar mereka akan tahu kalau laki-laki di depannya ini tengah memukulnya.
Biarlah begitu, biarlah reputasi yang Rangga bangun susah payah sebagai mahasiswa baik dan berprestasi selama ini hancur dalam sekejap karena perbuatannya sendiri, Sabrina yakin dirinya akan bisa menahan rasa sakit dari pukulan Rangga nantinya asal laki-laki itu juga ikut hancur.
“Siapa?” tanya Rangga.
Sabrina memandang laki-laki itu bingung.
“Siapa yang berani mendoktrin kamu dan bilang kalau semua yang kulakuin selama ini itu salah? Siapa orang yang udah berani mempengaruhi pikiran kamu sampai kamu jadi perempuan nggak tahu diri begini?” tanya Rangga sekali lagi. Lelaki itu memandang Sabrina dari kepala hingga ujung kaki, memindai pakaian yang Sabrina gunakan di tubuhnya pagi itu dan membuat Sabrina merasa ketakutan setengah mati.
“Siapa yang udah cuci otak kamu sampai kamu berani melanggar peraturan dari aku untuk nggak pakai pakaian kayak gini? Siapa yang berhasil bujuk kamu sampai berani ke kampus dengan penampilan kayak orang mau jual diri begini, Sabrina?”
Sabrina merasa napasnya mulai memburu, perempuan itu kesulitan mengatur tarikan dan hembusan udara yang masuk ke dalam paru-parunya. Kalimat yang Rangga katakan barusan menusuknya hingga ke ulu hati, membuat Sabrina gemetaran sebab darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.
“There’s nothing wrong with the way I dress, dumbass.”
Rangga memicingkan mata. “What did you just call me?”
Sabrina maju satu langkah, membuat jarak mereka kini benar-benar dekat sampai dia mampu mendengar deru napas Rangga yang sama berantakannya dengan dirinya.
“I said, there’s nothing wrong with the way I dress and I called you a dumbass, a fucking dumbass who ruined my life.” Sabrina nekat mengangkat tangannya, menusukkan telunjuk ke dada Rangga dan mendorong laki-laki itu untuk mundur.
Perempuan itu benar-benar sudah tidak peduli kalau setelah ini wajah atau bagian tubuhnya yang lain akan menjadi korban pukulan Rangga seperti yang sudah-sudah. Sabrina sudah cukup mengalah selama ini, hanya karena kebodohannya yang percaya kalau Rangga akan berubah dan perilaku laki-laki itu hanya didasari emosi sesaat. Sudah cukup baginya menjadi bulan-bulanan laki-laki itu, merelakan tubuhnya menjadi samsak tinju hanya karena kesalahan kecil yang dia perbuat. Sudah cukup dan tidak lagi, Sabrina sudah muak dan perempuan itu sadar kalau seharusnya dia sudah kabur dari laki-laki itu sejak lama.
“Enam bulan, Rangga.” Sabrina menarik napas pelan seiring kalimatnya mengalir dengan suara bergetar. “Enam bulan hubungan ini aku jalani dengan perasaan tersiksa setiap kali melakukan sesuatu cuma karena takut kamu bakal marah dan berakhir mukul aku lagi. Enam bulan aku jalani kayak di neraka cuma karena aku takut kamu kecewa dan mengancam bakal menyakiti diri kamu sendiri karena gak mau aku pergi dari kamu. Enam bulan, harusnya nggak perlu waktu selama itu buat aku sadar kalau aku sama sekali nggak pantas hidup dalam neraka itu cuma buat kamu. Harusnya aku sadar lebih cepat dan membebaskan diri dari kamu.”
Dalam hitungan detik setelah kalimat itu tersampai, Sabrina bisa merasakan sebuah tarikan kencang di rambut belakangnya. Rangga tentu merupakan pelakunya, laki-laki itu tengah menatapnya dengan tatapan menggelap. Rangga benar-benar kehilangan kendalinya dan berakhir meluapkan amarah yang memuncak dalam dirinya dengan cara menjadikan Sabrina samsak tinjunya, entah untuk yang ke berapa kali ini.
Sabrina meringis menahan sakit, dan keadaan diperparah dengan tekanan kuat yang dia dapatkan dari tangan Rangga yang menekan lehernya. Rangga mencekiknya dengan segenap kekuatan yang laki-laki itu punya, membuat Sabrina semakin kesulitan bernapas dan batuk mulai menyerangnya tanpa ampun.
“Tolong—”
Sabrina mencoba untuk bersuara, berharap kalau ada seseorang yang melihat mereka dan menghentikan Rangga dari tindakan yang laki-laki itu tengah lakukan. Meski sebetulnya Sabrina kurang yakin akan hal itu, sebab posisi mereka sedikit terhalang oleh tangga menuju lantai dua sehingga orang-orang yang berlalu lalang mungkin tidak akan dapat melihat dengan jelas.
“Harusnya kamu tahu diri, Sabrina. Setelah semua yang kulakuin buat kamu selama ini, setelah semua barang yang kukasih dan semua waktu yang kubuang cuma buat kamu, harusnya kamu tahu diri dan nggak bersikap kayak gini. Dimana kata terima kasih yang sepantasnya kamu bilang ke aku? Kalau tanpa aku, kamu pasti gak akan bisa jadi kamu yang sekarang. Harusnya kamu berterima kasih karena aku bisa aja buang kamu dari dulu, tapi aku nggak pernah melakukan itu karena kasihan sama kamu. Kukira dengan ngasih kamu keringanan selama ini, kamu bakal sadar akan hal itu dan memilih untuk bersyukur, but you did the otherwise. Kamu berhasil buktiin ke aku kalau seharusnya, aku nggak pernah merasa kasihan sama kamu. Kalau seharusnya, aku nggak pernah mengorbankan waktuku buat kamu. Kalau harusnya aku nggak pernah sayang sama orang yang gak ngerti disayang kayak kamu.”
“Rangga—”
Mendengar suara Sabrina yang tercekat dan bagaimana kedua mata bulat di hadapannya itu mulai berkaca-kaca, Rangga tersenyum miring. Laki-laki itu kemudian melepaskan cekikannya dan memberikan Sabrina kesempatan untuk membalas kalimatnya.
“Sayang sama orang lain nggak seharusnya sesakit ini.” Sabrina mengatakan hal itu dengan lirih sebab pita suaranya masih terasa tercekat akibat cekikan yang Rangga berikan. Perempuan itu melanjutkan, “Nggak ada manusia waras yang mukul orang yang dia sayang, cuma orang gila yang ngelakuin itu.”
“Dan menurut kamu aku gila?”
Sabrina mengangguk menantang. “You’re totally out of your mind, kamu sama sekali nggak bisa disebut sebagai manusia normal dan harusnya aku sadar akan hal itu sejak lama.”
Rangga menyempatkan diri untuk tertawa pelan sebelum kemudian menarik Sabrina menuju sebuah gedung tidak terpakai dan membawanya ke bagian kosong di bawah tangga. Posisinya benar-benar tidak menguntungkan sekarang, Sabrina yakin kalau tidak ada orang yang akan tahu kalau mereka sedang berada di sana kalau tidak benar-benar berjalan menuju lorong sempit di samping tangga yang gelap gulita.
“Tarik lagi kata-kata kamu dan aku bakal pura-pura kalau kamu nggak pernah minta putus,” ucap Rangga dengan suara mengancam. Suara laki-laki itu pelan, tapi berhasil membuat seluruh tubuh Sabrina merinding akan rasa takut.
“Aku mau putus,” ucap Sabrina sekali lagi.
“Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam rasa takut kayak gini, aku nggak bisa selalu jadi samsak tinju kamu dengan alasan kalau aku udah ngelakuin kesalahan padahal saat itu kamu cuma pengen marah-marah nggak jelas. Aku nggak bisa terus-terusan jadi tempat kamu melampiaskan emosi padahal aku nggak salah apa-apa. Aku nggak bisa hidup terkekang kayak gini terus, Rangga. Aku mau bebas dan satu-satunya cara untuk bebas adalah lepas dari kamu.”
“You didn’t mean it, sweetheart. You didn’t mean everything you told me just now, aku tahu kamu nggak bisa lepas dari aku. You can just say sorry and I’ll forget everything you said earlier, kamu cukup minta maaf dan janji nggak akan jadi anak bandel kayak gini lagi.”
Namun Sabrina lebih memilih untuk mengorbankan dirinya demi mengatakan hal lain yang sejak lama dia simpan di kepalanya sendiri. “Aku nggak akan pernah minta maaf, mau kamu pukul aku sampai mati pun, aku nggak akan pernah mau minta maaf dan jadi orang bodoh lagi. Kamu mau tahu sesuatu? Aku harap seluruh dunia tahu kalau sempurna yang kamu coba tunjukin ke mereka itu cuma omong kosong, kalau image yang kamu coba jaga setengah mati itu cuma topeng yang kamu pakai buat menutupi sifat kamu yang mirip sampah. Aku harap mereka tahu kalau orang yang mereka elu-elukan ini sebenarnya sama sekali nggak pantas mendapat pujian itu.”
Tanpa aba-aba, Rangga kembali mencekik leher Sabrina. Kali ini tekanan yang Rangga berikan di sana benar-benar di luar dugaan dan membuat Sabrina tak mampu bernapas. Rangga menekan tepat di jalur udaranya dan Sabrina tidak yakin kalau dirinya bisa menyelamatkan diri setelah ini. Tangan perempuan itu mencengkram tangan milik Rangga, berusaha menancapkan kuku-kukunya di permukaan kulit laki-laki itu sebagai perlawanan. Matanya memejam erat dan jantungnya bergema gila-gilaan di dalam sana. Sabrina benar-benar ketakutan, nyawanya berada di dalam bahaya dan yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah berdoa kalau akan ada seseorang yang datang ke sana untuk menolongnya.
“What a dumb little girl,” ucap Rangga dengan suara berbisik.
Laki-laki itu mendekatkan wajah ke arah Sabrina, bermaksud untuk menghadiahkan sebuah kecupan di wajah Sabrina sebelum kemudian laki-laki itu berteriak kencang karena entah dengan kekuatan dari mana, Sabrina berhasil menendang area selangkangannya.
Rangga terhuyung ke belakang, kakinya refleks mundur dan tubuhnya membungkuk menahan sakit. Erangan keras Rangga keluarkan dari belah bibirnya, sementara Sabrina langsung mengambil langkah seribu dari sana. Perempuan itu berlari kencang menuju area gedung yang lebih ramai dan kepanikan yang terlihat amat kentara menguar darinya itu membuat orang-orang yang melihat hal itu mulai menaruh perhatian. Seorang perempuan berusia empat puluh tahunan yang Sabrina tebak adalah seorang dosen kemudian menghampirinya, memegang kedua bahunya dan memberi instruksi padanya untuk menenangkan diri.
“Tolong....”
Suara Sabrina tercekat saat ekor matanya melihat sosok Rangga yang muncul dari arah tangga. Orang-orang yang menyadari itu pun mulai berkerumun membentuk sebuah benteng bagi Sabrina dan perempuan yang membantunya tadi.
Sabrina menunjuk ke arah Rangga yang berjalan pelan ke arahnya. “He—he tried to kill me. Dia mengancam saya karena saya minta putus. Dia selalu mukul saya selama kami berdua masih pacaran, dia selalu jadiin saya samsak tinjunya tiap kali dia emosi. Saya takut sama dia, saya—”
Sabrina tidak lagi mampu melanjutkan kalimatnya sebab beberapa orang laki-laki yang berada di sana mulai menahan tubuh Rangga dan membuat laki-laki itu tidak mampu mendekati Sabrina lagi. Tangis Sabrina pecah, rasa perih dari bekas tekanan yang Rangga berikan di lehernya membuat perempuan itu semakin vokal menyuarakan tangis.
“Leher kamu berdarah, astaga!” Perempuan yang sejak tadi menolongnya dengan menjadikan tubuhnya sebagai benteng bagi Sabrina itu berteriak cukup kencang dan membuat kerumunan semakin ramai.
Detik itu, Sabrina benar-benar menjatuhkan diri ke lantai dan membiarkan orang-orang di dekatnya menyambut tubuhnya. Sabrina kehilangan kesadaran setelahnya dan saat terbangun, perempuan itu menemukan dirinya sudah berada di sebuah ruangan putih asing yang ternyata adalah klinik di kampus itu.
Hari itu adalah titik awal bagi kehidupan Sabrina berubah. Perempuan itu resmi melepaskan diri dari Rangga dan berhasil membuat Rangga tak lagi dikenal sebagai pribadi yang baik di kalangan mahasiswa kampusnya. Orang-orang bilang, Rangga sempat mendapatkan dipanggil ke hadapan pihak kampus untuk memberi penjelasan tentang apa yang terjadi. Sabrina sempat dihubungi untuk dimintai keterangan, tapi perempuan itu menolak. Sabrina tidak ingin berurusan lagi dengan Rangga, bahkan hanya dengan mendengar nama laki-laki itu membuatnya mual bukan main.
Namun sepertinya, Rangga dan kuasa yang laki-laki itu punya memang tidak bisa dikalahkan begitu saja. Rumor tentang si anak tunggal dari donatur terbesar kampus itu nyatanya sama sekali tidak dijerat hukum. Rangga nyatanya kembali bebas tanpa syarat dan Sabrina yakin, laki-laki itu akan kembali mengusik hidupnya. Namun meskipun begitu, Sabrina tidak akan menyerah, tidak sampai Rangga berhenti mengganggunya dan membiarkannya hidup dengan tenang seperti sedia kala.