The Deal
Anindia sama sekali tidak pernah menyangka kalau dalam hidupnya, akan ada waktu dimana dirinya menatap Jean dengan rasa kecewa yang mendominasi kepala. Anin pernah satu kali menempatkan rasa itu di samping nama Jean, tiga tahun lalu ketika hubungan mereka berakhir hanya melalui sambungan telepon.
Jeandra-nya yang brengsek dan bajingan, nama itu seolah tak pernah hilang dari ingatan.
Anin kira, rasa itu tak akan pernah dia temukan lagi berdampingan dengan nama Jean dalam hidupnya. Anin kira kecewa yang dia rasakan pada Jean tiga tahun lalu adalah yang terakhir kalinya. Namun ternyata, mendapati Jean berdiri di hadapannya hari ini ternyata rasanya jauh lebih parah dari yang pernah dia rasakan. Entah kemana debar yang dulu selalu menemani tiap kali matanya menyapa wajah tegas milik Jean. Entah kemana perginya senyum yang selalu tertahan di kedua sudit bibir tiap kali Jean datang ke hadapannya untuk alasan apapun.
Anin sendiri kebingungan mencaritahu kemana rasa yang dulu membuatnya tak pernah bisa melepas pandangan dari wajah Jean itu pergi.
Anin berusaha mencari-cari debar menggila yang dulu selalu mampir menghebohkan jantungnya di setiap kesempatan dimana Jean berada di dekatnya. Debar itu menghilang sejak lama, Anin tidak tahu kapan pastinya. Mungkin sejak Jean setuju untuk bercerai? Atau mungkin sejak Jean menyatakan kalau Karin tengah mengandung?
Entah sejak kapan, tapi yang pasti saat kemarin Jean berlutut di hadapannya dan menenggelamkan wajah di pangkuannya, Anin benar-benar sadar kalau debar itu betul-betul menghilang darinya. Tak ada lagi Anindia yang memalingkan wajah karena takut Jean mendapari pipinya memerah hanya karena lelaki itu menatapnya intens dalam waktu yang lama. Tidak ada lagi Anindia yang memandang Jeandra dengan tatapan berbinar penuh kagum.
Hanya ada Anindia yang mengendapkan rasa kecewa ketika telinganya mendengar derap langkah milik Jean memasuki rumah. Dadanya hampa, kekosongan melanda. Jeandra-nya tak lagi di sana.
Tak sampai satu menit kemudian, Jean berdiri di hadapan Anin, dengan kedua lengan kemeja yang digulung hingga siku dan surai hitam kelamnya yang berantakan. Limgkaran hitam di sekitar mata Jean membuat Anin bertanya-tanya, sudah berapa hari sebetulnya Jean tidak mendapat jadwal tidur yang benar?
Dulu waktu sama Karin, apa kamu pernah nunjukkin wajah berantakan begini, Je?
Dulu waktu sama Karin, apa kamu pernah datang dengan dengan raut muka selelah ini?
Namun nyatanya, yang keluar dari bibir Anin adalah pertanyaan lain yang entah darimana datangnya. “Kamu udah makan siang?”
Jean menghela napas pelan, tangannya kemudian melonggarkan ikatan dasi di lehernya dengan gerakan serampangan. Kakinya dia bawa mendekati Anin yang tengah duduk di sofa ruang tamu dan mengambil posisi berlutut di hadapan Anin. Tangan Jean bertumpu di pangkuan Anin, matanya menatap lurus ke arah Anin dengan satu tangan bergerak merapilan helai rambut Anin yang sedikit keluar dari sanggul yang dia buat.
“Belum, kamu udah makan?” tanya Jean dengan suara serak. Tangannya masih berada di sisi wajah Anin dan senyum terbit di kedua sudut bibir. Anin mengangguk pelan, dia biarkan tangan Jean menyentuh pipi kanannya dengan gerakan hati-hati.
“Mau ngomong apa?”
Anin menggigit bibirnya pelan, sedangkan benaknya berkali-kali meyakinkan diri agar bibirnya tidak ragu mengucapkan kalimat yang sejak tadi dia susun di kepala.
“Stop avoiding me, can you?“
Senyum tipis di wajah Jean perlahan menghilang. Lelaki itu menarik tangannya dari sisi wajah Anin lalu menunduk dan memperhatikan jemarinya sendiri. Sepersekian detik kemudian, Jean kembali mengangkat kepalanya dan menatap wajah cantik di hadapannya.
“I'm not avoiding you,” jawabnya berusaha membantah kalimat yang Anin sampaikan. Namun Anindia memahami Jean lebih dari siapapun, raut wajah penuh sorot ragu dan tatapan yang tak terarah langsung pada matanya itu membuat Anin langsung dapat menarik kesimpulan kalau Jeandra benar-benar berusaha menghindarinya.
“Then act like one, Je. Then face me like you're not trying so hard to avoid me.“
Jean kehilangan kemampuan mengolah kata. Keberaniannya menciut, menghadapi Anindia yang menatapnya tanpa ragu seperti ini sama sekali bukan keahliannya.
“Kita udah bahas ini kemarin di rumah sakit, Anin. Kalau aku bersikap seolah kita baik-baik aja, aku ngga yakin bisa melepas kamu sepenuhnya setelah enam bulan.” Jean mengingat kembali percakapan mereka kemarin, dimana untuk pertama kalinya dia tunjukkan segala kerapuhan dan kekacauan yang dia miliki di hadapan orang lain selain Ibun.
Kemarin setelah kalimat terakhirnya terudara dari bibir dengan tubuhnya yang berada di posisi berlutut di hadapan Anin, Jean betul-betul melepaskan segala beban berat yang selama ini menumpuk di kedua bahunya. Tangisannya luruh tanpa sisa, sampai tercetak bekas air matanya yang basah di gaun berwarna putih yang Anin gunakan. Anin menyadari hal itu ketika menyaksikan kedua bahu Jean bergetar, dan yang bisa wanita itu lakukan hanyalah meletakkan tangan kanannya di atas kepala Jean dan bergerak mengelus puncak kepala lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu perlahan.
Di sana, ketika Jean merasakan sebuah beban lebih di kepala yang ternyata merupakan hasil dari elusan pelan yang Anin berikan untuknya, Jean tak lagi dapat menahan isakannya. Lelaki itu menangis keras tanpa jeda. Dadanya sesak bukan main, seolah ribuan belati tajam yang baru di asah dihujamkan ke arahnya tanpa sedikit pun berkompromi.
“Do you really think I will survive after I lost you?” Jean bertanya dengan suaranya yang serak.
Jean pernah kehilangan Anin satu kali dan hidupnya dilanda kekacauan. Meski sudah berusaha sekuat tenaga agar otaknya menghapus nama Anindia dari hidupnya, Jeandra mengakui dengan lapang dada kalau Anin tidak pernah meninggalkan kepalanya, bahkan tidak sedetik pun.
Kehilangan Anin untuk kali kedua terdengar amat mengerikan di telinganya, dan Jean tidak yakin kalau dia mampu bertahan hidup setelah Anin melepaskan diri dari pernikahan mereka. Makanya sebelum hal itu terjadi, Jean mencoba belajar hidup tanpa Anin di sisinya sejak awal. Setidaknya jika nanti Anin benar-benar menghilang darinya, Jean tidak harus menanggung sakit sebanyak itu. Setidaknya jika Anin betul-betul meninggalkannya sendirian, Jean sudah mempersiapkan diri dan tak harus jatuh sedalam itu.
Setidaknya jika dirinya memang harus hancur tanpa sisa, Anindia tidak boleh ikut hancur bersamanya. Setidaknya begitu, tapi sepertinya Anin punya rencana yang berbeda.
“Kamu pernah kehilangan aku satu kali dan kamu baik-baik aja, Jeandra. Kehilangan aku untuk yang kedua kalinya ngga akan bikin dunia kamu kiamat. Baik dulu atau pun sekarang itu sama, kamu sama-sama kehilangan aku. Bedanya, kali ini kamu bakal kehilangan aku selama sisa hidup kamu.”
Kalimat itu terdengar seperti sebuah dentuman besar yang memekakkan telinga.
“Kalau memang sesulit itu bersikap kayak dulu buat aku, tolong lakukan hal itu untuk anak kamu. Jangan lakukan apapun buat aku, karena memang dari dulu segala hal yang kamu lakukan itu ngga pernah kamu laksanakan dengan menaruh aku di dalamnya. Kalau kali ini memang sesusah itu berkorban demi aku, cukup berkorban buat anak kamu.”
Kalimat berikutnya terdengar seperti sebuah ledakan luar biasa yang berada tepat di depan mata, ledakan yang mampu menghancurkannya hingga menjadi butiran.
“Kalau yang kamu takutkan itu adalah ngga bisa melepas aku, kamu cukup tanamkan ke diri kamu kalau aku ngga akan pernah bisa jadi punya kamu lagi setelah enam bulan nanti, jadi kamu bisa memaksimalkan waktu semampu kamu. Kalau kamu takut ngga bisa melepas aku dan berakhir bikin aku ikut ke dalam kehancuran, kamu cukup ingat satu hal. Kalau Anindia yang kamu lihat ini udah hancur sampai ngga berbentuk, kalau Anindia yang kamu lihat ini udah terlanjur kamu kacaukan hidupnya sampai dia ngga kenal siapa dirinya yang sekarang, kalau Anindia yang kamu punya saat ini hidupnya udah hancur sehancur-hancurnya dan kamu ngga perlu takut lagi karena ngga ada lagi yang tersisa dari dirinya yang bisa kamu hancurin.”
Jean mencengkram erat ujung kemeja yang dia gunakan. Anindia dan kalimatnya menyerang tanpa ampun sampai dadanya terasa kehilangan akses untuk menemui udara.
“I had loved you for long enough, Je. Sampai rasanya aku ngga punya waktu buat mencintai diri sendiri. Kukira waktu yang kukasih untuk mencintai kamu udah cukup untuk bikin aku sadar kalau selama ini, yang selalu punya usaha untuk bikin kita tetap terikat itu cuma aku. Jadi, kukira aku berhak untuk meminta kamu melakukan yang sama walau sebetulnya, enam bulan ngga akan bisa menggantikan lima tahun yang aku kasih buat kamu.”
“It's no longer I love you, Jeandra. It's I loved you.“
Kalimat itu terdengar seperti terompet hari akhir. Anindia menyerah, Anindia betul-betul menyerah dan Jeandra sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawan.
-